It is not the mountain we conquer but ourselves

Your Life Is Your adventure

Kita Tidak Akan Bisa Tulus Mencintai Tanah Air Kita Sebelum Benar-benar Mengenal dan Menjelajahinya

Your Life Is Your adventure

Kita Tidak Akan Bisa Tulus Mencintai Tanah Air Kita Sebelum Benar-benar Mengenal dan Menjelajahinya

Your Life Is Your adventure

Kita Tidak Akan Bisa Tulus Mencintai Tanah Air Kita Sebelum Benar-benar Mengenal dan Menjelajahinya

Your Life Is Your adventure

Kita Tidak Akan Bisa Tulus Mencintai Tanah Air Kita Sebelum Benar-benar Mengenal dan Menjelajahinya

Your Life Is Your adventure

Kita Tidak Akan Bisa Tulus Mencintai Tanah Air Kita Sebelum Benar-benar Mengenal dan Menjelajahinya

26/05/09

NOVEL TENTANG PENDAKI



SEMUT MERAH
DI PUNCAK MAHAMERU



KOTETZ








“Ada orang yang berbangga hidup sampai tua, ada orang yang memilih mati muda, dan ada yang lebih memilih untuk tidak pernah dilahirkan. Tapi sedikit sekali orang yang memahami bahwa hidup dan mati itu hanya sebuah lorong takdir yang harus dijalani.
Manusia tidak akan takut mati apabila telah melakukan banyak hal yang berguna dalam hidupnya dan menemukan hakikat diri di hadapan Tuhan”













“Ayo ke Semeru..........! sekali-kali jadi orang tertinggi di pulau Jawa. Masa’ Soeharto saja yang jadi orang tertinggi di negeri ini..............”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras...........diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil......orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur”.

(Soe Hok Gie - MAPALA FS-UI, 1969)





Kawan,

Entah aku sudah ada dimana saat ini, mungkin aku sudah jauh meninggalkanmu atau aku sedang berada di suatu tempat yang jauh, suatu tempat yang tak mungkin dapat kau jangkau atau kau cari. Ketika engkau baca tulisanku ini, mungkin engkau hanya akan teringat pada kisah hidupku.
Aku akan memberitahukan kepadamu sebuah cerita. Cerita yang akan membuatmu sulit untuk membedakan antara kehidupan dan kematian, antara kenyataan dan khayalan. Karena ini adalah kisahku, dan kau menjadi saksi di dalamnya. Engkau turut menjadi bagian dalam kisah ini.
Semoga engkau termasuk orang-orang yang tegar dalam menjalani hidup, ketika engkau baca tulisanku ini.
Ada hidup yang terlalu singkat, ada hidup yang terlalu panjang. Tak ada beda diantara keduanya, karena yang terpenting hanya kematangan dan kesadaran akan arti menjalani hidup. Orang yang mengenal arti hidup, maka ia akan selalu siap menjalani hidup ataupun mati.


Dwipa




----------------------------------------------------------------------------------------------

Kamis, 17 Agustus

Hari ke 3- PATAGA MAHAMERU


Tepat tanggal 17 agustus dini hari pukul 00.00. Suhu udara turun sangat ekstrem, tercatat 0°C. Kami mulai bergerak dari pos Kali Mati menuju puncak Mahameru. Biasanya para pendaki mengawali pendakian menuju puncak dari camp arco podo, tetapi karena fisik kakakku yang kurang sehat, terpaksa kami harus istirahat di Kali Mati saja, untuk memulihkan tenaga.
Luar biasa beratnya medan yang harus kami hadapi , tak seperti medan dari pos Ranu Pane menuju Ranu Kumbolo kemarin yang terasa lebih ringan. Dari Ranu Kumbolo ke Kali Mati pun menurutku masih jauh lebih ringan daripada medan yang sekarang. Kami harus bergerak melawan gravitasi dengan sudut kemiringan hampir mencapai 45 derajat, ditambah jalur yang sempit, rawan longsor dan diapit jurang yang sangat dalam di sebelah kanan dan kiri kami.
Rasa lelah dan dingin harus kami lawan, demikian juga dengan nafas yang terasa semakin berat karena pengaruh ketinggian. Beruntung, pekatnya malam masih bisa terhapus karena sinar bulan yang sedang purnama.
Setelah hampir dua jam berjalan, akhirnya kami sampai di pos Arco Podo. Udara dingin semakin menusuk tulangku. Kami hanya beristirahat sejenak untuk menstabilkan nafas karena kami tak ingin membuang waktu. Kuperhatikan wajah kakakku terlihat sangat letih, aku segera menariknya untuk segera bangkit.
“Ayo kak..........terus berjuang” Bisikku menyemangati.
Kami melanjutkan perjalanan dengan langkah yang semakin terasa berat. Rasa takut tiba-tiba saja menggangguku, ketika kulihat ada begitu banyak tanda “In Memoriam” di sebelah kanan dan kiriku, rupanya banyak sekali para pendaki yang tewas di gunung ini. Aku segera berdoa kepada Tuhan untuk memohon keselamatan.
Bayangan puncak sudah mulai terlihat. Beberapa saat kemudian kami sudah sampai di pelawangan dengan medan pasir tanpa hutan yang semakin berbahaya. Satu langkah berjalan, tiga langkah kami kembali meluncur turun. Sungguh medan yang belum pernah kualami sebelumnya. Aku berada tepat di belakang kakakku. Sementara teman-teman lainnya di belakang kami. Sesekali kulihat jam di tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 tepat. Sudah tiga jam kami berjalan, tapi belum juga sampai di puncak.
Kali ini kami bukan lagi berjalan mendaki, tapi merayap seperti seekor semut di atas pasir yang sangat labil. Pukul 04.30, kami sampai di “Cemara Ijen”. Kami beristirahat sejenak. Kuamati pohon cemara yang berada tepat di samping kiriku, luar biasa hampir tak bisa kupercaya bagaimana mungkin pohon cemara bisa hidup tanpa air di atas medan pasir yang hampir vertikal seperti ini. Pohon cemara itu berdiri dengan kokoh sendirian, dan tidak ada lagi pohon cemara yang tumbuh lagi di sekitarnya. Karena berdiri sendirian, maka disebut ‘cemara ijen’ dalam bahasa Jawa, yang berarti cemara sendirian. Kurasa pohon cemara ini adalah pohon cemara tertinggi di pulau Jawa.
Pukul 05.00, udara sangat dingin terasa, Suhu udara tercatat masih 0° C. Kami masih merayap mencumbui pasir. Tapi belum juga sampai di puncak, rasa putus asa sedikit meracuni jiwaku. Kulihat kakakku juga semakin lemah, nafasnya semakin pendek seakan ada yang mencekik lehernya. Ada guratan senyum layu di wajahnya, yang seakan ingin mengatakan “Aku menyerah”.
Namun, tak henti-hentinya aku menyemangati. Mulai dari kata-kata, teriakan sampai dengan nyanyian. Aku benar-benar mirip orang yang sedang kesurupan saat itu.
Lalu tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara gemuruh yang kemudian diikuti dengan suara dentuman yang menurutku lebih keras dari suara petir atau suara bom sekalipun. Kepulan asap membumbung tinggi dari puncak ke langit yang mulai sedikit membiru.
“Puncak.................ayo sedikit lagi kak” Aku berteriak dengan keras sambil memandang ke arah puncak. Sementara kedua kakiku tenggelam dalam pasir yang dingin.
Rupaya suara dentuman tadi cukup membuat kami kembali bersemangat. Kami merayap dengan tenaga yang masih tersisa. Tak peduli meski harus berkali-kali terjatuh dan tersungkur di atas pasir.
Pukul 05.30, akhirnya kami sampai juga di puncak Mahameru. Kupeluk tubuh kakakku dan segera aku bersujud di atas hamparan pasir yang datar dan luas. Semua kawan saling berjabat tangan dan berpelukan. Sungguh, rasa letih tiba-tiba saja lenyap setelah kami semua sampai di puncak.
Tanggal 17 Agustus, tepat pukul 05.30. Waktu yang akan selalu kuingat dan tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku.
Tidak lama kemudian, kami disambut oleh sunrise yang benar-benar memikat. Semua pendaki segera berkumpul untuk menyaksikan pemandangan yang memang paling ditunggu-tunggu itu. Beruntung cuaca sangat cerah, sehingga kami bisa menyaksikan matahari terbit dari atas puncak Mahameru, sungguh pemandangan paling menakjubkan sepanjang hidupku.
Awan-awan putih seperti gumpalan kapas yang terhampar berada jauh dibawahku. Gunung Bromo, Gunung Argopuro, Gunung Arjuna, Gunung kawi, Gunung Penanggungan, dan Gunung Lamongan, nampak jelas puncaknya menjulang menembus awan-awan itu. Tapi semuanya berada jauh dibawahku. Demikian juga dari kejauhan samar-samar terlihat Gunung Agung di Bali. Sementara di sisi sebelah selatan, terhampar luas samudera Indonesia yang membiru. Semuanya berada di bawahku, kecuali langit yang masih tetap jauh di atasku. Rasanya tak bisa diungkapkan dengan apapun. Bahkan tulisan tanganku mungkin tidak akan bisa untuk mewakili perasaan yang kurasakan.
Beberapa saat setelah matahari terbit dari garis horisontal bumi sebelah timur. Aku mendekap erat tubuh kakakku yang terasa begitu membeku. Tak ada kata-kata yang terlontar dari mulut kami berdua. Hanya rasa bahagia, takjub dan haru yang bisa kurasakan. Ya.......kami berdua telah berada di puncak tertinggi se- pulau Jawa. Puncak Mahameru yang telah lama kami impikan.
Suasana di puncak sangat ramai sekali, beruntung aku masih bisa mencapai puncak. Di bawah sana masih banyak rekan-rekan yang tidak bisa sampai ke puncak karena sudah terlalu sesak oleh para pendaki yang ingin mengikuti upacara bendera di puncak tertinggi se-Jawa ini.
Seiring dengan sinar matahari yang mulai hangat menerpa kulitku, kurasakan tubuh kakakku semakin dingin dan membeku, nafasnya mulai sesak dan muntah-muntah. Rupanya Ia terkena serangan “Mountain sickness”. Penyakit mematikan yang paling ditakuti oleh seluruh pendaki gunung.
Aku mulai merasa sedikit kawatir, karena tubuh kakakku yang semakin lemah. Terlebih memang dia seorang perempuan yang mengidap penyakit asma. Hampir setiap kali kami mendaki gunung, Ia selalu terkena penyakit yang sama. Tetapi setelah mendapatkan panas tubuh dariku dan segelas susu hangat. Biasanya Ia akan pulih kembali.
Matahari semakin hangat menerpa kulitku, tapi tak kurasakan kehangatan di tubuh kakakku. Aku mulai kawatir, begitu juga dengan semua teman-teman kakakku. Semakin erat kudekap tubuhnya dan kubisikkan kata-kata penghibur. “Ayo bangkit.......kita sudah menjadi orang tertinggi di pulau Jawa”
Tiba-tiba
Suara gemuruh begitu menggetarkan hati, terasa sedikit getaran seperti gempa. Beberapa saat kemudian, muncul asap hitam pekat yang menyembul dari dalam kawah “Jonggring Saloka”. Sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan. Aku merasa begitu dekat dengan Tuhan.
Semua orang berebut untuk mengabadikan diri di depan kepulan asap hitam itu. Tetapi tidak denganku, aku masih mendekap erat-erat tubuh kakakku. Sinar matahari tak terasa sama sekali hangatnya, kalah dengan tiupan angin yang begitu kencang dan sangat-sangat dingin sekali bagiku. Suhu saat itu tercatat -4°C. Air yang ku masak lima belas menit yang lalu, tak juga menjadi hangat apalagi mendidih.
“Dwi...” Suara kakak menyapaku dengan lemah.
“Ya....ada apa kak?”
“Aku sudah sampai di puncak Mahameru. Aku sudah puas disini. Aku ingin segera pulang”
“Pulang? “
“Ya....aku ingin segera pulang...!”
“Ok.... kita akan segera turun. Sebentar kak, aku mau packing dulu” sambil kurebahkan tubuh yang lemah itu di atas sleeping bag.

Kembali
Suara gemuruh terdengar begitu menyayat hatiku, beberapa saat kemudian asap hitam kembali mengepul. Aku dan teman-teman kakakku segera bersiap-siap untuk turun.
“Kak......ayo......kita turun!” Bisikku pelan sambil kuangkat tubuhnya dengan perlahan.
“Kak...........kita foto bersama dulu yuk!”
Tak ada sautan
“Kak......kak............kakak.........!” Teriakku sambil kuraih tubuhnya.
Semua pendaki langsung menghampiri kami berdua
“Kak.........bangun......................................... kak..........................kita akan turun. Kita akan segera pulang dan sampai di rumah dengan selamat......................................kakak..........ayo kak.....bangun”
Tetap tak ada jawaban

“Kak............ayo bangun kak.......ayah, ibu dan adik sudah menunggu di rumah untuk melihat foto-foto kita di puncak Mahameru. Kak....bangun kak...!”Aku memanggil-manggil kakakku dengan air mata yang mulai berderai. Demikian juga semua pendaki yang ada pada saat itu.
Suasana begitu hening, hanya tiupan angin yang terdengar memilukan.
“Kak.............bangun kak..........!” Tak henti-hentinya aku memanggil kakakku.
“Dik.................dia sudah meninggal” Ucap salah satu teman kakak yang memeriksanya.
Seketika aku seperti melayang, tubuhku tiba-tiba terasa begitu menggigil dan tatapan mataku mulai kosong. Aku sudah kehilangan kakakku tercinta. Aku sudah tak punya lagi seorang kakak yang selama ini kubanggakan dan selalu setia menjagaku. Aku seperti orang yang bingung dan tersesat di tengah lebatnya hutan.
Perlahan aku mulai merasakan sepi dan hampa, mendadak suasana menjadi gelap, hening dan sepi. Beberapa saat kemudian, kurasakan tubuhku tersungkur di atas pasir.
Entah bagaimana kemudian aku bisa turun. Tiba-tiba aku tersadar sudah berada di rumah sakit kota Malang.

-------------------------------------------


Ya........kejadian dua tahun yang lalu, masih terasa seperti baru kemarin terjadi. Masih jelas kuingat bagaimana tubuh kakakku yang begitu beku itu kudekap erat-erat. Sungguh menyesal aku justru melepaskan dekapanku disaat Ia akan menghembuskan nafas terakhirnya. Mungkin jiwanya pergi bersamaan dengan suara gemuruh dan letupan asap gunung Semeru.
Aku baru menyadari kata-kata terakhirnya “aku ingin pulang”, ternyata maksudnya adalah ingin berpamitan kepadaku untuk segera pulang menghadap Tuhan. Sungguh begitu menyakitkan setiap kali aku mengenang peristiwa itu.
Namun dibalik kesedihanku, terkadang aku merasa iri juga kepada kakakku. Beruntung sekali dia meninggal di puncak tertinggi se-pulau Jawa. Puncak abadi para dewa, demikian kata Dewa 19 dalam lagu “Mahameru-nya”.
Rupanya demikian cara dia memenuhi takdirnya. Menjadi manusia abadi di puncak abadi.
Semenjak peristiwa itu, aku tak pernah lagi mendaki gunung. Terakhir kali aku mendaki puncak Mahameru bersama teman-teman untuk memasang batu “In Memoriam” milik kakakku. Dan sejak itu aku tak pernah lagi mendaki. Karena aku sudah berjanji pada diriku, dan harus aku tepati.**







PERTEMUAN


ORANG GILA.....!!

Hampir semua teman-temanku bilang begitu kepadaku, tak tau apa itu serius atau cuma bercanda saja, mungkin juga itu salah satu ungkapan kagum mereka atas apa yang aku lakukan selama ini. Yang jelas aku tidak terlalu menghiraukan apa kata mereka, bagiku hidupku ya begini –begini ini. Tak ada yang salah dalam diriku. Tak ada yang aneh dengan pikiranku. Juga tak ada yang spesial dari laki-laki bertubuh krepeng yang pecandu berat nikotin ini.
Bukan hanya karena aku gila mendaki gunung, gila berdebat atau suka berdandan dan bersikap nyeleneh bak seorang seniman, tapi mereka menganggapku gila karena hampir setiap waktu aku selalu menulis lembaran-lembaran kosong yang selalu kubawa kemana saja aku pergi. Bayangkan..., itu bukan buku saku, tapi buku harian setebal kira-kira 10 sentimeter lah..!
Entah kenapa aku suka sekali menuliskan pengalaman-pengalamanku ke dalam lembaran-lembaran kosong yang kata teman-temanku tidak ada gunanya sama sekali. Tapi aku punya keyakinan, bahwa manusia hidup ini harus meninggalkan jejak agar hidupnya lebih punya arti, salah satunya dengan menulis. Menulis apa saja, dari yang tidak penting sama sekali sampai yang sangat penting untuk diketahui orang lain. Pikiran-pikiran orang-orang besar tidak akan bisa dikenal jika mereka tidak pernah menulis. Marcopolo, Vasco Da Gama, Colombus, Leonardo Da Vinci, Van Gogh, Karl Marx, Einstein, Tan Malaka, Soekarno dan tokoh-tokoh besar lainnya, semuanya adalah juga seorang penulis.
Ya.........menurutku semua manusia seharusnya meninggalkan minimal satu buah buku hasil tulisannya sendiri sebagai warisan kepada dunia.
Beginilah aku, selalu menulis setiap waktu. Sebaris, dua baris, selembar, dua lembar bahkan sampai berlembar-lembar setiap harinya. Lalu untuk siapa tulisan-tulisan itu ku tujukan?,Untuk kawan..? kawan siapa? aku juga tidak tahu untuk siapa. Karena itu aku sering dianggap gila oleh teman-temanku.
Tapi aku tak pernah berhenti menulis, entah sampai kapan? Mungkin sampai aku mati.

Kawan,
Jika kau baca lembaranku yang ini mungkin kau juga pernah mengalami hal yang sama denganku. Tapi itu cuma mungkin, kalau kau termasuk anak “bengal” di sekolahanmu dulu.
Perbincangan sederhana, antara aku dan kawan lama.
Perbincangan tentang masa-masa SMA dulu, ketika kami masih senang bertualang mendaki gunung bersama. Masih terasa sekali semangat diantara kami. Semangat untuk kembali bertualang. Meskipun pengalaman mendaki gunung kami tidak seberapa, hanya beberapa gunung saja yang telah kami injak puncaknya. Tapi saat masih SMA, mencapai puncak gunung dianggap sebagai sesuatu hal yang membanggakan. Tak jarang banyak juga akhirnya teman-teman yang mendaki gunung sekedar untuk mencari prestise, sekedar pamer foto dan ramai-ramai mengoleksi gunung yang telah didaki. Semakin banyak gunung yang telah didaki, semakin tinggi pula derajat kita dimata teman-teman yang lain.
Lucu.......................tapi asyik juga kalau mengingatnya kembali.
Itu saat aku masih SMA, sekarang sudah jarang aku mendaki gunung. Tapi teman-temanku yang lain masih senang mendaki sampai saat ini.
Memang sejak temanku bekerja, jarang sekali kami bertemu. Aku juga sibuk dengan kuliahku, kuliah menghapal untuk sekedar mencari gelar supaya lekas diterima kerja.
Cukup lama kami tak bertemu, kira-kira dua tahunan. Hingga aku merasakan ada jarak diantara kami ketika pertama kami bertemu lagi.

Sempat aku merasa bahwa aku dan temanku seolah tak pernah saling kenal, namun guratan senyum di wajahnya masih begitu melekat dalam ingatanku.
Entah angin apa yang telah membuatnya tiba-tiba datang kerumahku, dan kebetulan sekali aku sedang ada di rumah. Baru kemarin aku pulang dari Bali tempatku kuliah. Aku memang jarang pulang kalau tidak sedang liburan semester, sebab di rumah tak lagi seramai dulu. Ketika masa-masa masih SMA dulu, hampir tiap malam rumahku selalu ramai. Ramai dengan teman-temanku, teman-teman kakakku dan teman-teman dari adikku. Pokoknya setiap malam tak pernah sepi dengan tawa, obrolan-obrolan konyol sampai pada diskusi serius. Tak jarang, teman-temanku sampai menginap. Tak ada beda, meski laki-laki atau perempuan. Sampai pernah juga rumahku didatangi oleh pak RT, beruntung ibuku membela dengan alasan yang macam-macam.
Meski sampai menginap, toh kami ya nggak ngapa-ngapain kok, paling ya cuma ngobrol-ngobrol atau diskusi. Iya kalau hanya teman cewekku saja yang menginap. Yang menginap ya orang banyak kok, tidurnya pun di luar, hanya cewek yang tidur di dalam kamar adikku. Teman-teman cewekku memang sangat akrab dengan adikku.
Beruntung sekali ibuku orangnya memang baik sekali dan termasuk ibu gaul, Ia sangat senang bila rumahku ramai. Bahkan sering ibuku memasak khusus untuk teman-temanku. Sampai-sampai Ia membuatkan ruang khusus untuk teman-temanku berkumpul dan menginap. Sekarang aku memakainya sebagai studio tempatku melukis.
Sekarang ...............masa-masa itu sudah hilang, entah kenapa tiba-tiba rumahku terasa sepi. Teman-temanku sudah banyak yang kuliah atau bekerja, sehingga tak sempat lagi mereka datang kerumahku lagi. Kadang-kadang tiap malam minggu, ada teman yang mencariku tetapi aku selalu tidak ada di rumah.
Sampai akhirnya, teman lamaku datang ke rumah dan mengejutkanku. Tak ada lagi basa-basi, kupeluk tubuhnya dan kami saling pandang sejenak. Tak percaya, akhirnya bertemu lagi. Setelah itu kami langsung ngobrol panjang lebar.
Dua pak rokok telah siap menemani perbincangan kami, dibuka dengan sebatang rokok sambil bercerita tentang pengalamanku kuliah dan pengalamannya bekerja. Dua hal yang sungguh jauh berbeda. Aku menghabiskan uang, dia menghasilkan uang. Aku hanya duduk mencatat, membaca, dan mengerjakan tugas-tugas, dia bekerja keras tiap hari. Menjadi buruh pabrik memang sangat berat. Sampai aku merasa malu pada diriku sendiri.
Tak lama kami berbincang, aku mengeluarkan perlengkapan masak dari dalam tas gunungku yang selama ini kusimpan di atas lemari. Beruntung masih ada gas yang tersisa untuk dipakai.
“Kopi...............?” Aku bertanya sambil tersenyum
“ Oh.....................jelas dong.!” Jawabnya, sambil tertawa terkekeh.
Dasar orang gunung.......................kami memasak kopi dengan kompor gunung, perlengkapan masak ala gunung dengan gas yang masih tersisa. Mengingatkan akan petualangan masa SMA dulu.

Dua gelas kopi panas telah tersaji. Perbincangan kami pun semakin mengasyikkan dan merembet sampai kemana-mana, sampai pada soal pacar. Mulai dari sini.....perbincangan semakin bergerak lambat, aku tak lagi berani bercerita banyak.
“Gimana pacarmu Dwi....?” Tanyanya dengan tersenyum menyidik.
“Ha...ha............pacar apa, aku nggak punya pacar kok” Jawabku menghindar.
“Aaaaaaah..............masa sih kuliah nggak punya pacar?
“Iya....................serius aku............................kalau kamu gimana?”
“Sama aku juga nggak punya..................ha....ha.....ha...”

Perbincangan kembali berjalan cepat ketika sampai pada masalah kenakalan-kenakalan kami sewaktu masih SMA, cerita tentang teman-teman sekelas, tentang guru-guru kami, sampai tukang kebun kami yang dulu sangat akrab dengan kami.
Kami masih ingat saat bersama-sama melompat tembok belakang sekolah karena terlambat masuk, tapi dasar apes ternyata di balik tembok itu sudah siap berdiri dua orang guru membawa pentungan dari kayu rotan. Kami masih ingat juga saat ketahuan merokok di dalam kamar mandi, saat itu aku dan lima orang temanku langsung digelandang ke kantor menghadap kepala sekolah dan...bla...bla..bla......setelah mendapat omelan panjang kami berenam harus berdiri di tengah lapangan upacara sampai saat pulang sekolah. Kami benar-benar tersiksa, bukan karena malu kepada teman-teman atau guru-guru, tapi karena sengatan sinar matahari yang amat panas benar-benar menyiksa kami.
Pernah juga aku dan dua puluh orang temanku diskors selama 3 hari karena ketahuan membolos sekolah, bayangkan kami dua puluh satu orang nekad membolos sekolah dan pergi ke Surabaya naik kereta api hanya untuk nonton konser musik rock “Boomerang”. Tapi itu masih belum seberapa. Hal paling gila yang pernah kulakukan adalah saat aku dan lima orang temanku yang tinggal di asrama sekolah bekerja sama membobol perpustakaan sekolah dan mengambil buku-buku sekolah, beruntung aksi kami berjalan sangat mulus.
Setelah mengambil hampir dua kardus buku, kami menjual buku-buku itu dan memakai uangnya untuk membeli gitar dan sisanya untuk beli rokok. Gitar itu selanjutnya kami pakai untuk mengamen, dan lagi-lagi uang hasil mengamen dipakai hanya untuk membeli rokok dan kopi. Aku rasa itu hal tergila yang pernah kami lakukan. Kami yang notabene anak-anak SMA unggulan ternyata sama sekali tidak mencerminkan sikap sebagai anak SMA unggulan, sangat ironis. Kalau mengingat itu, aku selalu membayangkan seandainya saat itu kami ketahuan mencuri buku di perpustakaan sekolah, ah...tak bisa aku membayangkannya!
Kini gitar bolong itu tergeletak di dalam studio lukisku, menjadi saksi bisu perilaku gila kami, masih utuh meski warnanya sudah agak kusam, suaranya juga masih jernih, tapi jarang sekali kupakai. Aku lebih suka memandangnya daripada memainkannya, selalu membawaku kembali ke masa-masa tergila dalam hidupku.
Orang-orang bilang masa SMA adalah masa yang paling indah, bagiku masa SMA adalah masa-masa yang paling gila...!
Perbincangan saat itu begitu menyenangkan, hingga kami lupa waktu.
Bayangkan...................kami berdua ngobrol mulai pukul tujuh malam sampai adzan subuh berkumandang.
Tampak kulit kacang tercecer dimana-mana, puntung rokok memenuhi asbak, foto-foto masa SMA ketika kami mendaki gunung bersama bertumpuk-tumpuk dan berserakan, dua cangkir bekas kopi juga turut menjadi saksi betapa panjangnya perbincangan kami semalam.
Bersamaan dengan waktu subuh, perbincangan akhirnya berhenti dan ditutup dengan merebahkan diri di atas matras. Aku masih terjaga......tak bisa tidur, meski sebenarnya pandangan mataku tak lagi bisa fokus, kepala terasa pusing dan badan juga meriang.
Temanku sudah terkapar di atas matras, berbantal ransel, berselimut “sleeping Bag”. Tak tega aku membangunkannya. Kasihan dia, sebentar lagi harus berangkat bekerja. Yaaa.........................menjalani hidup yang monoton setiap hari.
Aku bergegas mengambil air wudlu dan berangkat sholat subuh di masjid dekat rumahku. Beruntung sekali aku hari ini, biasanya aku selalu kehilangan waktu sholat subuhku karena selalu bangun kesiangan tiap hari.
Sementara langit telah memerah samar oleh goresan fajar yang horisontal di sebelah timur, aku berjalan menuju masjid.
Sepulang dari masjid, aku terkejut melihat temanku sudah tidak ada.
Ternyata Ia buru-buru pulang takut terlambat bekerja. Menyesal sekali aku tak bisa mengucapkan terima kasih karena telah menemaniku semalam penuh.
Secarik kertas yang berisi pesan singkat darinya, mengejutkanku.


Dwipa, sahabatku..........................
Setiap kita melangkah, selalu dibayangi pengalaman demi pengalaman
Ada banyak pengalaman dalam hidup ini
Tapi tak semua orang
Mampu memahami
Dan menjadikan pengalaman sebagai pelajaran
......................Ntar malam aku ke rumahmu lagi
kita ngobrol lagi.....ok!!
Fatih





Tersenyum aku membacanya, dalam hatiku ada perasaan haru dan senang yang bercampur. Sungguh sahabat yang terlupakan.
Aku hanya bisa berbisik dalam hati......”Kau sahabatku satu-satunya kawan...”
Sejenak aku terdiam, kemudian aku kembali membuka foto-foto masa SMA dulu yang masih berserakan di lantai. Begitu memilukan memandang setiap lembarnya. Ingin rasanya mengalami dan mengulangi lagi masa-masa seperti dulu. Tapi jelas tak mungkin, kecuali aku menjadi penemu mesin waktu.
Lembaran-lembaran berwarna itu memang bukan gambar biasa, setiap lembarnya mengandung kisah, kenangan yang seakan menjadi mesin waktu dan membawa kita kembali ke dalam suasana saat foto itu diambil. Rupanya kita berhutang banyak kepada penemu kamera, karena jasanya kita bisa melihat bahkan mengalami kembali saat-saat paling berkesan dalam hidup kita.
Dengan langkah terseok lelah dan badan yang tidak seimbang karena rasa kantuk yang hebat, aku membereskan sisa-sisa tadi malam.
Tersentak aku tiba-tiba...............................ketika aku menemukan ada dua lembar foto kecil yang terjatuh dari dalam album foto. Mungkin milik Fatih, karena semalam Ia sempat mengeluarkan dompetnya untuk memberiku kartu nama.
Foto Fatih, dan yang satunya lagi foto cewek yang sepertinya tidak asing bagiku. Sepertinya aku pernah mengenalnya.
“Cantik sekali.....................tapi................ siapa ya.?.............sepertinya aku mengenal cewek ini.......”
Cukup lama aku berpikir.................................akhirnya aku kembali teringat .
“Ya.........................aku ingat....................
“.............Sekar.............”.Bisikku dalam hati
Cewek idaman Fatih semasa SMA dulu”.
Tersenyum aku kemudian
“Ternyata kamu masih mencintai Sekar..............kawan”
Dalam hati aku juga tertawa
“ Dasar laki-laki setia, kau kawan...................tak pernah menyerah juga kau mengejarnya.............”.
Entah sudah berapa kali Fatih ditolak oleh Sekar, tapi Ia tetap ngotot juga. Padahal aku juga pernah mencomblangi mereka, tapi tidak berhasil juga. Sekar memang cewek idola dan yang paling cantik di SMA ku dulu, terlebih lagi dia adalah siswa pindahan dari Jakarta. Anehnya, tidak ada satupun laki-laki yang pernah menjadi pacarnya. Dari dulu, Sekar memang terkenal cerdas dan pandai bergaul. Anaknya asyik diajak ngobrol dan hobinya juga suka mendaki gunung. Tapi Ia tidak ikut organisasi pecinta alam seperti aku dan Fatih. Ia lebih menyukai dunia tari dan teater.
Dari dulu Sekar tak pernah punya pacar, entah kenapa aku tidak tahu persis. Mungkin orang tuanya belum mengijinkan Ia untuk berpacaran.
Tidak tahu bagaimana kalau sekarang, mungkin Ia sudah punya pacar....................atau mungkin malah sudah jadian sama Fatih.....?.
Aku hanya tersenyum sambil memandang kedua foto tadi, kemudian lekas kumasukkan kembali kedalam album fotoku.
Tak sabar aku menunggu Fatih nanti malam di rumahku, ingin rasanya segera menanyakan bagaimana kabar Sekar sekarang.
Mungkin dugaanku benar, Ia pacaran dengan Sekar
“Ha.....ha.........” Dalam hati aku tertawa, lucu juga mengingat kembali kisah asmara masa-masa SMA dulu.



...................................****.............................


Kembali aku mengawali hari dengan secangkir kopi panas dan sebatang rokok kretek kesukaanku. Pagi ini terasa begitu asing bagiku. Baru kali ini aku bangun sepagi ini, dan baru kali ini juga aku bisa melihat matahari terbit. Memang semenjak kuliah, aku tak pernah bisa bangun pagi. Baik di rumah maupun di kost-an ku di Bali. Karena itu aku selalu tidak masuk saat kuliah pagi dan akhirnya banyak mata kuliah yang aku tidak lulus hanya karena tidak bisa bangun pagi. Ternyata bukan kemampuan menghapal atau kemampuan penalaran saja yang diperlukan untuk kuliah, tapi juga kemampuan untuk bangun pagi yang sangat jarang dimiliki oleh para mahasiswa kebanyakan.
Beruntung sekali aku bisa merasakan pagi kembali. Ternyata menyenangkan sekali melihat pagi.
Rasa kantukku tiba-tiba hilang, meski badan tetap merasa seperti melayang. Aku memutuskan untuk jalan-jalan sebentar menghirup udara pagi yang selama ini tak pernah aku rasakan.
Dengan santai ku kayuh sepeda, melewati sawah yang baru saja selesai dibajak dan dipenuhi burung-burung yang asyik mencari cacing, tampak juga petani yang mulai menanam padi.
Rasa kagumku pada mereka, membuat aku menghentikan sepedaku sejenak untuk mengamati para petani yang menanam padi itu. Tak tampak kegembiraan di raut wajah mereka. Aku merobohkan sepedaku di tepi sawah dan kuberanikan diri untuk mendekati mereka.
“Wah............mau ikut menanam Den?” Tanya seorang lelaki tua dengan sangat ramah.
“Oh...nggak pak........................saya cuma ingin melihat-lihat saja kok” Jawabku dengan senyum ikhlas.
“Ya..........begini ini Den cara menanam padi. Gampang-gampang susah” Tiba-tiba seorang ibu setengah tua menyahut dari kejauhan.
“Kenapa bu................................?” Jawabku lantang.
“Ya............................susahnya kalau mau mengairi sawah............................., harus berebut.......! Apalagi kalau musim kemarau seperti sekarang ini. Kadang-kadang harus menunggu sampai tiga hari baru dapat giliran. Itu pun kalau nggak diserobot oleh petugas irigasi yang ditugasi mengairi sawah milik juragan Karmin. Bukannya membantu mengatur jadwal, mereka malah bikin ruwet jadwal saja. Dan yang lebih parah lagi, Juragan Karmin seenaknya saja menaikkan harga pupuk dan membeli gabah padi kami dengan harga yang sangat murah” Jawab lelaki tua itu sambil terus menanam bibit padi.
“Apa nggak ada yang protes ....pak?”
Lelaki tua itu menegakkan badannya sambil melepas capil di kepalanya.
“Protes..............................? Bisa-bisa sawah kami dirusak Den. La wong sawah ini aja kami menyewa dari juragan Karmin! Ya.............wes mau bagaimana lagi, namanya orang kecil ya cuma bisa pasrah” Kali ini lelaki tua itu menjawab dengan tatapan mata yang serius.
Seketika aku terdiam dan hanya menyimpan rasa iba dalam hatiku yang paling dalam. Rupanya ada yang salah dengan sistem sosial-ekonomi di desaku ini. Rupanya ada benih-benih penindasan dan kesewenang-wenangan di desa tercintaku ini.
Juragan Karmin memang orang paling kaya di desaku, usianya masih sangat muda. Tujuh tahun lebih tua dariku. Dia menjadi tuan tanah di desaku setelah mewarisi harta kekayaan milik ayahnya. Sungguh..............seandainya aku bisa berbuat sesuatu, pasti akan aku lakukan untuk menolong mereka yang tertindas.
Tapi aku hanya bisa diam dan menyimpan dendam dalam hati. Segera aku bangun dari tempatku duduk.
“Pak......................bu......................saya permisi dulu, soalnya mau jalan-jalan !”
“ Oh.......................iya Den, hati-hati ya” Sahut mereka dengan sedikit tersenyum.

Rupanya senang juga bisa membuat orang tersenyum, sungguh perasaan yang tak bisa di jelaskan. Jauh melebihi rasa puasku ketika mengalahkan lawan-lawan debatku.

Kembali kukayuh sepeda melewati pematang sawah yang sedikit lebar. Tampak matahari sudah sedikit naik dan sinarnya begitu kuat menerobos ranting-ranting pohon yang masih basah oleh embun, sinarnya terasa begitu hangat ketika menerpa kulitku.
Sejauh mataku memandang, hanya tampak sawah milik juragan Karmin yang terhampar. Ada yang baru selesai dibajak, ada yang masih baru ditanami, ada yang sudah menghijau, dan ada juga yang sudah menguning bersiap untuk dipanen. Pohon-pohon di kejauhan tampak begitu hijau. Suara burung berkicau, bersautan dengan suara angin yang begitu lembut bertiup.
Tiba-tiba aku berhenti, dan tatapan mataku mengarah pada pemandangan di sekelilingku. Luar biasa memang indahnya desaku ini, di sebelah timur nampak menjulang pegunungan Iyang dengan puncaknya Argopuro, di sebelah selatan nampak gunung Tarub dan Lamongan dengan puncaknya yang selalu tertutup kabut. Dari kejauhan, di sebelah barat tampak punggung gunung Tengger yang berselimut kabut. Dan dari balik gunung itu, menjulang perkasa puncak Mahameru yang berwarna putih kecoklatan.
Cukup lama aku memandang, gunung-gunung itu sejenak membiusku. Terutama gunung Semeru yang mulai mengepulkan asap pekatnya.
Ya.......................gunung Semeru. Puncak tertinggi se-Jawa.................... Puncak abadi para dewa.
Kembali kurobohkan sepedaku di pinggir sawah, dan kuputuskan untuk duduk sejenak menikmati pemandangan luar biasa itu.
Seperti biasa....................................sebatang rokok kretek aku nyalakan. Dengan perasaan takjub, aku menikmati setiap hisapan rokokku dalam-dalam.
“Sangat menggetarkan jiwa, ingin rasanya kembali kesana” Bisikku dalam hati , sambil menghisap dalam-dalam rokok kretek yang baru saja kunyalakan.
Perjalanan dengan sepeda tadi sungguh menyenangkan sekaligus melelahkan bagiku. Sampai di rumah aku langsung rebah di atas kasur sambil menonton acara TV, tak lama matakupun tertutup dan aku tertidur juga.

Ting.......tong.....................ting.................... tong...........!!

Tiba-tiba suara bel rumah mengagetkanku dan membuatku terpaksa terjaga dari tidurku. Aku bergegas bangun dan turun dari kasur, kulihat jam dinding menunjukkan pukul 3 sore. Rupanya pulas juga aku tertidur. Padahal perasaan hanya sebentar aku tertidur.
Dengan langkah sempoyongan, rambut acak-acakan dan wajah kusut serta mata yang masih bengkak, aku berjalan menuju pintu depan. Aneh juga, kenapa tidak ada yang membukakan pintu.
Saat pintu kubuka. Aku terkejut dan seolah tak mampu bergerak.
“ Assalamualaikum ..............masih ingat sama aku.?”
Seorang perempuan berparas cantik berdiri tepat dihadapanku. Aku tercengang tak berkata apapun.

“Hey.....................kok bingung?, pasti lupa ya sama aku?”
Dalam hati aku berbisik “ Masa sih..............Agni..?”

“Eh.....................Dwi..............aku Agni, masa sih lupa?” Tanyanya kembali sambil mengulurkan tangan.
“Oh........... iya, aku ingat kok. Cuma kaget aja sih, kamu kok tambah cantik ? Rambut panjangmu kemana?” Ucapku menggoda, sambil menyambut uluran tangannya.
Tiba-tiba aku tersadar bahwa aku baru bangun tidur. Duh....malunya perasaanku. Rambut masih acak-acakan, mata bengkak dan wajah benar-benar kusut. Yang lebih parah lagi garis putih dari mulut ke pipi nampak jelas terlihat. Tapi, mau bagaimana lagi, terlanjur dia sudah melihatnya. Cuek aja.
“Masuk........ayo........... Sebentar ya....aku mau mandi dulu. Sori ya, aku bangun tidur soalnya!”
“Oh iya ................nggak apa-apa. Aku tunggu di luar aja deh” Jawabnya dengan senyum manja yang khas dan tak pernah aku lupa sejak masih SMA dulu.
Aku cepat-cepat mandi, dan berpakaian rapi seperti mau bertemu pacar saja. Sambil membawa dua gelas teh hangat, aku menemuinya di teras depan rumahku.
Dari balik kaca, aku mencuri-curi pandang. Wajahnya benar-benar tak berubah, masih tetap cantik, hanya kulitnya saja yang sedikit lebih gelap.
Kami duduk di teras depan rumahku yang sederhana, bangunan kuno peninggalan kakekku. Dari dulu sampai sekarang masih tetap tidak berubah. Ayahku memang sengaja menjaga keaslian setiap sudut bangunan di rumahku. Setiap kali aku berada di dalam rumahku, aku serasa terlempar ke masa lampau di saat kakekku memimpin rapat-rapat penting di ruang tamu atau sekedar “cangkrukan” bersama warga dan rekan-rekan sesama pejuang di teras depan rumah. Rumah yang penuh sejarah, sayang kulit temboknya sudah banyak yang terkelupas, atap teras yang terbuat dari seng sudah karatan dan bolong-bolong, genthengnya sudah berkali-kali diganti karena sering pecah. Kayu-kayunya terlihat lapuk dan kusam namun masih cukup kuat, lantainya yang hanya “plesteran” dari semen dan sebagian masih dari tanah yang dipadatkan juga banyak yang retak-retak. Namun aneh, keadaan rumahku yang seperti itu justru yang membuatku betah karena suasananya yang tenang, sejuk dan sedikit lembab.
Sore itu, angin gending bertiup sangat kencang. Menggoyangkan pohon-pohon mangga yang menjulang tinggi di sekitar rumah, daun-daun dan ranting-ranting pohon banyak yang berjatuhan dan berserakan di halaman rumah yang gersang bahkan sampai masuk ke dalam teras rumahku. Debu-debu yang berterbangan semakin menambah suasana khas musim kemarau di desaku. Tidak ada rumah yang bersih, semua rumah terlihat seperti tak berpenghuni. Kotor dan berdebu. Saat itu memang akhir bulan Juli, puncak-puncaknya kemarau dan angin gending.
Agni duduk di teras rumah, tangannya asyik menekan tombol-tombol handphone. Sesekali dia terlihat tersenyum sendiri. Aku segera menghampirinya dengan dua gelas teh hangat ditanganku.
“Hey....” Sapaku sambil tersenyum kepadanya.
“Wah......kok repot-repot sih.....? aku datang kesini kan bukan untuk minum teh, tapi cuma ingin ketemu kamu Dwi....?” Saut Agni menggodaku.
Aku hanya tersenyum sambil menatap matanya yang bening, “Ah.........terserah deh............”Jawabku sambil meletakkan dua gelas teh hangat di atas meja kayu bundar yang kusam. Sementara Agni segera memasukkan handphonenya ke dalam saku celananya.
Dari kejauhan terlihat mobil sedan merah terparkir di pinggir jalan. Rupanya Agni sudah boleh membawa mobil sendiri.
Tanya jawab seputar kesibukan antara kami berdua selama ini, mengawali perbincangan.
“Aku dengar dari teman-teman, kamu kuliah di Bali ya.?” Tanyanya dengan sedikit tersenyum.
“Iya................kalau kamu?”
“Sekarang aku kuliah di Jogja, ambil jurusan Filsafat”
“Wah keren......?” Jawabku sambil mencuri-curi pandang. Senyumnya begitu tulus meski terlihat sedikit manja.
“Keren apanya.................kamu tuh yang keren, ambil jurusan seni lukis, nyleneh sendiri diantara teman-teman. Emangnya kamu pingin jadi pelukis ya ?” Tanyanya serius.

Aku terdiam tak berani menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang selalu kudengar setiap kali bertemu dengan teman-temanku. Bukan hanya teman-temanku sih, hampir semua orang yang ingin tahu banyak tentangku selalu menanyakan pertanyaan yang sama kepadaku.
Aku balik bertanya kembali kepadanya, menghindari pertanyaannya tadi.

“Kamu nggak berubah ya......................masih seperti dulu, tetap cantik dan enerjik.Rahasianya apa sih?”
“Ah ................bisa aja kamu Dwi, emangnya aku cantik?”
Aku kembali terdiam dan tersenyum. Sejenak aku menatap langit yang tak lagi biru.
Kembali handphone Agni berbunyi, tapi kali ini Ia langsung mematikan handphonenya. Wajahnya tampak bingung dan seperti merasa bersalah kepadaku.
“Oh....iya.............kemarin Fatih kesini lho, kami ngobrol sampai pagi”
“Wah...............katanya dia udah kerja ya...?, gimana kabarnya tuh anak?”
“Tetep sih, tetep kurus cuma sedikit nggak cengengesan lagi. Lebih dewasa!”
“Cukup lama aku nggak ketemu dia........ingin rasanya ketemu”
“Ntar malam dia mau datang kesini lagi kok”
“Oya.?....wah kalau gitu aku pasti kesini lagi deh nanti malam”
Perbincangan antara kami mengalir begitu cepat, waktu seakan ikut-ikutan bergerak terlalu cepat. Tak terasa sudah hampir magrib. Langit sudah berubah memerah dan kicau burung-burung walet sungguh terasa memilukan bagiku.
“Kalau begitu aku pulang dulu ya Dwi......Nanti malam aku pasti kesini lagi” Ucapnya sambil tersenyum, menutup perbincangan diantara kami.
Satu lagi kawan lama datang dan pergi.
Aku masih duduk di teras rumah, bersandar di kursi kayu yang umurnya jauh lebih tua dari umurku. Angin gending masih bertiup kencang. Kunyalakan sebatang rokok, dari tadi sebenarnya aku ingin sekali merokok Cuma tidak enak saja jika harus merokok di depan Agni. Malu.......entah kenapa..?
Aku memandang langit, ranting-ranting pohon mangga yang terlihat mulai menghitam menghalangi pandanganku. Sejenak aku terbius suasana yang sepi. Aku melamun tentang masa depan, akan jadi apa aku besok?
Aku selalu membayangkan kelak saat aku sudah menjadi pelukis hebat, hidup sendiri di rumah kayu yang kubangun sendiri di atas bukit yang dipenuhi dengan kebun buah-buahan. Istri dan anak-anakku bermain di halaman sementara aku melukis kebahagiaan mereka dari balik jendela studio lukisku. Setiap pagi aku mengantarkan anakku ke sekolah naik mobil jeepku, setiap hari aku selalu bersama istriku tercinta, setiap aku melukis Ia selalu menemaniku, setiap kali aku berpameran tunggal, istri dan anak-anakku yang selalu memotong pita pembukaannya. Aku punya kebun dan sawah dengan puluhan karyawan yang selalu setia kepadaku begitu juga aku selalu menghormati dan menghargai mereka dan menyekolahkan anak-anak mereka sampai semampuku. Benar-benar impian besar yang selalu membuatku bersemangat untuk terus belajar melukis.
“Assalamualaikum” Tiba-tiba aku terjaga dari lamunan. Rupanya ayah, ibu dan adik sudah pulang dari kota.
“Wah...baru ada tamu ya...?” Tanya ibu.
“iya..bu.......teman lama”
“Siapa...?”
“Agni...”
“Oh.......Agni, sudah lama ya dia nggak kesini”
“ehmmm....ehm........CLBK..........nih” Celetuk adikku tiba-tiba.
Ayah dan ibu hanya tersenyum, sementara aku tersipu malu.
“Ayo masuk, sudah mau maghrib....nih...” Ucap ayah dengan suara yang terlihat sangat kelelahan.
“iya..sebentar yah...”
Ayah, ibu dan adikku masuk kedalam rumah, sementara aku masih terdiam dan kembali melanjutkan lamunan.
Apa yang terjadi pada diriku. Setiap kali aku memandang langit sore, yang tampak hanyalah masa lalu yang selalu memilukan untuk dikenang kembali. Aku merasa seperti sedang melakoni adegan-adegan dalam sebuah drama yang ditulis pengarangnya tanpa bisa ku menolak atau berontak atas skenario yang telah dibuatnya.
Hari sudah magrib, langit tampak merah dengan awan yang terburai seperti selendang sutera yang tertiup angin, sementara suara adzan telah menggema bersaut-sautan. Namun suara adzan dari masjid yang paling jauh terdengar lirih dan semakin menambah haru perasaanku. Aku seperti merasakan kehampaan yang amat sangat dalam hidup. Benar-benar rasa sepi yang amat menyiksaku.
Aku segera masuk ke dalam rumah, cepat-cepat mengambil wudlu dan berangkat ke masjid yang berada tak jauh dari rumahku.
Setelah sholat maghrib, aku sengaja berdiam diri di masjid menunggu sampai waktu sholat Isya’ tiba. Entah mengapa aku selalu merasa damai dan tenang setiap kali aku berada di dalam masjid. Mungkin memang benar kata ayahku. Masjid adalah tempat terapi jiwa yang paling ampuh bagi jiwa yang sedang rapuh.
Sejak kuliah di Bali, aku memang jarang sholat. Malas sekali rasanya untuk sholat, paling-paling hanya pada hari jum’at saja aku baru bisa sholat, itupun kalau tak ada teman yang mengajakku main ke pantai Sanur. Tempat favoritku untuk melukis.
Sepulang dari masjid, rupanya Fatih sudah menunggu di studio lukisku yang berada di samping rumah. Sambil menghisap rokok, Ia asyik mengamati lukisan-lukisanku yang tak sempat dilihatnya kemarin malam. Ia tampak sangat serius sekali mengamati lukisanku.
“Assalamualaikum......” Ucapku menyapa Fatih.
“Waalaikumsalam.......................wah rupanya kau sudah pandai melukis kawan!” Jawabnya dengan sedikit senyum.
“Ah...tidak juga............. Sudah lama menunggu?”
“Nggak kok, aku baru aja datang”
Aku langsung duduk dan mengambil sebatang rokok kretekku. Dengan asap mengepul aku mulai membuka percakapan.
“Tadi sore Agni datang kesini, cukup lama kami ngobrol sampai hampir magrib. Katanya dia mau datang lagi malam ini, ingin bertemu sama kamu. Penasaran katanya..........!”
“Brengsek kau kawan, ternyata diam-diam masih berhubungan sama Agni. Katanya nggak punya pacar?” Jawabnya dengan sedikit bercanda.
“Eh.....aku sama Agni nggak pacaran tau. Kamu tuh..........yang masih ngebet sama sekar, jangan-jangan sudah pacaran?”
“Sialan............ tau darimana kamu...?”
“Aku kan sahabatmu, jadi aku tahu semua gerak-gerikmu” Sautku sambil menghisap dalam-dalam rokokku.
“Mimpi apa aku bisa pacaran sama Sekar.................. aku tak pernah lagi berhubungan sejak kita lulus SMA”.
“Rupanya kita akan jadi jomblo sampai tua............kawan...............Ha...........Ha...”.
Kami berdua tertawa keras. Aku merasakan kehampaan dalam hidupku kembali sirna.
Entah mengapa, rasanya hanya Fatih yang bisa kupercaya selama ini. Dia adalah sahabat sejati yang selalu hadir di saat aku merasa bahagia maupun disaat aku merasakan kesedihan. Ternyata masih ada sahabat yang kumiliki.
Tiba-tiba suara mobil terdengar berhenti tepat di depan rumahku. Aku menengok dari balik jendela, mobil sedan merah. Rupanya Agni yang datang.
“Fat................tuh Agni datang” Ucapku sambil sedikit berbisik.
“Assalamualaikum.........” Agni menyapa kami dengan penuh semangat.
“Waalaikumsalam...........................”
“Hai..................cantik, masih ingat sama aku” Fatih menyapa dengan ramah.
“Emangnya aku bisa lupa dengan tubuh kurusmu.?” Cletuk Agni sambil tersenyum.
Kami bertiga akhirnya terlibat dalam perbincangan seru. Seperti biasa, yang dibicarakan mulai dari kesibukan kami selama ini, masa-masa SMA, sampai kisah perjalanan mendaki gunung. Agni memang juga suka mendaki gunung, sampai sekarang Ia masih mendaki. Entah sudah berapa puncak gunung yang telah dijejakinya, yang aku tahu terakhir kali Ia mendaki gunung Rinjani dan Tambora. Belakangan bahkan kudengar Ia akan ke puncak Jaya dan sekaligus menggapai puncak Cartenz Pyramid lewat jalur selatan, jalurnya Norman Edwin yang terkenal sangat sulit dan cukup diperhitungkan oleh para pendaki kelas dunia. Wah...benar-benar perempuan yang tangguh.
Perbincangan begitu hangat dan akrab, tapi kali ini tanpa ditemani kopi atau asap rokok, meskipun aku dan Fatih seorang perokok berat, tapi kami tetap menghargai orang yang tidak merokok. Aku tahu, asap rokok pasti mengganggu bagi orang-orang yang anti rokok. Karena mereka punya hak, jadi kami menghormati itu.
Kembali perbincangan mulai melambat, ketika tiba-tiba Agni bertanya tentang masalah pacar kepada kami berdua.
“Kalian sudah punya pacar.....?”
Aku dan Fatih hanya terdiam dan saling berpandangan, kemudian tersenyum dan lantas tertawa terkekeh.
Demikian pula dengan Agni, Ia terlihat tersenyum dan kemudian tertawa pelan.
“Kenapa.....?.........................serius aku bertanya, kalian sudah punya pacar tidak?” Ucap Agni sambil tetap tersenyum dan kali ini dengan melambatkan tempo bicaranya.
“Belum.!!!” Aku dan Fatih menjawab dengan kompak tanpa aba-aba.
“Dilarang membicarakan soal pacar.............!” Fatih memotong pembicaraan.
“Oh iya, gunung mana aja yang sudah kau daki...?.” Aku mengalihkan topik pembicaraan dengan pertanyaan basa-basi.
Agni mengulum senyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Banyak sih, tapi bulan Agustus nanti rencananya aku dan lima orang temanku mau berangkat ke Irian Jaya, mendaki puncak Jaya dan mengibarkan bendera merah putih di puncak Cartenz rencananya. Acara PATAGA (upacara tujuh belas Agustus) gabungan MAPALA se Indonesia. Kalian mau ikut?”
“Oh.....nggak..” Jawabku dengan singkat.
“Asyik juga sih sebenarnya, tapi aku nggak ada waktu lagi untuk mendaki gunung” Fatih menjawab dengan rasa sesal.
“Rupanya kau masih memegang teguh janjimu Dwi.......?” Ucap Agni sambil menatap kepadaku. Raut mukanya seakan memberi isarat agar aku melupakan janjiku itu. Janji yang kuucapkan ketika terakhir kali aku mendaki gunung Semeru bersamanya.
“Ya.............begitulah” Jawabku singkat dengan nada pelan.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat. Tiba-tiba sudah pukul sepuluh malam lewat seperempat menit. Terpaksa Agni harus segera pulang karena meskipun anak gunung, Ia masih anak mama yang tidak boleh pulang larut malam.
Agni memang anak yang unik, sekalipun sedikit tomboi tapi dia masih tergolong sebagai anak yang patuh kepada orang tuanya. Tidak seperti aku yang selalu bertolak belakang dengan keinginan orang tuaku. Terkadang aku merasa bersalah juga, tapi rasa bersalah itu kembali lenyap ketika aku menyadari bahwa tindakanku itu sudah benar menurutku.

Pukul setengah sebelas tepat, Agni pulang.

Kini tinggal aku dan Fatih yang kembali terlibat dalam percakapan.
Suasana begitu sepi. Tak seceria tadi sewaktu masih ada Agni.
Fatih masih asyik mengamati lukisan-lukisanku, dari tadi sepertinya Ia tertarik pada salah satu lukisanku yang belum selesai. Aku pura-pura cuek, sambil menghisap dalam-dalam rokokku.
“Apa maksud lukisanmu ini Dwi...?Kamu ingin mati ya..?Melukis kok kuburan....serem tau..!” Tiba-tiba Fatih bertanya kepadaku sambil tetap memandangi lukisanku yang baru selesai separuh itu.
Aku hanya tersenyum dan menjawab dengan singkat.
“Rahasia.!”
“Ah...............pakai rahasia-rahasiaan segala, seperti pelukis terkenal aja kau ini. Rupanya kamu masih tidak bisa jujur sama aku ya kalau soal lukisan?”
“Bukan begitu masalahnya, kalau aku menjelaskan arti lukisanku kepadamu berarti aku telah membunuh imajinasimu kawan. Aku selalu menganggap lukisanku itu sebagai anakku yang mampu berbicara sendiri dengan bahasanya sendiri kepada siapapun. Tiap orang berhak menilai sendiri maksud dari lukisanku ini, sekalipun tidak cocok dengan apa yang aku maksudkan. Itulah bedanya lukisan dengan gambar, lukisan itu tak terbatas, abadi dan mampu menembus waktu, karena itu sebuah lukisan sebenarnya tak ternilai harganya, jika ada sebuah lukisan terjual mahal, sebenarnya uang hanya untuk menghargai kreatifitas pelukisnya saja sementara nilai dari lukisan itu sendiri tak akan bisa digantikan dengan uang berapapun banyaknya. Contohnya lukisan “Monalissa” karya Leonardo Da Vinci yang sekarang tersimpan di dalam museum Louvre-Perancis, siapa yang bisa membelinya saat ini? Bahkan Bill Gate, Donald Trump atau ratu Elisabeth sekalipun tidak akan mampu membeli lukisan “Monalissa” itu. Itu karena lukisan “Monalissa” sudah tak ternilai lagi harganya, uang tak bisa lagi menggantikannya” Jawabku panjang lebar seperti pelukis yang sedang ditanyai oleh kurator atau kritikus seni saja.
Fatih setia mendengarkan penjelasanku, meskipun aku tahu dia sebenarnya tidak mengerti maksud ucapanku tadi.
“Waduh.............aku nggak ngerti sama sekali dari maksud pembicaraanmu..........,anak, bicara sendiri, abadi, menembus waktu, Monalissa, Leonardo Da Vinci, Bill Gates, Ratu Elisabeth. Ah..................Pertanyaanku kan sederhana, kenapa jawabannya begitu rumit...?...........Dasar pelukis......................................... Orang aneh!”
Aku hanya tersenyum, lalu mematikan rokokku.
“Kopi...?” Seperti biasa aku menawarkan.
“Oh.........nggak usah Dwi, soalnya aku malam ini harus istirahat total. Tadi pagi aku tidak bisa konsentrasi kerja gara-gara tidur hanya sebentar”.
Tiba-tiba aku teringat pada keinginanku untuk mengetahui bagaimana kabar Sekar. Langsung saja aku menanyakan pada Fatih.
“Bagaimana kabar Sekar sekarang?”
Fatih pura-pura tidak mendengar dan mengamati beberapa lukisanku yang lain.
“Hey.................bagaimana kabar Sekar?”
“Sekar..................?.Nggak tahu ya.!” Fatih menjawab dengan singkat.
“Halah.............masa sih kamu nggak tahu?”
“Iya...........bener, aku nggak tahu. Emangnya ada apa kamu kok menanyakan Sekar?”
“Oh enggak ada apa-apa sih, Cuma ingin tahu aja. Kamu kan dulu suka banget sama Sekar. Kamu masih suka sama Sekar kan sampai sekarang?”.
Dengan muka tersipu sambil tersenyum sendiri. Fatih menjawab dengan mantap.
“Suka sih iya, tapi nggak terlalu ngebet seperti dulu lagi. Saat ini aku hanya konsentrasi mencari uang untuk masa depanku”.
Sesaat suasana menjadi hening.
“Tumben kau bisa berpikiran dewasa kawan. Coba kalau dulu, dikit-dikit yang dibicarakan Sekar terus!” Ucapku dengan gaya menyindir.
“Ah itu kan masa lalu Dwi, kamu sendiri bagaimana sama Agni? Jangan-jangan kalian masih pacaran ya?”
“Ada-ada aja kau ini, kamu lihat sendiri tadi kawan. Aku dan Agni sekarang hanya bersahabat. Semenjak putus waktu SMA dulu, kami tak lagi saling berhubungan. Baru tadi sore dia datang............
Tiba-tiba Fatih memotong pembicaraan
“Ingat..................kawan, tak ada yang namanya persahabatan sejati antara laki-laki dan perempuan. Salah satu diantaranya atau mungkin kedua-duanya sebenarnya pasti ada perasaan suka atau cinta, hanya saja tak berani mengungkapkan, sehingga memakai kedok perahabatan sebagai sarana pendekatan. Masih ingat nggak sama kata-kata itu? Kamu sendiri kan yang dulu pernah mengatakan kepadaku?”
Seketika aku mengerutkan dahi, berpikir dan mengingat pada kata-kata yang sebenarnya pernah kuucapkan sendiri.
“Brengsek kau kawan, masih ingat juga pada kata-kataku itu!”
“Ngakunya pangeran cinta tapi nggak bisa membedakan antara persahabatan dan cinta”. Ucap Fatih dengan canda.
“Ha......ha.......ha........” Kami berdua tertawa bersama.
Kembali sebatang rokok kretek kunyalakan. Kuhisap dalam-dalam asap pertama yang mengepul. Pikiranku tiba-tiba melayang jauh membayangkan suasana kehidupanku di Bali. Teman-teman kuliahku yang unik, asyik tapi juga menjengkelkan. Suasana pantai Sanur dan Kuta yang romantis, juga penduduk desa dan bule-bule yang ramah dan tulus, meskipun tidak semua begitu. Namun tiba-tiba, lamunan yang menghayutkan itu hilang seketika. Terbayang kembali tugas-tugas kuliah yang belum rampung. Beberapa mata kuliah yang masih belum kutempuh dan harus kuulang karena tidak lulus, belum lagi suasana kampus yang bagiku lebih mirip dengan Rumah Sakit Jiwa. Apalagi dosen-dosenku begitu menyebalkan, sombong dan suka pamer kemampuan atau prestasi.
“Hey kawan............”
Tiba-tiba suara Fatih mengejutkanku
“Wah........baru sebentar aja ditinggal Agni, udah ngelamun..........................masih kangen ya..?” Ucap Fatih menyindir aku.
“Sialan kau.................mau tahu aja sih”Jawabku tersipu
“Ha ha ha..........orang ngelamun itu pasti ada sebabnya, dan kebanyakan penyebab utamanya adalah mimpi yang belum tercapai, gimana........Dwi?.......penjelasanku masuk akal kan?”
“Tumben kau pinter..................rupanya suara mesin-mesin di pabrik justru mengencerkan otakmu ya......ha...ha”
Kembali kami tenggelam dalam canda tawa, sesekali kami juga berdiskusi tentang sesuatu yang sangat serius. Dari masalah undang-undang perburuhan, pendidikan di Indonesia, paham-paham ekonomi dan politik, sampai pada diskusi tentang Tuhan. Mulai dari filsafatnya Plato, imam Al Gozali, Iqbal, Harun Yahya, Ahmed Deedad sampai dendang atheismenya si Nietzsche yang katanya telah berhasil membunuh Tuhan, kenyataannya si Nietzsche sendiri kini terbunuh oleh Tuhan......ha...ha....ha...konyol!!. Ya......rupanya beginilah kalau dua orang yang satu aktivis buruh dan yang satunya lagi aktivis mahasiswa bertemu dan berbincang. Sama-sama beradu pendapat dan otak. Tapi ketika diskusi kami mulai mengarah kepada diskusi tentang Tuhan, aku segera mengingatkan “Sebenarnya kita ibarat sedang membicarakan kucing dalam karung. Sama-sama tidak tahu, karena itu kita harus hati-hati. Atau kita akan terjebak dalam tebak-menebak yang berakhir hanya dengan omong kosong”.
Ketika malam semakin larut, perbincangan kami semakin serius. Kini tentang masalah revolusi. Revolusi pendidikan, ekonomi, politik dan budaya.

“Lagi merencanakan gerakan apa organisasimu?” Tanyaku membuka perbincangan baru.
Fatih segera mematikan rokok di tangannya, kemudian mengusap mukanya yang terlihat mulai mengantuk.
“Teman-teman sih, rencananya dalam waktu dekat ini mau mengadakan demo ke kantor DPRD”
“Masalah apa?”
“Undang-undang perburuhan yang menyengsarakan itu?”
“Wah bagus tuh.....aku setuju sekali Fat”
“Iya lah.............masa kita mau terus-terusan dibodohi dengan sistem yang lebih banyak berpihak pada kaum kapitalis? Sudah saatnya kita kaum buruh berani menolak sistem kontrak itu. Sistem kontrak.............................enak aja, memangnya kita barang kontrakan apa?”
“Ok aku setuju sekali denganmu Fat, tapi yang jadi masalah apakah para wakil rakyat itu mau membela kaum buruh? Namanya saja wakil rakyat tapi tidak pernah bisa memperjuangkan aspirasi rakyat. Sepertinya lembaga legislatif sudah tidak berfungsi lagi. Contohnya saja masalah kenaikan harga sembako dan BBM. Apakah ada rakyat yang setuju? Kenyataannya harga tetap naik juga. Lalu dimana peran wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan aspirasi rakyat? Omong kosong!”
“Bukan masalah mau atau tidak mau Dwi, tapi berani apa tidak?”

Kembali Fatih menyalakan rokok

“Kalau tidak dengan demo mau dengan cara apa lagi? Iya nggak Dwi?”
Kali ini aku mematikan rokokku yang hanya tinggal beberapa sentimeter saja. Kemudian kusambung dengan sebatang rokok kretek yang baru. Jresss.......Rokok menyala....asap mengepul bak kereta lokomotif di jaman penjajahan.
“Ada lagi cara lainnya kawan...!” Aku menjawab dengan santai, seperti seorang mafia yang sedang bermain judi.
“Cara lain...........maksudnya?”
“Merebut sebanyak-banyaknya kursi parlemen”
Fatih terdiam dan mengerutkan dahi, sepertinya Ia tidak mengerti maksudku.
“Merebut kursi parlemen. Ah jangan sok politis lah, gimana maksudnya tuh?”
“Begini..........Umpamanya Parlemen mempunyai wakil rakyat 600 orang! Seandainya kaum buruh yang notabene sebagai kaum terbesar di sebuah negara yang sedang berkembang apalagi di negara industri, memiliki partai yang besar dan kuat. Maka akan mendapatkan wakil dalam pemilihan di parlemen. Misalnya sebanyak 350 orang saja. Dalam teori sudah dapat dipastikan akan mendapat suara lebih, yang 250 orang adalah dari golongan lain, katakanlah kaum borjuis, agamis, nasionalis atau apalah itu. Pada kenyataannya kaum buruh di Inggris, Amerika atau Jerman memang bisa mendapatkan 2/3 atau 3/4 dari seluruh suara yang diperebutkan di Parlemen. Itu masih kaum buruh saja Fat, bagaimana seandainya jika kaum buruh dan kaum tani bersatu..? Wah pasti akan jadi lebih kuat dan bisa lebih banyak merebut kursi di parlemen. Meskipun mungkin 50 suara yang lainnya kita anggap saja abstain. Nah sampai disini kamu mengerti kan maksudku?”
“Ya...ya...ya..........sedikit”
“Ok.......................Jadi dengan kursi terbanyak itu, kaum buruh bisa memegang kendali dalam merancang undang-undang di parlemen yang jauh lebih baik dan lebih memihak pada kaum proletar, untuk melenyapkan hak milik perseorangan atas industri-industri vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak, supaya bisa di nasionalisasikan menjadi milik negara. Dimana produksi dan distribusi diatur secara kolektif. Keuntungan hanya untuk kesejahteraan bersama. Dengan begitu, kaum buruh tidak akan dirugikan lagi karena kekuatan kaum kapitalis sudah sangat berkurang”
“Setuju sekali aku dengan pikiranmu itu Dwi, tapi masalahnya sangat sulit sekali kaum buruh bisa menembus pemilihan wakil di parlemen. Kenapa? Sebab yang berteriak memajukan dan memperjuangkan para calon wakil itu adalah uang. Siapakah yang bisa mengirimkan propagandis ke kota-kota sampai seluruh pelosok? Siapa juga yang bisa menyewa gedung-gedung/ lapangan untuk rapat umum? Menyebarluaskan iklan di koran, majalah, radio, televisi untuk memuji calon sendiri dan mencemooh calon lawan. Siapa kalau bukan si Uang......... Dwi?. Dan yang punya uang ya kaum kapitalis. Yang menguasai kaum intelek, agamawan, seniman, birokrat, polisi sampai tentara sekalipun siapa kalau bukan si kapitalis?..Iya..kan..?”
“Busyet........pinter juga ternyata kau kawan, ya....ya......ya memang benar sih semua yang kau sampaikan barusan. Ternyata kita belum merdeka 100%, kita masih terjajah bung. Terjajah oleh kaum kapitalis. Mau pintar harus punya uang, mau kerja harus punya uang, mau sehat juga harus punya uang. Sampai-sampai mau nguburkan orang mati saja masih butuh uang. Negeri ini masih dipegang oleh para pengusaha bukan para negarawan atau bangsawan yang mengerti akan nilai-nilai kemanusiaan”
“Sepakat.......!”
Fatih menjawab dengan mantap
“Nah.............tapi masih ada cara lain lagi kawan?”
“Cara lain................?”
Dengan santai sambil mengepulkan asap rokok dari mulut, aku menutup perbincangan.
“REVOLUSI........!!”
Fatih langsung terkejut mendengar pernyataanku, tetapi kemudian Ia mulai mengangguk-angguk.
“Boleh.............boleh juga tuh dicoba. Tapi masalahnya Revolusi juga butuh uang kawan!”

“Ha....ha...ha......ha.......” (Kami berdua tertawa puas seperti baru saja menemukan jalan keluar dari sebuah permasalahan negeri, tetapi kembali terjebak dalam lingkaran yang sama)
Perbincangan saat itu benar-benar seru, sayangnya perbincangan kami hanya disimak oleh cicak dan nyamuk-nyamuk yang terbang kesana kemari. Tapi tak mengapa lah, toh kami berdua juga sangat menikmati obrolan antar dua aktivis ini. Meskipun cicak dan nyamuk tidak mungkin memahami pembicaraan kami, minimal mereka telah sudi menjadi pendengar yang baik. Hanya diam dan tak banyak berceloteh. Ha..ha...ha....masih lebih baik anjing-anjing yang bisa diperintah kesana kemari, nurut jika ada hadiah yang menanti.
Malam itu kami berdiskusi banyak sesekali bahkan sampai berdebat untuk mempertahankan pendapat kami masing-masing. Ujung-ujungnya tak ada penyelesaian, hanya kesimpulan akhir yang menggantung begitu saja tanpa pemecahan yang berarti.
.......................................Menarik juga mengamati orang-orang yang asyik dan hobi berdiskusi. Bukan.......................................bukan berdiskusi, menurutku itu berdebat. Berdebat untuk menang. Bukan titik temu yang dicari, tapi kebanyakan hanya prestise yang ingin dikejar. Ada yang berdebat untuk menunjukkan dirinya sebagai orang intelek yang paling tahu segala sesuatu, ada yang berdebat untuk mempecundangi lawan debat di muka umum, ada yang berdebat untuk mencari nilai, atau mencari simpati orang. Ada pula yang berdebat sekedar mengisi waktu luang atau memanaskan otak agar selalu encer dan tidak beku.
.................................. Berdebat tentang suatu pemikiran yang sebenarnya kita sama-sama tidak tahu persis kebenarannya. Ketika dikalahkan, rasanya ada perasaan jengkel dan dendam, ingin rasanya meninju si lawan. Tapi ketika berhasil memenangkan debat kusir itu, ada perasaan puas seperti telah meludahi dan menelanjangi lawan.
................................Ya......................kira-kira begitulah kehidupan kaum intelek kebanyakan, saling gembar-gembor pengetahuan, pamer ilmu dan kecerdasan masing-masing...................buku-buku berisi teori-teori dan bukti-bukti berdasarkan penelitian adalah senjata mereka yang gemar berdebat.
Sempat juga aku membayangkan, bagaimana jika mereka harus berdebat dengan orang awam. Tentu mereka akan pusing sendiri karena lawan debatnya tak pernah “nyambung”, sebab tidak tahu apa yang sedang dibicarakan.
.......debat .........memang sudah menjadi tradisi. Sebelum berdebat ada baiknya memikirkan kembali, untuk apa? pengetahuan atau hanya prestise yang dicari.
Coba kita bayangkan....seandainya berdebat itu adalah gerbang pengetahuan untuk menuju kecerdasan dan meraih kehormatan. Bayangkan jika berdebat itu adalah kunci bagi seseorang untuk dihormati atau ditakuti. Bagaimana jika para nabi kita dulu suka berdebat? Bisa kita bayangkan jika para nabi itu selalu berdebat setiap kali malaikat menyampaikan wahyu. Tentu para malaikat akan dibuat pusing tujuh keliling. Tuhanpun pasti akan murka.
Berdebat....! hanyalah gerbang menuju kesombongan, kunci meraih keangkuhan dan justru jalan mulus menuju jurang kebodohan. Kita bisa belajar dari kaum nabi Musa yang suka sekali berdebat, akhirnya bukannya menambah keimanan justru mereka menjadi kafir dan kembali menyembah berhala karena terlalu mempertanyakan perintah-perintah dari nabi Musa.

Berdebat..?

Lebih baik berdiskusi sehat demi mencari solusi atau titik temu dari sebuah perbedaan untuk memecahkan sebuah permasalahan.




---------------8888--------------------







Sudah satu minggu liburan semesterku, aku tak pergi kemana-mana. Sengaja aku bermalas-malasan di rumah, melukis dan menulis buku. Terkadang sih keluar, tetapi hanya sesekali. Paling-paling ya pergi ke kota Probolinggo bersama teman-teman lama. Rasanya bahagia sekali lepas dari belenggu kuliah. Aku merasa kan kemerdekaan. Ternyata ada benarnya juga kata-kata orang bijak yang mengatakan bahwa “Hidup ini hanyalah seperti sebuah permainan, sekolahlah yang membikin hidup ini jadi serius dan tampak menegangkan”.
Seharusnya di kampusku ada semester pendek selama dua bulan, tetapi aku lebih memilih untuk pulang saja daripada ikut kuliah semester pendek yang bagiku jadwalnya terlalu padat dan tugasnya juga semakin bertambah berat. Maklum kuliah diburu waktu, hanya mengejar nilai dengan waktu yang singkat. Dosennya pun mungkin juga sama. Mengajar diburu waktu, demi memburu upah tambahan.
Satu minggu aku kembali menjalin hubungan persahabatan dengan teman-teman. Bahagia sekali rasanya. Terlebih dengan Fatih dan agni yang kini menjadi semakin akrab. Sempat juga aku bertemu lagi dengan musuhku sewaktu SMA di sebuah toko buku. Bara namanya. Dia benar-benar terobsesi kepada Agni, dan dia yang dulu pernah menerima bogem mentahku tepat di depan kelas Agni karena kebencianku yang tak terbendung lagi dengan gayanya yang selalu sok jagoan, gara-gara peristiwa itu Agni langsung memutuskanku. Tak tahu apa kini Ia masih terobsesi kepada Agni..? Sepertinya sudah tidak lagi.
Ah...beruntung sekali rupanya si Bara, sudah jadi pegawai negeri di kantor kecamatan dan punya sawah yang berhektar-hektar. Maklum ayahnya dulu memang seorang camat dan pengusaha kayu yang sukses di Jakarta, kemudian dipindah tugaskan ke kota Probolinggo karena terlibat kasus korupsi, entah apa jabatannya kini. Meskipun Bara adalah musuhku waktu SMA, tetapi ketika kami bertemu biasa-biasa saja bahkan kami terkesan lebih akrab. Namun tetap ada kesan sombong dari gaya bicaranya. Rupanya jabatan turut merubah kepribadiannya. Atau mungkin karena dia sudah merasa berada di titik aman kehidupan? Sehingga tak perlu merasa kawatir jika menyombongkan diri.
“Eh...lu sekarang kerja apa?” tanyanya dengan logat Jakarta yang masih kental.
“Aku kuliah............... di Bali”
“Ah.....gua nggak kuliah aja kok bisa kerja..? Berkelas lagi.............PNS.....men!. Ngapain capek-capek kuliah ngabisin banyak duit, toh nantinya ya masih kesulitan cari kerja? Mendingan uangnya dibuat nyogok biar bisa diterima kerja. Nah ntar kalau udah diterima, baru tuh kita kuliah atau kalau bisa tinggal beli ijazah aja...beres kan?. Nggak perlu ilmu, yang penting itu ijazah...men!.....Iya......nggak?”
“Ya......boleh-boleh saja sih. Itu kan hanya soal pilihan hidup? Kalau aku sih ingin aja kuliah daripada terus-terusan tinggal di desa. Nggak berkembang”
“Oh begitu..............Emangnya kuliah apa Lu?”
“Seni lukis”
“Ha...ha....ha......mau jadi tukang gambar? Jauh-jauh kuliah di Bali cuma mau jadi tukang gambar? Emangnya lu bisa hidup makan cat dan kanvas? Buka mata dong men...! Pelukis itu bukan pekerjaan yang menjanjikan untuk masa depan. Satu-satunya pekerjaan yang menjanjikan untuk masa depan tuh cuma PNS alias Pegawai Negeri Sipil, kerja santai, gaji utuh, jabatan pasti, hari tua terjamin, dan yang lebih penting tuh cewek-cewek mengidam-idamkan suami yang sudah PNS, bukan seniman?.....Buka mata dong men, ini realita...jangan sok idealis. Hidup jaman sekarang nggak butuh idealisme, hidup ini cuma butuh uang!”
Sempat aku merasa jengkel dengan nada bicaranya. Ekspresi wajahnya yang menyebalkan, membuatku ingin segera meninju perut buncitnya yang semakin tambun itu. Tetapi tak ada gunanya meladeni orang sombong. Hanya orang bodoh saja yang melakukannya.
“Ok...bro gua cabut dulu ya....Selamat berjuang deh..!.” Sambil menepuk bahuku.
“Oh....iya.......sampai ketemu lagi ya....!” Jawabku penuh basa-basi. Sungguh ingin sekali aku meludahi wajahnya.
Inilah kehidupan. Siapa punya uang, dia yang pasti menang. Siapa yang punya kekuasaan, dia juga yang pasti menang. Siapa yang tak punya apa-apa, dialah yang akan selalu kalah dan ditindas. Beruntung aku masih punya senjata dalam hidupku....... .....................Iman dan Ilmu.
Sungguh aku tak habis pikir, kenapa tujuan utama orang hidup ini hanya mencari kerja dan mencari kerja. Kenapa nggak membikin lapangan kerja aja? Bukankah jauh lebih terhormat memberi gaji daripada diberi gaji. Meskipun pakai seragam rapi dan penghasilan tinggi, toh ya masih jadi anjing-anjing si “Bos”? dimana letak terhormatnya?
Bukankah lebih baik bekerja merdeka tanpa harus diperintah, meskipun penghasilan pas-pasan? Jadi petani yang merdeka, jauh lebih baik daripada jadi budak-budak kantoran yang harus mengorbankan hampir separuh waktu hidup demi bekerja untuk orang lain? Coba kita bandingkan antara penjual bakso dengan pekerja kantor rendahan. Sekilas yang lebih tinggi derajatnya adalah si pekerja kantor meskipun rendahan. Tapi jika kita cermati, ternyata si penjual bakso jauh lebih berkelas daripada si pekerja kantor rendahan. Si pekerja kantor rendahan logikanya kan sama saja dengan jongos berseragam borjuis. Tapi si penjual bakso, logikanya kan sama saja dengan bos atau direktur utama. Si penjual bakso adalah pemilik usahanya sendiri, yang memenejemen keuangannya sendiri, yang mengatur strategi penjualan, yang menentukan lokasi dan waktu penjualan. Bukankan si penjual bakso itu sama saja dengan bos atau manajer? Berwiraswasta sendiri itu jauh lebih mulia daripada hidup bergantung kepada gaji buta, tapi kenapa justru dianggap hina?
Ah...entahlah....kenapa teman-temanku dan orang-orang di desaku tak pernah berpikir demikian. Mungkin karena terbelenggu oleh jebakan prestise. Rupanya uang sudah menjadi alat untuk meningkatkan derajat dan martabat. Padahal tujuan hidup ini kan bukan itu? Hidup adalah sebuah anugerah. Karena itu, kita harus bisa menghargai anugerah itu dengan memanfaatkan hidup sebaik-baiknya agar bisa menjadi manusia yang sempurna dan berguna bagi sesama manusia juga lingkungan. Manusia yang selalu gemar menjelajah untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan, tak lagi hidup seperti hewan atau batu.
Demikianlah pemikiran yang selama ini selalu mengganjal pikiranku. Sudah berkali-kali aku coba utarakan dengan berdiskusi bersama orang-orang, teman dan sahabat, termasuk Fatih dan Agni. Tetapi jawabannya hampir selalu sama.
“Ah....kalau semua orang berpikiran seperti kamu, terus siapa yang akan menjadi bawahan? Hidup ini seperti roda, terkadang kita harus menderita, bersusah payah, dicaci dan dihina terlebih dahulu. Setelah kita berjuang dengan keras, baru kita akan kembali mendapatkan derajat dan harga diri kita. Namun jika kita tidak waspada dan lupa diri, maka kita akan terjatuh kemudian kembali menderita, bersusah payah, dicaci dan di hina kembali. Ya........begitulah seterusnya sampai kita mati”
Seperti roda.
Ha...ha...ha.........memangnya hidup ini komedi putar? Kalau memang hidup ini seperti roda yang berputar. Kenapa ada orang yang hidupnya terus-menerus miskin mulai sejak lahir sampai mati? Kenapa ada orang yang hidupnya terus-menerus kaya mulai sejak lahir sampai tua dan mati? Apanya yang berputar? Itu kan stagnan namanya.
Yaaa...................demikianlah hidup. Semua serba teka-teki. Yang pasti, hidup bukan untuk dipikirkan tetapi hanya untuk dijalani, dijalani dan dijalani saja. Sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Sebab semua sudah diatur oleh Tuhan.
Bagiku manusia itu semua sama, baik kaya atau miskin. genius atau bodoh. Semua manusia sama-sama mempunyai takdir. Ada yang ditakdirkan menjadi kaya, ada yang ditakdirkan menjadi miskin. Ada yang ditakdirkan menjadi genius ada yang ditakdirkan menjadi bodoh. Buktinya, meskipun sudah belajar dengan keras, kita tidak mungkin bisa menyamai Einstein, Ibnu Sina, Imam Al Gazali atau Soekarno sekalipun, dalam berpikir dan bertindak kemampuan otak kita memang berbeda satu sama lain. Yang membedakan hanyalah rasa ikhlas dan sabar dalam menjalani takdir Tuhan itu. Siapa yang lolos dalam ujian menjalani takdir Tuhan, maka dialah manusia sempurna yang akan dipilih Tuhan untuk ditempatkan di surganya. Menurut kitab-kitab yang aku baca sih begitu.
Ah...........lucu juga kalau membicarakan takdir. Kira-kira mirip sekali dengan membicarakan Tuhan. Setali tiga uang dengan membicarakan kucing dalam karung.

Sudah satu bulan aku menikmati kesendirianku, Agni sudah kembali ke Jogja untuk melanjutkan perjuangannya meraih gelar sarjananya. Sementara Fatih hanya sesekali saja datang ke rumahku, Ia lebih memilih menghabiskan waktunya di tengah deru mesin pabrik, siang dan malam sekedar untuk membantu orang tuannya. Sebuah pilihan hidup yang cukup sulit kupahami.
Aku cukup menikmati karunia Tuhan yang menurut sebagian para “Workaholic” adalah karunia Tuhan yang paling mahal, Yakni “Kesehatan dan waktu luang”. Ya........untuk satu bulan kedepan aku akan menikmati waktu luangku dengan melukis dan menulis. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Untuk menghasilkan uang, aku tak punya keberuntungan seperti sebagian teman-temanku yang lain. Sudah beberapa kali kucoba menawarkan lukisan-lukisanku kepada galeri atau toko-toko seni, tak ada satupun yang laku terjual. Mungkin memang lukisanku masih terlalu jelek dan kurang matang. Demikian juga dengan tulisan-tulisanku yang sudah berkali-kali pula kukirimkan kepada penerbit manapun, tak ada satupun yang tertarik pada tulisanku. Bahkan pernah aku justru ditanya “Anda punya uang berapa mau menerbitkan buku...mas....?”. Pernah juga aku coba melamar pekerjaan di beberapa tempat. Tak pernah ada panggilan lagi sampai sekarang, penyebabnya selalu karena gagal pada tahap wawancara. Memang aku bukan orang yang pandai berkomunikasi dengan orang lain.
Cukup lama kucoba menyembuhkan diri dari keputusasaanku, sampai akhirnya kuputuskan saja untuk menjalani hidup apa adanya, kuikuti saja alur cerita hidupku dengan penuh kesabaran dan rasa ikhlas. Tanpa cita-cita yang muluk-muluk atau target terlalu tinggi untuk menjadi orang yang sukses. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa lakukan saat ini.
Dengan keadaanku yang seperti itu, justru membuat aku merasakan lebih dekat dengan Tuhan. Aku lebih gemar beribadah dan membaca buku-buku tentang agama, lebih khususnya buku-buku mengenai akhirat atau tentang kematian. Aku mulai suka berpuasa senin-kamis dan menjalani tirakat melek bengi (Tidak tidur semalaman) untuk sekedar wiridan sampai tiba waktu shalat subuh.
Anehnya, justru ibu dan ayahku merasa khawatir. Mereka merasa takut kalau aku mulai kurang waras. Kemudian aku dikirim kepada seorang psikiater. Dan yang lebih anehnya lagi, aku divonis sedang menderita gangguan kejiwaan pada tahap awal, yakni “Depresi”. Lucu juga sih.............ada orang yang ingin lebih dekat kepada Tuhan, kok justru dianggap gila.
Aku menuruti saja saran psikiater itu dengan mengikuti beberapa terapi psikologisnya, toh..... ya tidak ada salahnya kok mencoba sesuatu yang baru. Namun tak berlangsung lama, kira-kira hanya satu minggu proses terapi itu berlangsung, justru aku merasa menjadi seperti orang gila beneran. Akhirnya aku memilih berhenti menjalani terapi yang bagiku lebih besar biayanya daripada manfaatnya itu.
Hari-hariku lebih banyak kuhabiskan di studio lukisku. Aku semakin banyak menghasilkan karya-karya sebagai ungkapan rasa kesendirianku. Baik lewat lukisan, atau tulisan. Sesekali aku mulai memainkan gitar bolongku dan menciptakan beberapa lagu yang kurekam sendiri di dalam komputer. Sesekali aku juga pergi ke hutan sekedar menikmati jalan setapak dan menuntaskan hasrat bertualangku.
Akhirnya.................
Dua bulan sudah aku menikmati waktu luang dengan kesendirian. Ternyata menyenangkan juga, bisa lebih bebas dalam berkarya dan merenungkan arti hidup. Ternyata benar kata para sufi, kesendirian akan mengantarkan kita jauh lebih dekat kepada kekuasaan Tuhan. Jelas aku sudah merasakannya.
Tapi......................
Ya.....lagi-lagi kemerdekaan diriku kembali terenggut oleh beban pikiran di otakku. Sudah waktunya kembali ke Bali, melanjutkan kuliah. Ah.....hidup memang selalu dipenuhi beban yang tak kunjung berakhir. Rasanya baru kemarin kuraih kemerdekaan, kini sudah terjajah kembali. Ternyata semua di dunia ini hanyalah semu, tampaknya saja seperti nyata.
Kalau memang hidup ini hanya sebuah permainan yang menipu, kenapa aku tak pernah bisa memainkan permainan itu? Bagaimana bisa menang kalau mau main aja tidak bisa?





MATAHARI
DI PULAU DEWATA



Kawan,

Catatanku ini adalah kisah hidupku saat berada di pulau Bali, Ka’bah nya para seniman.
Aku bersyukur tidak hanya menjadi turis saja, tapi aku tinggal di pulau Dewata ini untuk berkelana menimba ilmu seni, seperti yang sudah banyak dilakukan oleh para seniman-seniman besar dahulu. “Jangan jadi seniman kalau belum pernah hidup di Bali”begitu kira-kira kalimat yang sering kudengar dari teman-teman di kampusku.
Tak terasa, matahari di pulau Dewata sudah meninggi. Sinarnya begitu menyilaukan mataku. Udara pagi tak lagi bisa kurasakan, karena hari sudah agak siang. Pukul 10 tepat. Ah rupanya aku terlalu lelap tidur tadi malam.
Tak seperti hari-hari kemarin, kali ini aku harus bergegas mandi dan pergi ke warung untuk sarapan pagi dan minum segelas kopi. Ibuku tak mungkin lagi bisa menyiapkan sarapan pagi untukku. Kini aku sudah jauh dengan ibu. Di sini aku memang sangat senang menjalani hidup, meskipun ramai tapi suasananya nampak sangat menyenangkan. Di sini setiap hari seperti hari libur saja. Tak peduli pagi, siang atau malam, suasana di jalan-jalan umum tak pernah sepi, selalu ramai dengan kesibukan-kesibukan yang bermacam-macam. Orang-orangnya juga nampak bahagia dan selalu bersemangat untuk menjalani hidup. Ya.......inilah pulau dewata. Tanah suci yang wajib didatangi bagi para seniman. Aku sudah kembali lagi hidup di sini, bukan sebagai seniman, tapi menjalani hidup sebagai seorang mahasiswa.
Selesai mandi, berpakaian dan berdandan apa adanya, segera ku turuni tangga dan ku susuri lorong sempit yang gelap dan kumuh. Melewati tembok-tembok menjulang yang penuh dengan ukiran dan lumut, juga semerbak bau dupa yang aku sendiri tidak tahu darimana asalnya. Suasana agak sedikit sepi, karena hari sudah agak siang. Wangi dupa langsung menyergap hidungku yang sejak semalaman hanya menghirup asap rokok. Biasanya kalau pagi hari selalu ramai dengan teman-teman yang berjalan sangat terburu-buru, dikejar waktu atau diperbudak waktu.
Aku berhenti di warung tempat biasa ku minum kopi dan sarapan pagi. Tak jauh dari tempat kost-ku, kira-kira sekitar 50 meter setelah menyeberang jembatan kecil. Di sana masih tampak teman-teman yang asyik berkumpul. Kembali aku bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan. Di warung, di kampus, di tempat-tempat wisata atau bahkan di jalanan. Tapi tak seperti sahabatku Fatih, kawan-kawan disini tak lebih hanya sekedar teman. Tak ada yang bisa ku ajak untuk berbagi suka dan duka. Mungkin memang karena aku yang kurang pandai bergaul atau karena aku selalau curiga pada setiap orang yang kutemui. Aku memang tipe orang yang introvert kalau menurut teori tipologinya Jung.
“Hai Dwi...”Semua orang di dalam warung menyapaku. Kami saling bersalaman seolah lama sekali tak bertemu, padahal hampir setiap hari kami selalu bertemu di sini. Lucu sekali memang, tapi justru itu yang bikin luar biasa. Suasana keakraban yang selalu kurindukan.
Warung itu sempit, seharusnya hanya cukup menampung duapuluh orang saja, tapi biasanya selalu lebih dari tigapuluh orang berada di dalamnya. Ditambah lagi semuanya perokok dan doyan ngomong. Bisa dibayangkan lah bagaimana suasana warung itu jadinya. Ramai, sesak dan penuh asap rokok. Ditambah atap warung yang terbuat dari seng, jadi kalau hari mulai siang, di dalam warung panasnya luar biasa. Jangan di kira di Denpasar udaranya sangat sejuk Kalau lewat pukul 10 pagi, panasnya minta ampun. Persis seperti di Jakarta atau di kotaku Probolinggo. Namun, semua itu seolah sirna oleh suasana yang selalu tercipta. Penuh keakraban dan canda tawa yang selalu menggelegar di setiap saat. Apalagi pohon-pohon bambu yang tumbuh di sekitar warung membuat suasana menjadi sedikit sejuk. Suara-suara burung dan angin yang membuat batang-batang bambu saling bergesekan hingga menimbulkan suara yang memilukan ,semakin menambah suasana yang tak bisa lagi untuk kujelaskan dengan kata-kata. Warung itu milik Nyoman Riadi, tapi teman-teman lebih senang menyebutnya warung mas Di. Karena tempatnya berada dipinggir kota, jadi suasananya lumayan sejuk bagiku.
“Ssst........!!” Salah satu temanku yang berambut gimbal ala Bob Marley menyapaku di tengah kerumunan orang yang sedang asyik ngobrol. Roy adalah sahabatku di Bali ini. Meski penampilan dan hidupnya terlihat berantakan tapi hatinya luar biasa baik dan otaknya sangat cerdas. Dia satu-satunya lawan debatku yang paling tangguh, namun belum sekalipun Ia bisa mengalahkanku saat berdebat. Dia anak konglomerat dari Bandung. Dia aktivis kampus yang paling getol kalau disuruh melakukan aksi demo. Satu hal yang paling kusuka darinya, dia tak pernah sombong dan cerita-cerita konyolnya selalu membuat orang yang mendengarnya pasti akan tertawa. Walaupun anak orang kaya, dia tak pernah membawa mobil. Hanya Vespa butut yang selalu menemaninya kemanapun dia pergi. Bahkan dia paling anti naik pesawat terbang, jadi kalau pulang ke Jakarta dia selalu naik vespa bututnya itu sendirian. Apa tidak gila...!
“Nggak masuk kuliah...?” Tanyanya dengan gaya bicara khas orang yang sedang mabuk.
“Males.......ah. Kau sendiri nggak masuk kuliah?” Jawabku sambil segera duduk di depannya.
“He..he...he.....biasalah. Hari pertama paling ya cuma perkenalan aja. Itupun kalau dosennya datang. Iya nggak..?Bu......kopi satu lagi!”
Aku menyalakan rokok dan melepas jaket.
“Jalan-jalan yuk Roy....”
“kemana?”
“Ke Sanur, aku ingin melukis”
“Waduh...sori Dwi, ntar lagi gua ada janji nih dengan teman-teman vespa!”
“Rapat.....lagi?”
“He..he..he...iyalah! dua minggu lagi kan mau tour ke Lombok. Ikut nggak?”
“Nggak ah...males!”
“Ah...kau ini, apa sih yang sedang kau kerjakan? Aku ajak kesana, kesini nggak pernah bisa, nggak boleh ama pacarmu ya?”
Aku hanya tersenyum dan tak menghiraukan kata-katanya. Sementara suasana mulai terasa panas, pengap dan sangat ramai dengan suara orang-orang yang sibuk mengobrol masing-masing. Suasananya mirip seperti di pasar Turi Surabaya.
Aku ngobrol dengan teman-teman sampai menjelang siang.
Hari pertama kuliah, aku bolos karena biasanya minggu pertama kuliah, jarang sekali ada dosen yang mau mengajar. Mungkin mereka juga merasa malas karena setiap kali datang di minggu pertama kuliah, jarang mahasiswa yang masuk. Lingkaran setan................fenomena yang aneh.
Ternyata pada kenyataannya semua berjalan serba terpaksa. Mahasiswa terpaksa kuliah untuk mencari gelar agar bisa bersaing di dunia kerja, meningkakan derajat diri atau menuruti perintah orang tua. Sedangkan dosen, terpaksa mengajar untuk uang. Pengabdian, mengamalkan ilmu, atau keinginan mencerdaskan bangsa......ah semua itu hanya omong kosong belaka. Toh ya mereka tidak akan mau mengajar tanpa upah yang setimpal, apalagi kalo harus mengajar”gratisan”. Entahlah.....mungkin aku saja yang terlalu berburuk sangka pada institusi yang katanya sebagai pencetak generasi pelopor perubahan. Sebagaimana bung Hatta pernah mengatakan bahwa universitas adalah “Republik bebas”. Atau aku yang salah menilai dan kurang begitu memahami dunia pendidikan formal.

-------------------------------------------

Setiap kali aku membolos kuliah, biasanya kuhabiskan waktu untuk nonton film, pergi ke toko buku, ke perpustakaan kampus atau berdiskusi dengan teman atau musuh-musuh debatku di warung. Aku sangat senang sekali berdiskusi ataupun berdebat, karena aku pasti selalu memenangkan setiap perdebatan. Sampai-sampai teman-teman dan musuh-musuhku menjuluki aku sebagai ‘raja debat’. Julukan itu lumayan mengangkat derajatku dimata teman, musuh-musuh debatku sampai dosen sekalipun. Semua seakan menghormati aku karena ilmu dan kemampuan yang kumiliki. Setiap kali memenangkan perdebatan, rasa percaya diri dalam diriku semakin bertambah kuat.
Tapi kali ini kuputuskan untuk pergi melukis ke pantai Sanur. Aku ingin menyendiri sejenak.
Sepulang dari warung, aku segera kembali ke kostan menyiapkan perlengkapan lukisku.
Dari tempat kostku, jika akan pergi ke pantai Sanur memang lumayan jauh. Sekitar 1jam perjalanan naik angkutan.
Aku memutuskan untuk pergi sendirian. Dengan penuh rasa percaya diri seperti layaknya pelukis terkenal, naik angkot sambil kubawa kanvas ukuran 50x60 cm. Baju kumal, puluhan gelang di tangan, dan rambut panjang yang kuikat kebelakang juga tak lupa topi ala seniman seperti yang biasa dipakai oleh Basoeki Abdullah atau pak Tinosidin.
Bus yang kutumpangi agak lumayan sepi. Beruntung aku bisa duduk di bangku paling depan sebelah kiri. Nyaman sekali rasanya duduk di posisi ini. Selain bisa langsung melihat ke depan juga bisa mengamati setiap penumpang yang naik atau turun. Mengasyikkan mengamati ekspresi para penumpang itu. Biasanya setiap kali naik, tampak ekspresi wajah yang kusut-kusut dengan tatapan yang was-was dan bingung, tapi kalau sedang turun maka tampaklah ekspresi wajah yang ceria, gembira dan senang karena sudah sampai di tempat yang dituju. Meskipun ada juga yang justru sebaliknya.
Selain itu, ada juga nilai lebih lainnya. Karena tempat duduk hanya untuk dua orang..........nah kalau lagi beruntung biasanya aku duduk berdua dengan seorang cewek.....otomatis perjalanan jadi lebih menyenangkan, apalagi kalau ceweknya cantik. Tapi kalau lagi kurang beruntung, ya...........bisa dibayangkan sendiri lah seperti apa. Bagiku perjalanan tidak terasa seperti perjalanan sesungguhnya kalau tidak duduk di posisi ini.
Bus sudah berjalan sejak tadi, kursi penumpang juga sudah mulai penuh. Apes....kali ini aku duduk berduaan dengan seorang laki-laki separuh baya. Rambutnya agak gondrong, kumis dan janggutnya lebat sedikit memutih. Ah perjalanan jadi sedikit membosankan.
Bus melaju tanpa berhenti sejak lima belas menit yang lalu. Lelaki yang duduk di sebelahku hanya asyik membaca koran. Kami tak saling bicara, hanya aku yang sesekali memandangi sosoknya yang unik. Seperti seorang seniman.
“Mau kemana nak...?” Tiba-tiba lelaki itu menyapaku tanpa mengarahkan pandangannya kepadaku.
Aku menoleh kepadanya, tapi dia tetap membaca koran.
“Mau ke pantai pak.....” Jawabku sedikit was-was.
“Oh..........ke pantai..”
“Iya pak............mau ke pantai...”
“Ke pantai mana......?” Ia masih tetap membaca koran.
Aku mulai merasa sedikit tersinggung. Langsung saja ku jawab dengan singkat dan agak emosi.
“Sanur.....”
Laki-laki itu masih asyik membaca koran.
“Mau melukis.....toh...?”
“Iya pak.......kebetulan ada tugas melukis dari kampus”
“Oh..............kuliah ?”
Ciiiiiiiiiiiit....................tiba-tiba tubuh kami berdua terhempas ke depan. Bus berhenti mendadak untuk menurunkan penumpang. Beberapa saat kemudian tubuh kami terhempas ke belakang. Rupanya pak sopir punya bakat jadi pembalap.
Kembali kami berdua saling berdiam diri. Suasana bus cukup ricuh dengan suara-suara penumpang yang kepanasan.
“Kalau sudah lulus rencananya mau jadi apa?” Kembali laki-laki itu bertanya kepadaku, tapi kali ini pandangannya mengarah kepadaku. Tampak sorot mata yang tajam. Tatapannya menandakan kebijaksanaan. Jelas dia orang yang sudah banyak makan asam garam kehidupan.
Aku tertegun sejenak, lantas menjawab dengan penuh percaya diri.
“Mau jadi pelukis pak...”
Lelaki itu kembali mengarahkan pandangannya ke depan.
“Kalau untuk makan....? kamu mau hidup dengan melukis?”
“Iya pak.......kalau bisa” Jawabku sedikit merendah.
“Kalau bisa......?” Tiba-tiba Ia melipat korannya, kemudian kembali Ia memandangku dengan sorot mata yang sangat tajam.
“Ah..........jadi orang itu jangan nanggung nak. Kalau ingin jadi pelukis, ya jadilah pelukis. Kalau masih ragu.............ya lebih baik tidak usah melukis. Menjadi pelukis itu sangat berat, bukan sekedar corat-coret cat di kanvas, tapi ada sesuatu yang harus dicari, dipertahankan dan di perjuangkan, kalau bisa sampai mati sekalipun. Kemurnian dan idealisme. Itulah yang membedakan antara pelukis dan tukang gambar atau pengrajin”
Cukup terkejut aku mendengar jawabannya. Sungguh seperti petir yang menyambar di relung hatiku. Tiba-tiba aku merasa seperti terjaga dari mimpi panjangku. Aku hanya terdiam tak menjawab, ada sedikit rasa malu pada diriku sendiri. Rupanya selama ini aku hidup dengan keragu-raguan.
“Hidup ini bukan untuk orang-orang yang ragu, tapi untuk orang-orang yang memiliki keyakinan yang kuat saja. Percayalah....kalau kamu sudah yakin pada dirimu sendiri, dan kamu sudah memastikan pilihanmu. Perjuangkan.........serahkan seluruh umur hidupmu untuk pilihan yang telah kau yakini. kamu akan meraih kesuksesan yang besar.”
Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiit.........kembali tubuh kami terhempas ke depan. Bus berhenti untuk menurunkan penumpang. Beberapa orang langsung berebut untuk turun. Aku masih termenung. Kemudian tiba-tiba laki-laki itu berdiri dan menepuk pundakku.
“Nak.......... Hiduplah dengan apa yang kau yakini. Berkaryalah sampai kau tak mampu lagi untuk berkarya.”
Sambil tersenyum ramah kepadaku, kemudian Ia bergegas turun bersama para penumpang lainnya.
Sebuah pesan singkat dari seseorang yang baru saja kukenal, tapi sungguh begitu keras menghantam pikiranku. Sementara bus masih melaju, aku hanya merenung dan mencoba untuk mengadakan ‘monolog’ dengan diriku sendiri. Sepertinya aku baru saja melihat matahari terbit yang tiba-tiba membangunkanku dari tidur panjang, sinarnya begitu kuat menerpa pikiran, hati dan jiwaku.

Bodoh.........................

sombong.........................

Tuhan baru saja menegurku. Selama ini aku merasa yang paling pintar, paling berani, paling banyak ilmu dan pengalaman. Ternyata aku hanya orang paling bodoh dan sombong, bahkan untuk menghadapi hidup saja aku masih ragu.
Bus melaju perlahan karena melewati jalan naik turun yang berkelok, licin dan berbahaya. Melewati hutan dan lahan sawah yang cukup menggiurkan untuk dipandang. Sesekali nampak beberapa kaum perempuan berjalan di tepi jalan sambil membawa bunga dan buah-buahan yang ditata hingga menjulang ke atas. Mereka membawanya dengan kepala. Rupanya akan ada upacara besar hari ini.
Sementara kaum lelaki hanya duduk-duduk dan asyik bercengkrama di balai-balai. Ada juga yang sedang larut dalam permainan sabung ayam. Di Bali memang kaum perempuan-lah yang harus bekerja keras, dari pekerjaan rumah sampai pekerjaan berat sekalipun, seperti mengangkut batu bata dan pasir atau naik turun atap rumah untuk sekedar membetulkan genteng. Mereka cukup lihai melompat dan menaiki tangga. Sebaliknya kaum laki-laki adalah kaum yang dimanjakan. Sungguh bertolak belakang dengan kehidupan di tanah Jawa. Dimana kaum perempuan dianggap sebagai pusakanya kaum laki-laki yang harus selalu dirawat dan dijaga. Tapi sayang kebanyakan masih tidak puas jika hanya memiliki satu pusaka saja.
Demikian juga sewaktu negara Birma masih ada, dulu di negara Birma (sekarang Kamboja) kaum perempuan harus berjalan sejauh sepuluh meter di belakang kaum laki-laki karena kaum perempuan derajatnya lebih rendah, namun setelah tahun 1945 saat perang baru selesai, kaum perempuan harus berjalan mendahului kaum laki-laki sejauh sepuluh meter. Mengapa......? Karena ada banyak ranjau yang masih aktif, sisa-sisa dari perang dunia ke dua. Sungguh ironis memang, kaum perempuan yang seharusnya dihormati dan dijaga tetapi justru dijajah dan dianggap rendah. Itulah ciri-ciri dari masyarakat Hedonist yang hanya mengejar kesenangan hidup.
Namun seiring dengan waktu semua itu seakan terbantahkan oleh kenyataan, bahwa kini banyak kaum perempuan yang sudah bekerja di kantor, menjadi dokter, guru, kepala daerah atau berwirausaha sendiri dengan tetap tidak melupakan kodratnya sebagai seorang wanita yang harus melayani suami dan anak dengan sepenuh hati. Inilah wujud emansipasi atau persamaan gender yang sejak jaman R.A Kartini selalu diperjuangkan oleh kaum perempuan. Meskipun pada kenyataannya kedudukan laki-laki tetap harus sedikit lebih tinggi dari perempuan di dalam keluarga. Jika semuanya sama, maka tidak diperlukan lagi yang namanya organisasi keluarga. Siapa kepala rumah tangganya, siapa anggotanya akan menjadi tidak jelas jika semuanya harus disamakan.
Mungkin permasalahan sebenarnya bukan tentang sama atau tidak samanya hak, melainkan hanya masalah hormat menghormati hak dan kewajiban masing-masing. Karena masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda, maka tinggal bagaimana menghormati dan mentaati hak dan kewajiban masing-masing itu sendiri. Bagaimanapun laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dan tak mungkin bisa disama ratakan semuanya. Tapi itu sih cuma menurutku saja, mungkin bisa benar mungkin bisa juga keliru. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Aku membuka topi dan jaket, kupandang kanvas kosong di sebelah kiriku. Kanvas kosong itu seperti hendak menertawakanku dan berkata (“Dasar....Seniman Gadungan...!”) Ku sandarkan kembali tubuhku, rasa kantuk mulai menyerangku. Kupejamkan mata meskipun pikiran masih belum juga tenang.
Suara-suara berisik penumpang sedikit berkurang, rupanya banyak yang sudah tertidur. Sementara sang kondektur sibuk menghitung uang di kursi paling belakang. Suara deru mesin terdengar mengaung seakan hendak meledak.
Bangku di sebelahku masih kosong. Kutaruh saja tas, jaket dan topiku di kursi sebelah kananku itu. Aku mulai merasa mengantuk sekali. Pikiran sudah mulai agak tenang. Perlahan aku memejamkan mata.
Baru saja aku memejamkan mata dan sedikit terlelap tidur, tiba-tiba ada tangan yang menyentuh pundakku. Segera ku merogoh saku untuk mengambil karcis.
“Ah kondektur sialan, nggak tau orang lagi mengantuk ” Bisikku dalam hati.
Aku masih merogoh saku sambil tetap memejamkan mataku.
“Permisi mas.......”
Tiba-tiba ku dikejutkan oleh suara lembut yang baru saja ku dengar, aku segera membuka mata.
“Busyet...........dari mana datangnya ni orang?” Bisikku dalam hati dengan tatapan kosong.
“Maaf mas, boleh saya pindah duduk di sini?”
Aku masih menatapnya.
“Maaf......, boleh saya duduk di sini?”
Aku menoleh ke kanan kiri, ke depan dan ke belakang. Dalam hati ku berbisik (“Darimana datangnya bidadari ini? Ini mimpi atau nyata...ya?”)
Aku langsung terkejut dan tersadar dari lamunanku
. “Oh..................boleh.........silahkan” Jawabku sambil membereskan barang-barangku.
Ia segera duduk dan merebahkan tubuhnya. Sementara aku tiba-tiba saja merasa tidak mengantuk lagi.
Ia benar-benar sosok perempuan yang kuidamkan. Rambutnya lurus sedikit bergelombang di ujungnya, panjang, hitam dan sedikit menguning karena semir rambut rupanya, hidungnya biasa saja tak terlalu mancung sekali tapi sangat pas dengan wajahnya yang sangat kontinental, kulitnya kuning langsat dan senyuman dari sepasang bibir yang tipis itu benar-benar telah membiusku. Namun tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku. Untuk ukuran seorang perempuan, Ia termasuk perempuan yang memiliki postur sangat tinggi. Mungkin Ia seorang model, atau mungkin artis yang kurang terkenal. Diam-diam aku mencuri-curi pandang, demikian juga dengannya.
Sepertinya Ia sedikit tomboi, gayanya sangat nyentrik tapi kesan feminim masih lebih menonjol dalam dirinya. Kami berdua hanya saling berdiam diri tak saling menyapa atau sekedar berkenalan. Rupanya Ia tipe cewek yang cuek
Ia melepaskan earphone di telinganya kemudian segera membuka dan membaca buku yang telah dipegangnya sejak tadi.
Aku kembali memejamkan mata sambil berpura-pura tidur.
Sementara bus melaju dengan sangat pelan, jantungku berdetak sangat kencang. Entah ada apa denganku, karena tidak biasanya aku merasakan perasaan seperti ini. Meskipun terhadap Agni sekalipun.
Aku tenggelam dalam lamunan
Sepertinya kali ini aku baru merasakan yang namanya CP3 alias Cinta Pada Pandangan Pertama. Ternyata benar-benar ada, dan rasanya lebih menyenangkan dan lebih menakjubkan dibanding cinta yang “Jalaran soko kulino”.
Aku benar-benar merasa tidak mengantuk lagi, bahkan kini menjadi semakin bersemangat saja untuk hidup. Oh Tuhan engkau memang sungguh adil. Baru saja aku merasakan kesedihan dan kebimbangan, kini sudah berubah menjadi kebahagiaan. Ternyata hidup ini benar-benar lingkaran yang sangat labil.
Namun, kemudian mendadak segala lamunanku buyar. Bus berhenti di tempat keramaian. Banyak sekali penumpang yang berdiri untuk turun pada saat itu.
Aku tersentak,
“Ah....sudah sampai rupanya” Bisikku dalam hati.
Aku segera berdiri, memakai topi, jaket dan mengangkat tasku. Tak lupa kanvas ku jinjing dengan sangat hati-hati. Takut jika mengenai gadis di sebelahku.
“Permisi............mbak!”
Aku menyapanya dengan pelan.
Ia masih asyik membaca bukunya, sepertinya serius sekali. Mungkin sudah sampai bab yang paling menentukan baginya.
“Permisi .......mbak.....”
Kembali aku menyapanya sambil memandang tepat di depan wajahnya.
“Oh....iya....iya...........maaf” Ia terkejut, kemudian segera menutup bukunya dan lekas-lekas berdiri.
“Maaf ya mas...........sori........sori” Dengan tersenyum Ia memandangku.
Aku segera membalas dengan senyuman juga.
“Oh.....nggak apa-apa kok....” Jawabku sambil tersenyum.
“Wah...sudah sampai rupanya”
Ia segera berdiri dan bergegas antri untuk turun juga dari bus. Sementara aku berada tepat di belakangnya.
Semerbak wangi parfum yang sangat khas memancar dari tubuhnya. Berbeda denganku yang penuh dengan bau asap rokok dari rambut dan bajuku.
Semua penumpang sudah turun. Suasana di terminal bus saat itu sangat ramai. Aku terjebak dalam kerumunan orang-orang yang saling berdesakan. Kuamati sekitarku, tak kulihat lagi dirinya.
“Wah....hilang deh, ternyata tidak jodoh” Bisikku menggerutu.
Aku langsung meluncur ke angkot yang berada tidak jauh dari tempat pemberhentian bus tadi. Hari sudah siang, matahari tampak sangat terik. Suasana terasa sangat panas sekali. Aku segera masuk ke dalam angkot jurusan pantai Sanur.
Dengan tubuh yang berkeringat, aku menerobos masuk ke dalam angkot yang sudah hampir penuh dan bersiap untuk segera berangkat.
Di dalam angkot, terasa lebih panas lagi karena di dalam sudah berjubal orang-orang yang duduk saling berdesakan. Kebanyakan adalah para turis asing dan wisatawan lokal yang ingin lebih mengirit biaya perjalanan. Daripada harus naik taksi khusus yang memang jauh lebih mahal. Aku nyaris tidak kebagian tempat duduk, beruntung aku masih bisa duduk di samping pintu. Lumayan bisa lebih lega menghirup udara.
Suasana yang sangat panas dan pengap masih ditambah dengan gaya menyopir si sopir angkot yang ugal-ugalan. Beberapa kali hampir saja aku terjatuh ke jalan, beruntung tangan kananku masih berpegangan pada pintu sementara tangan kiriku harus berjuang keras mempertahankan kanvas agar tidak terbang terbawa angin,
Memang untuk sampai di lokasi wisata pantai Sanur, hanya membutuhkan waktu kurang dari lima belas menit. Tapi rasanya seperti sedang melakukan perjalanan dari dunia menuju ke neraka.

---------------------------------------------


Akhirnya perjalanan yang sangat menyiksaku berakhir juga. Aku sengaja turun agak jauh dari lokasi wisata untuk mencari suasana yang berbeda.
Matahari sudah agak sedikit condong ke barat, air laut sedang surut. Jadi nampak semakin jelas hamparan pasir yang menjorok ke laut. Aku segera mencari tempat yang teduh dan kubuka perlengkapan lukisku. Aku duduk sejenak sambil menikmati sebatang rokok kretek, merenung sejenak untuk menghimpun imajinasi. Kunikmati belaian angin dan suara ombak yang menderu-deru dari kejauhan seolah hendak menerkamku.
Tanpa sket, langsung saja kutorehkan cat di atas kanvas. Aku benar-benar merasa seperti seorang seniman besar saja.
Namun, baru selesai setengah saja tiba-tiba aku kehilangan ‘mood’ untuk melukis. Ketika ku teringat lagi akan kata-kata dari laki-laki setengah baya yang kujumpai di bus tadi. Langsung saja ku lemparkan kanvas ke hamparan pasir, kubuang juga kuas dan palet dengan penuh emosi yang meledak-ledak.
Aku duduk termenung sambil memandang kosong ke arah pantai yang saat itu cukup ramai dengan orang-orang yang asyik berenang, surfing dan bermain banana boat. Sungguh bahagia sekali rupaya mereka, seolah hidup hanya untuk bersenang-senang saja. Apakah mereka tak pernah punya permasalahan dalam hidupnya? Apakah mereka tak pernah merasakan kehampaan hidup sepertiku? Atau aku yang salah dalam menilai hidup ini?
Kembali pikiranku menjadi kacau dan penuh sesak dengan bermacam persoalan. Rasanya seperti mau meledak saja kepalaku ini. Cukup lama ku terdiam, tenggelam dalam lamunan kosong. Sebatang rokok kretek yang biasanya selalu setia menemaniku, kini tak bisa kurasakan lagi kenikmatannya. Aku hanya bisa duduk diam sambil menutup mukaku dengan kedua tanganku.
Sampai kemudian aku dikejutkan oleh aroma wangi yang sepertinya aku pernah menciumnya. Wangi khas yang seketika menyejukkan perasaan hatiku. Langsung saja kubuka mata dan menoleh ke arah samping kananku.
Astaga......... betapa terkejutnya aku, ternyata gadis yang tadi duduk di sebelahku dalam bus. Aku benar-benar menatapnya tajam tanpa rasa ragu atau malu lagi. Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa berani untuk tetap memandangnya. Sementara Ia masih asyik membidikku dengan kameranya dari sudut yang berbeda-beda. Aku justru menjadi bingung tapi juga senang.
Beberapa saat kemudian Ia menghampiriku. Rambutnya yang panjang terurai berterbangan tertiup angin, sementara bajunya yang tipis juga turut berkibar. Tidak seperti saat pertama kulihat waktu di dalam bus tadi, kali ini Ia benar-benar terlihat feminim sekali dengan baju pantainya, kaca mata hitam yang dipakainya semakin membuatnya terlihat seksi. Sambil membuka kaca mata hitamnya, Ia segera menyapaku. Aku benar-benar ingin sekali melukisnya. Rasa ini sangat sulit untuk kupahami, mungkin dengan bahasa cat dan kanvas aku bisa mengerti. Aku segera bangkit dari dudukku dan mengambil kembali kanvas yang tergeletak di atas pasir.
“Maaf.................aku mencuri ekspresi anda”
Aku segera menjawab dengan gugup
“Oh..........em...m....nggak...........nggak apa-apa kok, aku nggak keberatan”
“Oh iya.......sepertinya aku pernah melihat anda, tapi dimana ya?”
“Kita kan pernah ketemu di dalam bus” Jawabku
“Oh...iya........ya. Maaf kenalkan nama saya Sasmitha, panggil saja Mitha” Sambil mengulurkan tangannya kepadaku. Gerak bibir dan matanya sungguh bisa membuat setiap laki-laki akan bertekuk lutut mengharapkan cintanya.
Tanpa rasa ragu aku segera menyambut tangannya yang kuning dan halus itu.
“Saya Dwipa, panggil saja Dwi”
“Dwipa? Wah pantas...sangat sesuai dengan karakter orangnya yang pemarah” Sambil tersenyum kepadaku.
“Ah.....rupanya anda seorang pengamat sejati ya? Dari nama saja sudah bisa menebak karakter orang.............Hebat!“
Sambil merapikan rambutnya, Ia duduk di sebelah kananku. Agak jauh sih, tapi rasanya sudah cukup membuat hatiku benar-benar bergetar.
“Dwipa kan artinya api, jadi pas sekali dengan orangnya yang berkarakter seperti api. Pemarah” Ia memandangku dengan senyum kemudian kembali memandang pantai. Ia melanjutkan kata-katanya lagi.
“Sungguh.....baru kali ini aku melihat orang melukis sambil membanting kanvas, cat dan kuasnya ke pasir.”
Kami saling berpandangan, kemudian sama-sama tersenyum.
Aku benar-benar merasa malu sekali. Rupanya dari tadi ada orang yang terus mengamatiku. Seorang cewek...lagi. Aduh aku merasa sangat malu tapi sekaligus juga senang.
“Jadi dari tadi kamu mengawasi aku?”
“Tidak juga sih, kebetulan saja aku lagi hunting foto. Tiba-tiba saja aku melihat ada seseorang yang sedang melukis. Jadi...ya ku potret saja untuk koleksi. Tidak disangka, ternyata aku mendapatkan ekspresi unik dari seorang pelukis yang sedang melampiaskan emosi. Benar-benar berkarakter”
Aku hanya bisa tertunduk malu memandangi butir-butir pasir, cat dan kuas yang masih tergeletak seakan menertawakanku. Sementara Ia terus-terusan tersenyum kepadaku, seperti turut menertawakanku juga.
“Boleh aku melukis kamu?”Pintaku sambil membersihkan kanvasku yang penuh pasir.
“Wow......dengan senang hati, baru kali ini aku dilukis, Ok...aku mau sekali”
Tak disangka ternyata Ia gadis yang sangat supel, periang, dan mudah bersahabat. Segera saja aku menyuruhnya duduk memandang pantai sementara aku melukisnya dengan penuh semangat.
Aku sangat bersemangat sekali melukis kali ini, entahlah...sepertinya imajinasiku tiba-tiba saja meledak-ledak begitu hebat.
Matahari semakin mendekati garis horisontal bumi sebelah barat, langit tampak mulai memerah. Air laut sudah mulai pasang , tiupan angin dan deburan ombak semakin terdengar mengiris jiwa.
Sambil aku melukisnya, kami berdua asyik berbincang panjang lebar, seperti sudah lama kenal saja. Aku merasa sangat nyaman sekali ngobrol dengannya. Mungkin karena kami berdua sama-sama pemuja seni. Ia suka sekali dengan fotografi, sementara aku suka melukis. Tapi ada satu perbedaan diantara kami, Ia tidak suka mendaki gunung karena memang belum pernah sama sekali mendaki gunung. Namun, sepertinya Ia cukup tertarik saat hendak ku ajak naik gunung Agung.
Akhirnya aku selesai juga melukis dia, Ia terlihat sangat senang sekali melihat hasil lukisanku.
“Wiiih....sangat ekspresif sekali, aku suka banget. Boleh aku mengambilnya?”
“Nggak....................nggak boleh” Jawabku singkat
“Kenapa.....?Apa aku harus membayar?”
“Ha...ha...ha.......bukan masalah uang, tapi kalau lukisan ini aku berikan kepadamu, ntar aku nggak bisa lagi melihat kamu dong?” Celetukku sedikit menggodanya.
Ia kembali tersenyum kepadaku.
“Terserahlah.........,yang jelas aku punya foto-fotomu dan nggak akan aku kasihkan kepadamu. Jadi, kita impas kan?”
“Ha...ha...ha.....” Kami saling tertawa seperti sudah lama kenal saja. Itu benar-benar hubungan yang singkat, tapi sangat berkesan sekali.
Kami saling bertukar alamat dan nomor handphone. Ternyata Ia tinggal tidak jauh dari tempat kost-an ku di Denpasar. Ia seorang mahasiswi semester empat jurusan sinematografi, namun sudah bekerja di sebuah perusahaan advertising sebagai fotografer. Ia juga merangkap sebagai penulis lepas di sebuah surat kabar yang cukup ternama, mengisi rubrik khusus tentang Fotografi. Rupanya Ia benar-benar seorang cewek yang berbakat. Tidak sepertiku yang hanya berjalan di tempat. Hidup dan kuliah masih bergantung penuh kepada orang tua. Mungkin Ia lebih beruntung saja dari aku. Atau karena aku yang memang tidak memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal apapun. Baik melukis, menulis atau bermain musik.
Terkadang aku juga merasa asing pada diriku sendiri. Apakah semua seniman selalu merasakan perasaan yang sama seperti yang sering aku alami belakangan ini?



**********************************



Kepada Sahabatku
Siapapun engkau, dimanapun engkau berada


Kawan,
Pernahkah kau merasakan jatuh cinta?Ya...jatuh cinta, Maksudku bukan cinta sekedar suka atau rasa ketertarikan semata. Ini sungguh-sungguh cinta.
Tahukah kau, ternyata rasanya benar-benar menakjubkan. Melebihi dari kebahagiaan apapun. Sulit dijelaskan, sulit untuk aku gambarkan.Melebihi kepuasan saat selesai melukis atau menulis, melebihi kepuasan saat sampai di puncak-puncak gunung dan melebihi kepuasan saat melepas rasa lapar dan dahaga.
Ternyata benar kata para pujangga, cinta itu memabukkan dan kini aku benar-benar mabuk cinta. Pantas saja banyak orang yang rela berkorban demi cinta, banyak orang yang rela kehilangan harta demi cinta, banyak orang yang rela kehilangan harga diri demi cinta, banyak orang yang menjadi durhaka kepada orang tua demi cinta,banyak orang yang rela meninggalkan rumah, negara bahkan agamanya demi cinta. Dan aku kini bisa memahami kenapa banyak orang yang sampai rela mati demi cinta.
William Shakespeare memang orang hebat, kisah Romeo dan Julietnya ternyata memang bukan sekedar kisah drama biasa, itu memang bisa benar-benar nyata. Pantas saja Ia menjadi sangat terkenal. Tuhan sangat menyayangi mahluknya, dan salah satu wujudnya adalah dianugerahkannya cinta kepada manusia.
Ketahuilah kawan, cinta itu seperti matahari terbit yang tiba-tiba saja membuat hidupku terang dari kegelapan malam yang panjang. Hadirnya seperti hujan yang datang dipenghujung musim kemarau yang panjang.
Ternyata kehampaan hidupku selama ini karena aku belum pernah merasakan jatuh cinta yang sebenarnya. Kini aku merasa bahwa ternyata hidup ini indah. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskannya kepadamu. Cinta ternyata datangnya selalu tak terduga.


Kembali ku terjebak di ruang pengap dan sempit ukuran 3x2 meter. Rasanya seperti sedang dalam penjara saja. Hanya komputer yang menemani kesendirianku. Ku ungkapkan semua yang kurasakan ke dalam tulisan. Tapi tidak seperti biasanya, kali ini aku bukan menulis, tapi mengetik. Ternyata memang benar kata Mitha, kalau sedang merasa sedih, marah, bosan atau muak. Menulis adalah obat yang lumayan ampuh.
Setelah kulampiaskan segala pikiran yang membebaniku ke dalam tulisan. Seketika aku merasa lega dan seolah baru saja terbebas dari rantai yang membelengguku.
Aku duduk di samping jendela kamar, kupandang langit yang penuh dengan bintang-bintang yang bertebaran, demikian juga dengan bulan yang sedang purnama. Tiba-tiba saja kembali ku teringat pada peristiwa dua tahun yang lalu di Gunung Semeru. Malam itu juga bulan sedang Purnama.
Kembali ku terseret dalam kesedihan.
Malam terasa begitu sepi, kawan-kawan tidak ada yang keluar kamar karena memang kami semua dilarang oleh ibu kost untuk keluar apabila bulan sedang purnama. Menurut kepercayaan mereka, saat bulan purnama adalah saat dimana sang dewa kematian keluar untuk mengambil arwah orang. Aku memang kurang percaya, tapi untuk menghormati kepercayaan mereka, terpaksa aku juga harus mengurung diri dalam kamar. Suara anjing menggonggong di kejauhan semakin menambah suasana malam yang sepi menjadi turut menakutkan.
Aku segera menutup jendela, karena perasaanku mulai tidak enak. Rasanya malam bulan purnama di pulau Bali terkesan sangat sakral. Aku membaringkan diri di kasur, sementara komputer kubiarkan menyala untuk mendengarkan lagu sebagai pengusir rasa takut dan sepi.
Kupejamkan mata sekedar untuk mengistirahatkan mataku yang lelah. Rasa kantuk belum kurasakan.
Kembali ku tenggelam dalam lamunan, tapi kali ini aku melamunkan peristiwa yang kualami tadi siang. Mulai dari pertemuanku dengan laki-laki misterius sampai perkenalanku dengan Mitha di pantai Sanur tadi.
Masih lekat dalam ingatanku bau wangi yang sangat khas itu. Juga senyumannya yang benar-benar membuat aku tak bosan-bosan untuk mengingatnya. Aku juga masih ingat pada kata-kata mutiara yang diucapkannya.
“Berbahagialah orang-orang yang bisa menghargai hidup dengan berkarya dan melakukan hal-hal yang menyenangkan orang lain, sesungguhnya mereka telah menyenangkan dirinya sendiri dan tidak menyia-nyiakan hidupnya”
Sungguh kata-kata yang langsung merasuk kedalam jiwaku dan akan selalu kuingat sepanjang umurku.
Aku kembali membuka mata dan kupandang lagi lukisan “Mitha” yang kugantung tepat di samping kasurku. Sengaja aku menaruhnya di sana agar aku bisa melihat lukisanku itu setiap saat, menjelang tidur, bangun tidur atau sedang menulis di komputer. Tak bosan aku memandangi lukisanku yang satu ini. Setiap kali memandangnya seakan membawaku kembali di pantai Sanur berbincang akrab dan bercanda dengan Mitha.
Dia memang perempuan yang cantik, anggun, lincah, pintar dan penuh bakat. Rendah diri, punya idealisme yang tinggi dan pandai bergaul. Bagiku dia adalah sosok perempuan yang paling sempurna.

Malam semakin larut, sementara suasana semakin sepi dan memilukan. Dari balik dinding kamarku sesekali terdengar kawan-kawan yang mengobrol sambil berbisik, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Yang jelas aku benar-benar merasa sangat kesepian. Namun, setiap kali kubayangkan sosok Mitha. Tiba-tiba saja kesepian yang kurasakan lenyap, berganti dengan kebahagiaan.

Aku mengambil handphone ku, dan segera kuhubungi Fatih. Tak sabar rasanya ingin kuceritakan tentang pertemuanku dengan Mitha.
Kami bercerita panjang lebar, aku menceritakan pengalamanku bertemu dengan Mitha. Sementara Fatih menceritakan pengalamannya bertemu dengan Sekar. Sepertinya hatinya juga sedang gembira. Ternyata selama ini Sekar sudah bekerja di kantor kecamatan sebagai karyawan honorer. Ah....sungguh nasib yang mujur, tapi sebenarnya masih kurang beruntung.
Puas juga aku berbagi pengalaman dengan Fatih. Meskipun telinga rasanya seperti terbakar karena terlalu lama nelpon. Tapi aku merasa jauh lebih lega dan lebih tenang.
Malam semakin tenggelam dalam kesunyian. Rasa kantuk mulai sedikit menyerangku. Kumatikan komputer, dan mencoba untuk tidur.
Belum lama mata kupejamkan, tiba-tiba suara handphoneku berbunyi. Kuangkat dengan malas dan mataku masih terpejam.
“Hallo.......” Suaraku sedikit berat karena mengantuk.
“Hai......Dwi..!”
Aku langsung terjaga dan segera duduk. Suara lembut yang sangat akrab ditelingaku.
“Mitha..?” Jawabku bersemangat.
“Iya..................Sori Dwi aku nelpon malem-malem. Pasti mengganggu ya?”
“Oh nggak kok....justru aku merasa senang kalu diganggu terus sama kamu” Jawabku sedikit membual. Jiwaku seketika seperti berada tepat di sampingnya.
“Bisa saja kau ini.........! Dwi......minggu depan aku mau huting foto ke pura Besakih. Ada upacara besar di sana”
“Upacara....?”
“Iya...........ada upacara tahunan. Persembahan sesaji kepala kerbau ke kawah gunung Agung. Kamu bisa tidak menemani aku ke sana, siapa tahu kamu juga ingin melukis di sana?”
“ke pura Besakih?”
“Iya...... ke Pura Besakih”
“Kenapa nggak sekalian aja ikut naik ke puncak gunung Agung? Katanya kamu ingin sekali tahu rasanya mendaki gunung?.....Bagaimana?”
“Naik gunung agung?”
Sejenak Ia terdiam.
“Hei......Mit,bagaimana? Mau tidak?”
Ia masih terdiam.
“Halo.........Mitha..!”
“Mmm....................ok...........boleh juga tuh, aku kan belum pernah hunting foto di gunung?”
Kami berdua ngobrol panjang lebar, tentang rencana pendakian sampai pada hal-hal yang sangat tidak penting bagiku. Hari ulang tahun, warna kesukaan, pelukis idola dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya malas untuk ku jawab. Tapi aku tidak merasa bosan sama sekali setiap berbicara dengannya.
Malam yang sunyi, kamar yang pengap dan sempit, suara-suara anjing menggonggong yang memilukan, serta cerita dewa pencabut nyawa yang muncul setiap malam bulan purnama. Tiba-tiba saja semua itu hilang dalam pikiranku. Malam terasa siang, sepi terasa ramai, dan warna hitam kini berubah menjadi putih bersinar.
Ida Ayu Sasmitha.
Aku terbaring di atas kasur sambil terus menyebut namanya , aku tak bisa berhenti memikirkannya, rasa kantuk sedikit berkurang setelah Mitha menelponku.
Ida Ayu Sasmitha...........Ternyata dia adalah gadis Bali keturunan bangsawan. Pantas saja ada yang berbeda dari dia sejak pertama kali aku melihatnya. Dia berasal dari golongan kasta yang tinggi, pasti orang tuanya adalah orang penting di kota Denpasar ini.
Aku mulai memejamkan mata, tapi otakku masih berpikir.
Sekat-sekat kasta
Kembali aku membuka mata dan berpikir .
Mengapa manusia harus dipisahkan oleh sekat-sekat kasta, jika sebenarnya manusia terlahir memiliki hak yang sama. Mungkin ini yang membuat roda kehidupan seakan tak berputar.
Ada yang kaya dan terhormat sejak lahir sampai saat tua dan mati. Tetapi ada yang terlahir miskin dan terhina sejak lahir sampai tua dan mati. Sungguh tidak adil. Semua ini bukan takdir Tuhan, tapi karena sistem yang sengaja dibuat oleh manusia sendiri. Jadi semuanya masih bisa dirubah. Sebagaimana Ken Arok yang terlahir miskin dan hina, tapi karena keberaniannya merubah dan menghancurkan tatanan masyarakat saat itu yang menganggap bahwa rakyat kecil akan selalu jadi rakyat kecil dan tidak bisa menjadi prajurit ataupun raja. Akhirnya setelah membunuh raja Tunggul Ametung dan menikahi permaisurinya Ken Dedes, Ia bisa menjadi raja Singosari dan mendirikan dinasti baru di tanah Jawa.
Sungguh Ken Arok adalah tokoh paling radikal pertama di tanah Jawa. Gerakan revolusionernya telah mengacaukan sistem kerajaan Jawa yang sudah sangat lama sekali dijaga dan di agungkan. Kenyataannya generasi keturunan Ken Arok justru kelak melahirkan raja-raja besar di tanah Jawa seperti raja-raja Majapahit.
Pikiranku kembali kacau
Aneh, kenapa manusia harus dibeda-bedakan karena kelas dan garis keturunannya? Mungkin masalah ini yang juga dipikirkan oleh Karl Mark ketika merumuskan ide tentang masyarakat sosialis yang di idam-idamkannya. Masyarakat tanpa kelas dengan hak yang sama.
Ah......pusing juga aku memikirkan masalah ini. Sebagian orang beranggapan itu semua adalah takdir Tuhan yang tidak bisa dirubah, tetapi sebagian orang juga beranggapan bahwa semua itu hanyalah karena sebuah sistem yang buruk dan masih bisa dirubah. Keduanya sama-sama punya alasan yang kuat.
Aku mulai merasa mengantuk, meskipun otak di kepala rasanya masih berdenyut keras.


**********************
Kembali
Bertualang


Lembaran ini adalah kisah petualanganku kembali. Petualangan mendaki gunung sekaligus kisah petualangan cintaku. Semua ini tidak akan pernah terjadi jika aku tak bertemu dengan Mitha.

Sore hari setelah ashar. Hari pertama aku bertemu lagi dengan Mitha.
Ia mengajakku untuk bertemu di sebuah cafe di kawasan Legian yang sangat ramai dengan turis. Aku benar-benar merasa aneh berada di tempat yang tidak biasa kudatangi, maklum saja biasanya aku dan teman-teman hanya nongkrong di warung kopi. Tapi sungguh, rasanya lebih nyaman nongkrong di warung kopi daripada di dalam cafe. Di sini terlalu banyak aturan, mau masuk saja harus punya ‘member card’. Seperti mau pinjam kaset saja. Pasti Mitha sudah sering sekali datang kemari.
Kami ngobrol banyak sekali, Mitha benar-benar anak yang pandai bergaul. Aneh juga memang, baru kemarin kami berkenalan tapi rasanya sudah lama kenal saja. Aku yang biasanya paling sulit bergaul, setelah bertemu dengan Mitha. Tiba-tiba saja aku menjadi supel.
Sementara Mitha asyik bercerita tentang teman-temannya, aku kebingungan memperhatikan daftar menu yang sejak tadi kupegang. Gila.....mahal-mahal sekali harga makanan dan minuman di sini.
“Hey....kamu mendengarkan aku kan?”
Suara Mitha mengejutkanku.
“Oh...iya...iya.....aku mendengarkan kok!” Jawabku sedikit gugup.
“Ada apa.......?kamu kok kelihatan bingung sih?”
“Nggak........aku nggak apa-apa kok” Jawabku meyakinkan. Dalam hati aku berbisik “Waduh...cukup nggak ya uangku ini?”
“Mas......” Dengan menepuk kedua tangannya, Mitha memanggil salah satu pelayan yang melintas. Kemudian langsung menulis pesanan tanpa bertanya terlebih dulu kepadaku.
“Ok......sampai dimana tadi ya?”
Aku mendekati Mitha, kemudian berbisik.
“Eh.....Mit, aku merasa kurang nyaman di sini. Kita cari tempat yang lain aja ya?”
Ia hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum kepadaku.
“Ok.... .....boleh”
Kembali Ia menepukkan tangan, salah satu pelayan segera datang.
“Mas..............pesanan yang tadi tidak jadi”
Sang pelayan hanya terbengong melihat kami yang segera berdiri dan berjalan keluar.
Tak jauh dari cafe itu, aku mengajak Mitha ke tempat biasa aku nongkrong dengan teman-teman. Di sebuah bukit kecil yang dikelilingi sawah hijau dan sungai kecil yang tak pernah berhenti mengalir. Mobil Mitha hanya bisa sampai di kaki bukit saja, sementara untuk ke puncak bukit kami harus berjalan kaki sekitar lima belas menit. Tempatnya sangat sejuk, indah dan nyaman, disana juga ada warung sederhanan yang berjajar di sepanjang jalan.
Mitha terlihat senang saja dengan tempat yang kupilih. Ia memang bukan gadis yang banyak tingkah atau manja.
Kami melanjutkan pembicaraan, kali ini tentang rencana untuk ikutan upacara naik ke Gunung Agung. Mitha terlihat sangat antusias membahas rencana perjalanan kami, maklum saja memang ini adalah petualangan pertamanya mendaki gunung.
Hari itu adalah hari yang sangat menyenangkan bagiku. Meskipun bukan kencan, tapi aku merasa sangat senang bisa lebih dekat dengan Mitha. Aku menikmati benar hubungan seperti ini. Tapi sejenak kemudian aku mulai memikirkan kata-kataku sendiri yang pernah kulontarkan kepada Fatih, bahwa tidak ada persahabatan sejati antara laki-laki dan perempuan. Salah satu diantaranya atau bahkan keduanya pasti ada rasa cinta. Sepertinya benar, karena aku mulai merasa menyukai Mitha.Bukan sekedar suka tapi sudah jatuh cinta.
Sejak saat itu, aku mulai sering berhubungan dengan Mitha, baik lewat telpon maupun bertemu langsung. Aku mulai jarang bertemu dengan teman-teman seperjuanganku, untuk sekedar nongkrong di warung apalagi berdiskusi, tak pernah lagi kulakukan.
Kehadiran Mitha benar-benar telah merubah hidupku. Terkadang sempat aku bertanya, mengapa orang tuanya begitu membebaskan dia. Sampai-sampai tak tampak sama sekali kalau dia adalah dari golongan kasta yang terpandang.
Karena perlengkapan mendaki gunungku tidak ada yang kubawa ke Bali, terpaksa aku harus menguras uang tabungan untuk membeli segala keperluan dan perlengkapan mendaki gunung. Setelah sekian lama aku tak pernah mendaki gunung, akhirnya aku memulai lagi petualanganku.
Hari demi hari terasa begitu menggairahkan sekali bagiku. Aku seperti bersemangat sekali menjalankan hidup.


************************



Pura besakih yang megah, saat itu sudah sangat ramai dengan orang-orang. Baik para wisatawan maupun penduduk setempat yang akan mengikuti upacara besar.
Sejak awal perjalanan tadi, tak henti-hentinya Mitha membidik dengan kameranya. Sesekali Mitha menjelaskan segala sesuatu yang tak kumengerti tentang kepercayaan masyarakat Bali. Sepertinya ada sedikit kesamaan dengan upacara ‘kasada’ di Gunung Bromo.
Hari menjelang siang, setelah kami melapor ke kantor polisi di pintu gerbang Pura Besakih, kami mulai mendaki. Banyak sekali orang-orang yang mendaki saat itu.
Perjalanan diawali dari pura Puseh lewat Pura Plawangan menuju Pura Telaga Mas sampai ke Tirta Dasar. Perjalanan pertama agak sedikit landai, melewati perkampungan dan ladang penduduk yang hijau.
Melewati kompleks Pura, jalanan tertata sangat rapi. Sepanjang perjalanan, pemandangan sangat mengesankan. Pohon-pohon pinus yang tinggi menjulang, menutupi sinar matahari. Kami berdua lebih sering berhenti untuk beristirahat. Meskipun cukup melelahkan, tapi kami berdua nampak sangat menikmati sekali.
Tak lama kemudian, kami sudah sampai di batas hutan “Tirta Dasar’. Di sini ada mata air suci yang sangat disakralkan oleh masyarakat setempat. Tidak sembarangan orang boleh mengambilnya.
Kami beristirahat sejenak. Lalu kunyalakan sebatang rokok.
“Kamu perokok ya?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan Mitha, sepertinya Ia tidak suka melihatku merokok. Memang baru kali ini aku merokok di depannya. Selama ini, setiap kali bersama dengannya aku tidak pernah menyalakan rokok. Padahal aku perokok berat, tapi tak tau mengapa setiap kali bersama Mitha, keinginan untuk merokok tidak ada sama sekali. Tapi kali ini karena rasa dingin, aku memutuskan untuk merokok.
“Iya.....................aku memang perokok. Kenapa...........Mit? kamu nggak suka sama orang yang perokok ya..?” Jawabku sambil segera mematikan rokokku.
Ia hanya tersenyum saja tidak menjawab, lalu segera berdiri.
“Ayo kita berjalan lagi”
Kubuang rokokku, dengan rasa bersalah aku segera berdiri dan melanjutkan perjalanan.
Memasuki kawasan hutan, perjalanan masih landai sekitar ½ jam perjalanan, jalur mulai terus menanjak. Mitha benar-benar kehabisan tenaga, tapi ketika kutawarkan untuk berhenti beristirahat, Ia selalu mengatakan “Terus”. Tak kusangka, Mitha perempuan yang tangguh. Meski terlihat kelelahan, namun tak henti-hentinya Ia memotret. Senyumnya juga masih tidak berubah.
“Ternyata asyik juga ya naik gunung”
“Ya....beginilah rasanya naik gunung Mit, kalau belum pernah merasakan ya tidak akan pernah tahu rasanya”
Jalur semakin sempit dan terjal, terdiri dari tanah bercampur pasir dan kerikil. Sesekali kami harus berpegangan pada akar-akar yang menjulur ketika ada pendaki lain yang akan lewat.
Udara dingin mulai menusuk tulang, suasana hutan disini tidak seperti hutan-hutan yang pernah kulewati selama ini. Ada perasaan aneh yang menyelimutiku, mungkin karena hutan di sini adalah kawasan sakral yang menurut kepercayaan penduduk adalah sebagai tempat tinggal makhluk halus penguasa hutan.
Setelah berjalan sekitar 5 jam, akhirnya kami tiba di batas akhir hutan. Jalur agak lega dan lebih terbuka. Ketinggian 2500 mdpl. Dari sini pemandangan nampak begitu mempesona. Mitha langsung merebahkan tubuhnya di atas tanah, sementara aku sibuk mengamati pemandangan. Ada banyak sekali monyet di daerah sini, tapi mereka sedikit pemalu.
Suasana di tempat kami mendirikan tenda, sangat ramai sekali. Baik para pendaki maupun penduduk yang sedang mengikuti upacara. Para penduduk banyak yang mendaki dari sisi selatan, yakni dari ‘Selat ‘ lewat ‘Sangkan Kuasa’. Karena tidak mungkin untuk melalui pura Besakih yang jalurnya terlalu terjal.
Sayang sekali ternyata kami tidak bisa melanjutkan perjalanan sampai ke puncak, karena kawasan menuju puncak ditutup untuk acara upacara menceburkan kepala kerbau ke kawah gunung Agung.
Aku benar-benar merasa sangat kecewa sekali, karena baru kali ini aku naik ke gunung Agung. Padahal sudah tinggal sedikit lagi kami sampai di puncak. Namun, Mitha selalu mengingatkanku bahwa masih ada kesempatan lain. Ia juga mengingatkanku kalau menurut pengalaman masyarakat, biasanya sering terjadi kecelakaan saat ada upacara besar. Meski sedikit lega, tapi rasa kecewa masih menyelimutiku.
Kami segera mendirikan tenda, besok pagi baru kami akan turun. Demikian juga dengan para pendaki lainnya.
Malam hari terasa sangat dingin sekali, aku teringat akan suasana di Ranu Kumbolo-Gunung Semeru atau di Taman Hidup-Gunung Argopuro. Karena kurasakan dinginnya udara di sini kira-kira hampir sama.
Secangkir cokelat susu sedikit mengurangi rasa dingin. Aku dan Mitha duduk mengobrol di dalam tenda. Tak tampak sama sekali rasa lelah di wajahnya, senyumnya masih tetap sama. Hanya saja sesekali sempat kulihat tubuhnya menggigil sangat kuat, tapi selalu coba Ia tutupi ketika aku mengamatinya.
Angin bertiup lumayan kencang, suara-suara alam mulai bergema. Suasana yang sudah lama kurindukan. Demikian juga dengan Mitha, rupanya Ia juga sangat menikmati sekali suasana seperti ini. Karena baru kali ini Ia merasakan dinginnya udara gunung.
Kami semakin merasa dekat, aku benar-benar jatuh cinta pada Mitha. Tapi rasanya aku masih ragu untuk mengatakannya. Bagiku, bisa berdua saja dengannya rasanya sudah lebih dari cukup.
Malam di gunung terasa sangat panjang, karena udara yang sangat dingin membuat kita akan dengan mudah terjangkit panyakit susah tidur.
Gila.......! kami berdua bukan pasangan suami istri atau pacar, tapi sudah tidur berdua dalam tenda dan memakai satu sleeping bag untuk berdua, Bisa dibayangkan suasana saat itu, dinginnya udara gunung seakan terasa hangat. Meski begitu aku sama sekali tak berani melakukan hal yang macam-macam. Jangankan untuk melakukan yang macam-macam, memikirkannya saja aku tidak berani.
“Mit, kamu sudah punya pacar?” Pertanyaanku tiba-tiba memotong pembicaran diantara kami. Mitha sedikit terkejut.
Ia terdiam, lalu memandang ke arahku.
“Belum..........memangnya kenapa?” Jawabnya sambil tersenyum kepadaku.
“Nggak sih, aku cuma ingin bertanya aja kok”
“Waduh kenapa aku bertanya seperti itu?” Bisikku dalam hati.
Aku merasa sangat malu sekali setelah menayakan pertanyaan itu pada Mitha.
“Kalau kamu, sudah punya pacar belum?” Kali ini Mitha balik bertanya padaku.
Kami berdua saling berpandangan.
“Belum............aku belum punya pacar”
“Ha............cowok setampan kamu belum punya pacar?.........masa sih?” Jawabnya sambil sedikit tertawa.
Aku tersipu, kepalaku membesar.
“Iya bener.......aku nggak punya pacar. kamu sendiri bagaimana, cewek secantik kamu kok masih belum punya pacar?”Jawabku balik mengejeknya.
Kami saling berpandangan, sama-sama menunggu sesuatu.
“Ha...ha...ha...” Kami berdua sama-sama tertawa di dalam tenda yang kini mulai semakin hangat.
Akhirnya kami berdua kehabisan bahan obrolan. Kami hanya duduk terdiam dan sama-sama menundukkan kepala.
Suasana kembali hening, suara tiupan angin terdengar begitu menyayat hati. Udara kembali terasa sangat dingin sekali. Dinginnya terasa sekali sampai menembus tulang. Kami duduk saling berhadapan.
Mitha merasa sangat kedinginan, tanpa ragu aku terpaksa meraih dan menggenggam tangannya untuk sekedar menghangatkannya.
“Terima kasih ya Dwi, karena kamu aku jadi mengerti kenapa banyak orang-orang yang tergila-gila mendaki gunung. Ternyata memang menyenangkan, bisa merasakan hidup di alam bebas dan bersentuhan langsung dengan alam. Dari dulu aku hanya sering memotret gunung Agung ini dari pura Besakih, tapi sekarang aku sudah mendakinya. Rasanya sulit kupercaya, aku bisa mendaki gunung sampai setinggi ini”
Aku hanya tersenyum saja kepada Mitha. Senang sekali rasanya melihatnya bahagia. Membahagiakan orang lain itu rasanya benar-benar sulit untuk dijelaskan. Semua rasa dalam jiwa seakan bercampur aduk menjadi satu.
Beberapa saat kemudian, kami berdua saling terdiam, suasana tiba-tiba berubah tidak seperti tadi. Kami memutuskan untuk berbaring agar bisa segera tidur karena besok pagi kami harus kembali meneruskan perjalanan turun kembali ke pura Besakih.

****************



Sejak pendakian kami ke gunung Agung, hari-hariku seakan terasa sangat pendek. Hidupku tiba-tiba saja berubah, rasanya dunia begitu menyenangkan untuk ditinggali.
Aku mulai berhenti merokok.
Pendakian ke gunung Agung seolah menjadi titik awal perubahan dalam hidupku, sekaligus menjadi awal dari petualangan kami berdua yang memang sama-sama suka jalan-jalan menikmati udara bebas.
Kami berdua sering sekali pergi ke tempat-tempat wisata, baik yang terkenal maupun yang kurang begitu terkenal. Pantai, air terjun, goa, taman hiburan sampai museum, Semua kami datangi.
Sekali waktu aku diajak Mitha ke rumahnya, tidak seperti yang kubayangkan selama ini, ternyata rumahnya biasa saja tak terlalu mewah. Orang tua dan kedua adik laki-lakinya yang masih SMA juga sangat ramah menerimaku. Mereka sangat menghargai sekali terhadapku, meskipun aku berbeda agama. Pantas saja anaknya begitu sempurna, ternyata tak lepas karena didikan orang tuanya yang sangat bijaksana.
Ayah Mitha ternyata seorang anggota DPRD. Sementara ibunya berprofesi sebagai kepala Rumah sakit di Denpasar.
Ha...ha...ha......tiba-tiba saja aku teringat pada anggota DPR. Padahal selama ini aku dan teman-teman seperjuanganku sering sekali mendemo dan menghujat mereka. Lucu juga, ternyata kini aku justru berbalik menghormati salah satu dari anggotanya.
Aku semakin sering datang ke rumah Mitha. Orang tuanya seakan tampak senang sekali jika aku selalu menemani Mitha. Beberapa bulan kemudian kami kembali mendaki gunung Agung dan berhasil sampai di puncak. Mitha benar-benar semakin merasa ketagihan bertualang. Petualangan kami yang paling nekat adalah ketika mendaki gunung Rinjani yang benar-benar menawarkan pesona luar biasa indahnya.
Semua itu terjadi setelah aku berhasil memenangkan perdebatan melawan orang tua Mitha. Awalnya mereka kurang begitu menyukaiku. Apalagi setelah tahu kalau aku suka sekali mendaki gunung.

*Untuk apa mendaki gunung?
*Apa manfaat dari mendaki gunung?
*Keuntungan apa yang bisa diambil dari mendaki gunung?
*Apa yang diberikan gunung kepadamu?
* Mendaki gunung hanya perbuatan menyia-nyiakan waktu, tenaga dan uang saja.
* Para pendaki gunung itu adalah kaum”Hedonist” yang hanya memuja kesenangan-kesenangan secara berlebihan.
* Para pendaki gunung adalah orang-orang yang memiliki kelainan jiwa “Amor Fati” atau orang-orang yang mencintai kematian.
* Tewas saat mendaki gunung adalah mati konyol.
Aku diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan klasik seperti itu. Sempat ku merasa shock saking terkejutnya, karena mereka bertanya seolah sambil meremehkanku. Tapi karena aku memang suka sekali berdebat, maka tanpa ragu kujawab saja tantangan dari mereka dengan santai.
“Pendaki gunung itu adalah orang-orang yang telah berguru pada alam. Guru yang langsung diciptakan oleh Tuhan untuk mengajarkan segala sesuatu kepada kita. Jadi bisa dibilang, orang-orang yang berguru pada alam itu sesungguhnya telah berguru pada sang maha guru. Maha guru yang lebih banyak memberi dan tak pernah meminta.
Karena ilmu tanpa batas itu sumbernya dari Tuhan, maka alam adalah sebagai medianya. Dalam agama Islam, disebutkan bahwa Nabi Musa saja harus mendaki gunung Sinai dan meninggalkan kaumnya cukup lama, untuk mendapatkan sepuluh perintah langsung dari Allah. Nabi Muhammad SAW juga harus mendaki bukit (jabal) dan tinggal di Gua Hiro untuk sekedar menyendiri sebelum akhirnya menerima wahyu yang pertama. Demikian pula para Empu atau ‘Resi’ yang harus mendaki gunung untuk bertapa sampai pada akhirnya mendapatkan pencerahan berupa ilmu atau kesaktian.
Kita tidak harus menjadi seperti para nabi atau empu, minimal ketika kita berniat untuk mendaki gunung selalu ada tujuan yang pasti, meskipun tujuan yang paling rendah sekalipun yakni sekedar hobi. Bukankah menyalurkan hobi itu adalah tindakan positif yang banyak sekali manfaatnya untuk tubuh dan jiwa...?
Saya suka mendaki gunung karena hobi dan kebetulan ada cukup uang, daripada saya mabuk-mabukan, judi atau melakukan kegiatan negatif lainnya, bukankah lebih baik mendaki gunung..? bisa menambah teman dan pengalaman, mengenal alam lebih dekat, lebih sehat dan yang paling penting bisa lebih dekat dengan Tuhan.
Dengan mendaki gunung, paling tidak kita akan mampu mengetahui bahwa kita hanyalah seperti seekor semut yang merayap lamban di tengah luasnya hutan. Kita hanya mahluk biasa yang tak berdaya jika berada di alam bebas, tidur di atas tanah, minum air mentah, berlindung dari dinginnya udara, tak berdaya di tengah kabut atau tak berkutik jika tersesat dan kehabisan bekal. Itulah kita, manusia yang sebenarnya, tak berdaya di tengah alam, apalagi untuk melawannya. Lalu apalagi yang kita sombongkan, melawan alam saja tidak berdaya apalagi melawan kekuasaan sang pencipta alam. Demikianlah alam akan mengajarkan secara langsung kepada kita ilmu yang tidak diajarkan di bangku sekolah atau kuliah. Yakni ilmu tentang ‘hakikat diri’.
Kegiatan mendaki gunung yang saya lakukan, bukan tindakan yang sia-sia. Sebab saya punya tujuan.
Tak ada pendaki yang mati di gunung, mati sia-sia. Mereka hanya manusia biasa yang telah berani menghargai hidup dan memenuhi takdirnya saja.
‘Kematian’ ketika mendaki gunung, sebenarnya adalah buah dari keberanian menghargai hidup dengan mempertaruhkan hidup. Sungguh hal seperti ini hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang memiliki kebesaran hati untuk menghargai orang lain, menghargai alam dan menghargai nikmat Tuhan yang paling besar, yakni hidup dan kesehatan”.
Begitulah kira-kira panjang lebarnya jawaban yang kulontarkan kepada mereka.
Beruntung sekali rupanya aku, mereka langsung terdiam dan tidak banyak bertanya lagi padaku. Sejak saat itulah sikap orang tua Mitha menjadi berubah kepadaku. Mereka seolah tak percaya jika anak kumal, gondrong, cuek dan tak punya masa depan sepertiku ini bisa memberikan jawaban yang mengesankan bagi mereka.
Jawabanku itu sebenarnya pernah juga kulontarkan kepada ayahku yang sangat fanatik sekali kepada agama. Ketika aku berdebat dengannya, aku memberikan jawaban yang sama. Dan sejak saat itu juga, ayahku membolehkan aku dan kakaku untuk ikut-ikutan naik gunung.
Begitulah awal dari kisah petualanganku yang kumulai dengan perdebatan juga.
Namun, meskipun aku sudah sangat dekat dengan Mitha. Tak pernah sekalipun aku mengajaknya ke tempat kost-ku. Malu pada teman-teman, sebab aku pernah menyatakan anti cewek karena aku menganggap cewek sebagai penghambat perjuangan. Ternyata aku mengingkarinya, justru karena cewek hidupku menjadi semakin bersemangat. Selain itu, karena aku masih menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Meskipun kini aku sudah mulai jarang shalat.
Sejak aku sering bertualang lagi dengan Mitha. Hidupku banyak yang berubah.
Aku semakin jarang bertemu dengan teman-temanku. Karena aku terlalu sibuk keluar dan bertualang dengan Mitha. Kuliahku semakin terbengkalai, aku semakin sering membolos. Tetapi tidak demikian dengan Mitha, Ia masih tetap bisa membagi waktunya bahkan untuk bekerja sekalipun Ia masih sempat.
Aneh juga memang, kenapa aku tidak bisa hidup seperti Mitha.
Namun sebaliknya aku justru semakin bersemangat untuk melukis dan menulis. Berjuta inspirasi seakan bisa dengan mudah kudapatkan. Semuanya kutumpahkan ke dalam lukisan dan buku.
Sampai saat akhir semester, aku tidak bisa mengikuti ujian karena terlalu sering tidak masuk kuliah. Aku sama sekali tidak merasa khawatir, karena aku merasakan hidupku jauh lebih berarti setiap kali aku menyelesaikan karyaku.
Libur semester, aku memberanikan diri mengajak Mitha ke rumahku. Aku ingin sekali mengenalkannya kepada orang tuaku, mengenalkannya kepada sahabatku Fatih, dan mengajaknya bertualang ke tempat-tempat menarik di daerah asalku.
Tak kusangka, aku mendapatkan ijin dari orang tua Mitha. Demikian pula dengan Mitha sendiri, Ia tampak sangat senang sekali aku ajak ke desaku.
Akhirnya kami berdua berangkat juga. Awalnya Ia ingin naik pesawat terbang. Semua biaya, orang tua Mitha yang akan menanggungnya. Namun aku lebih suka lewat jalur bawah saja, karena naik bus dan kapal akan membuat perjalanan menjadi lebih dari sekedar perjalanan biasa. Mitha menurut saja, karena memang Ia selalu begitu. Tak terlalu banyak protes ataupun mengeluh.
Selama perjalanan, Mitha tampak sangat senang dan bersemangat, sebab ini adalah perjalanan pertamanya ke pulau Jawa. Kami berdua seperti pasangan yang baru saja pulang dari bulan madu. Meskipun tampak begitu mesra, aku belum berani memegang tangannya, bahkan untuk memandangnya saja terkadang masih ada rasa was-was dalam diriku. Aku takut jika cintaku kepadanya hanya sebatas nafsu saja. Aku berani memegang tangan Mitha hanya ketika naik gunung saja, itupun jika karena terpaksa untuk menghangatkan badannya yang seringkali menggigil secara tiba-tiba.
Perjalanan yang sebenarnya cukup jauh dan melelahkan, terasa begitu dekat dan menyenangkan.
Ada hal yang sangat menarik perhatiannya, yakni ketika hendak naik kapal di pelabuhan Gili Manuk. Ada anak-anak yang dengan sangat berani berenang ke dalam laut yang dalam, hanya untuk mengambil uang recehan yang memang sengaja dilemparkan oleh para penumpang ke dalam laut. Ketika uang recehan dilempar ke laut, seketika anak-anak itu dengan cekatan segera terjun ke dalam laut untuk berebut mengambil uang recehan yang nilainya sangat tidak sebanding dengan nyawa mereka.
Sama denganku, Ia bukannya merasa senang atau terhibur melihat semua itu, tapi merasa sangat sedih dan kecewa. Mengapa orang-orang begitu tega mempermainkan hidup orang lain. Mereka seperti tertawa di atas penderitaan orang lain. Yang lebih parah lagi adalah mengapa tidak ada yang melarang mereka, tetapi justru mengijinkan mereka melakukan pekerjaan seperti itu. Aneh memang, tetapi begitulah kenyataannya.
Selama perjalanan, Mitha tak pernah berhenti memotret dan bertanya kepadaku. Segala sesuatu yang tak Ia pahami tentang masyarakat Jawa, terutama Jawa timur yang notabene memiliki watak yang keras. Sama denganku ketika aku bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang tak kupahami mengenai masyarakat Bali.
Bus melaju dengan cepat, secepat detak jantungku ketika berada begitu dekat dengannya. Kami berdua duduk di kursi paling depan sebelah kiri. Tempat duduk favoritku, sekaligus tempat dimana kami berdua pertama kali bertemu.
Pukul setengah enam lebih, kami akhirnya sampai di kota Probolinggo. Hujan baru saja berhenti turun. Rupanya sudah mulai memasuki musim penghujan. Jalanan masih basah, udara terasa begitu segar, lampu-lampu kota menyala sangat indah menghiasi kota yang terlihat begitu asri. Suara adzan magrib bergema seakan merobek langit yang memerah.
Setelah istirahat sejenak untuk makan dan minum kopi di terminal Probolinggo, kami langsung melanjutkan perjalanan naik kendaraan colt menuju ke desaku.
Mitha terlihat sangat letih, sesekali kulihat badannya menggigil tiba-tiba. Aku hanya menyelimutinya dengan jaketku. Pasti Ia sangat kecapekan selama perjalanan tadi.
Turun dari colt, kami langsung dijemput oleh adik perempuanku. Hujan masih turun rintik-rintik.
Rasa lelah tiba-tiba saja sirna ketika kuinjakkan kaki di tanah dan tiba-tiba kulihat adikku sudah berdiri menyambutku.
Demikian juga dengan Mitha, meskipun aku tahu Ia cukup letih tapi senyumnya masih tak berubah, begitu lembut dan tulus. Ia segera bersalaman dan bekenalan dengan adikku. Kuperhatikan, sepertinya ada tanda-tanda kecocokan diantara mereka. Apalagi adikku anaknya memang sangat supel, sama dengan Mitha.
Setelah bersalaman dengan Mitha, adikku tersenyum, menghampiriku dan kemudian berbisik kepadaku.
“Cakep kak..............cocok deh, ternyata kakak pinter juga memilih ya..?..he...he...”
Aku hanya membalas dengan senyum tertahan. Kemudian kami segera bergegas naik becak ke rumahku yang masih lumayan jauh.
Aku naik becak sendirian, sedangkan Mitha naik becak berdua dengan adikku.
Jalanan begitu sepi, becak berjalan sangat lamban karena banyak jalan yang rusak dan tergenang air sebab sebagian jalan di desaku masih berupa jalan ‘makadam’ belum beraspal.
Hujan mulai sedikit reda, hanya tinggal rintik-rintik halus menyerupai kabut di gunung. Suara adzan Isya berkumandang bersaut-sautan memecah kesunyian. Suaranya seperti berasal dari segala penjuru, ada yang terdengar begitu dekat dan ada yang terdengar begitu jauh. Maklum di desaku hampir setiap seratus meter pasti berdiri langgar atau mushola.
Pernah aku bertanya kepada ayahku, mengapa ada begitu banyak mushola atau langgar di desa kita? Ternyata salah satu alasannya adalah untuk amal jariyah, artinya amal yang tidak akan terputus meskipun orang yang mendirikan mushola tersebut telah meninggal dunia. Jadi salah satu tujuan mereka adalah demi mengejar pahala. Tetapi ada juga yang karena pamrih dan hanya untuk mengejar prestise saja.
Namun sepertinya ada yang masih mengganjal dalam pikiranku. Meskipun sudah banyak mushola dan masjid yang berdiri, mengapa pada kenyataannya jamaah yang hadir tiap sholat lima waktu bisa dihitung dengan jari? Terlalu banyak mushola, justru membuat umat seakan menjadi terpecah-belah. Persatuan umat Islam yang tercermin dalam suasana shalat berjamaah kurang begitu tampak. Sehingga mushola yang terlalu banyak berdiri itu justru terkesan mubazir bagiku.
Meskipun ada banyak tokoh agama yang biasa disebut kyai di desaku ini, suasana Islami sama sekali tak nampak. Hanya jika saat bulan ramadhan tiba saja, mendadak suasana di desaku menjadi sangat Islami.
Di desaku, orang yang memiliki pondok pesantren sendiri dan memiliki santri yang lumayan banyak jumlahnya, maka Ia akan disebut Kyai. Dan semua warga di desaku sangat menghormati seorang yang bergelar kyai itu, sampai pada anggota keluarganya semua seakan disegani dan dihormati bahkan sampai hampir mengarah kepada sikap penghambaan yang terlalu berlebihan bagiku. Apalagi jika orang itu sudah naik haji dan memiliki kesaktian atau kemampuan supranatural yang tinggi. Maka secara otomatis, status sosialnya akan meningkat.
Demikianlah sedikit gambaran tentang desaku tercinta yang sepi dan jauh dari peradaban modern. Meskipun aku kurang begitu suka dengan sistem masyarakatnya dan orang-orangnya, tapi aku sangat mencintai keadaan alamnya yang masih sangat alami.
Hujan sudah mulai reda, daun-daun yang basah, sesekali masih meneteskan air hujan yang tersisa. Becak berhenti tepat di depan rumahku.
“Sudah sampai Den....” Saut tukang becak di belakangku dengan suara lembut dan ramah.
Kusingkap tirai plastik dari dalam becak. Ah.....akhirnya aku sampai juga di depan rumahku.
Aku segera turun, Mitha dan adikku sudah tiba lebih dulu. Sepertinya Ia merasa begitu asing berada di desaku yang sepi. Matanya tak henti-hentinya memandang sekeliling halaman rumahku yang memang sangat rimbun oleh pohon mangga yang tinggi menjulang.
“Kenapa Mit...?Aneh ya...berada di desaku?”
Mitha hanya tersenyum, kemudian menjawab dengan berbisik kepadaku.
“Nggak sih, cuma aku kok sedikit merasa takut ya mau ketemu dengan orang tuamu?”
“Santai aja Mit, orang tuaku orangnya baik kok. Nggak segalak ayahmu...he...he...”
“Kurang ajar kau Dwi, ntar kubilangin sama ayahku loh!”
Kami segera masuk ke dalam rumah yang terlihat sepi, mungkin ayah sama ibu masih sholat isya’ di masjid.
Kami bertiga duduk beristirahat di ruang tamu. Aku langsung tiduran di kursi, sedang Mitha masih asyik ngobrol dengan adikku. Ternyata firasatku benar, mereka berdua sangat cocok. Sesekali kuperhatikan pandangan Mitha selalu mengarah pada lukisan-lukisanku yang terpajang di ruang tamu, seakan Ia ingin memahami maksud dari lukisan-lukisanku satu persatu.
Tak lama kemudian, ayah dan ibuku datang. Kami berdua langsung bersalaman. Aku memeluk tubuh Ibu dan mencium kedua pipinya. Ibuku terlihat sangat senang setelah melihat Mitha, begitu juga dengan ayah yang hanya diam tak banyak berkomentar. Sepertinya kedua orang tuaku menyukai Mitha. Aku benar-benar merasa sangat bahagia.
Setelah mandi, dan bercakap-cakap sebentar. Kami langsung bergegas untuk tidur ,karena rasa lelah dan kantuk yang tak tertahankan.
Mitha tidur berdua dengan adikku. Sementara aku, tidur di rumah pamanku yang berada tak jauh dari rumahku.

************************


Dua minggu, Mitha tinggal di rumahku. Karena kami hidup di desa yang sangat rentan akan bisikan-bisikan tetangga yang tak menyenangkan. Apalagi ayahku sebagai kepala desa, maka ayahku mengatakan kepada tetanggaku bahwa Mitha adalah tunanganku dan dalam waktu dekat akan menikah. Aneh memang, hanya dengan alasan sudah tunangan, masyarakat di desaku tidak akan berpikir yang macam-macam tentang aku dan Mitha. Padahal tunangan kan pada dasarnya sama saja dengan pacaran? belum ada ikatan resmi yang sah. Tapi semua itu tak membuatku pusing karena memang tak perlu dipusingkan, sebab kenyataannya sudah seperti itu, yang penting aku dan Mitha bisa bersenang-senang.
Selama dua minggu itu, aku mengajak Mitha berpetualang ke tempat-tempat wiasata di daerahku. Aku mengenalkannya kepada Fatih dan Sekar. Ternyata mereka sudah lama pacaran. Seperti biasa, Mitha langsung akrab dengan mereka berdua. Dan pada malam minggu kami berempat pergi ke kota Probolinggo naik sepeda motor untuk sekedar jalan-jalan menikmati suasana keramaian kota di malam minggu. Mitha tampak sangat senang sekali, apalagi ketika Ia ku ajak ke pelabuhan Tanjung Tembaga untuk membeli ikan.
Yang lebih berkesan lagi adalah ketika aku ajak Mitha ke “Taman hidup” yang berada di lereng gunung Argopuro, meskipun kami tidak sampai ke puncak argopuro karena terbentur waktu. Di keheningan Taman Hidup yang beku, aku nyaris mengungkapkan cintaku kepada Mitha. Namun ternyata keraguanku masih terlalu besar, rasa takut begitu kuat menyergapku. Aku belum berani menyatakan cintaku kepada Mitha, takut jika Ia menolak cintaku.
Aku juga mengajak Mitha ke gunung Bromo dan air terjun ‘Mada Karipura” yang sangat mempesona, dan yang lebih seru lagi adalah ketika kami berdua mendaki gunung Lamongan yang merupakan gunung paling unik, meskipun tingginya hanya 1600-an mdpl, tapi lumayan berat dan menantang. Yang paling menarik adalah hutannya yang justru lebat di atas tetapi gundul dan gersang di kaki gunungnya. Benar-benar gunung cabe rawit. Mitha semakin merasa jatuh cinta pada dunia petualangan alam bebas.
Namun, ada satu yang dia inginkan tetapi belum kesampaian, yakni mendaki gunung Semeru. Itu setelah Ia melihat langsung gunung Semeru dari puncak Pananjakan. Sepertinya ada keinginan besar yang benar-benar membuatnya ingin mendaki puncak Mahameru.
“Aku ingin ke puncak Mahameru Dwi...........tapi kapan ya? Kamu mau kan mengantarkan aku kesana?” Ucap Mitha ketika kami berada di puncak gunung Pananjakan.
Ketika mendengar ucapannya itu, aku merasa menyesal tidak bisa mengantarkannya ke gunung Semeru karena tiba-tiba saja aku langsung teringat kembali akan janji yang pernah ku ucapkan tentang pendakianku ke gunung Semeru.
“Ya........pasti, aku akan mengantarkan kamu ke puncak Mahameru. Tapi kalau sekarang tidak bisa karena musim hujan biasanya gunung Semeru selalu ditutup untuk pendakian. Makanya kamu mesti datang lagi kesini kapan-kapan!” Jawabku sekedar menghiburnya.
Jelas sekali di raut wajahnya, tampak menyimpan sebuah keinginan yang begitu besar untuk mendaki gunung Semeru.
“Kenapa kamu ingin sekali mendaki gunung Semeru Mit?”
Sambil tetap mengumbar senyumnya kepadaku, Ia menjawab dengan santai.
“Karena aku sudah melihatnya, karena itu aku harus mendakinya”
“Oh......begitu. Pinter juga kau ini bercanda.....Mit” Jawabku sambil sedikit tertawa
“Sebenarnya nggak hanya itu sih, tapi karena bagi orang Bali sepertiku, gunung Semeru adalah gunung yang sangat disakralkan. Menurut orang Bali Gunung Mahameru dipercayai sebagai Bapak Gunung Agung di pulau Bali dan dihormati oleh masyarakat Bali. Upacara sesaji kepada para dewa-dewa Gunung Mahameru dilakukan oleh orang Bali. Meskipun upacara tersebut dilakukan setiap 8-12 tahun sekali hanya pada waktu orang menerima suara gaib dari dewa Gunung Mahameru. Karena itu, adalah sebuah keistimewaan bagiku jika bisa mendaki sampai ke puncak Mahameru”
Terkejut aku mendengarkan penjelasannya, ternyata ada alasan lain yang membuatnya ingin mendaki gunung Semeru.
“Kamu tahu nggak sejarah tentang gunung Semeru…….Dwi?”
“Asal—usul gunung Semeru maksud kamu? ”
“Iya..!”
“Oh…….kalau asal usul gunung Bromo sih aku tahu, tapi kalau tentang gunung Semeru aku kurang tahu tuh…!”
Ia menatapku dan tersenyum, kemudian memandang ke arah gunung Semeru yang mulai mengepulkan asap dari puncaknya. Saat itu matahari baru muncul dari timur. Di bawah tampak gunung bromo dan gunung batok dengan lautan pasir yang seluruhnya tertutup kabut. Gunung Semeru tampak menjulang kokoh di kejauhan, puncaknya mulai mengepulkan asap. Kami saling berpegangan tangan karena di puncak Penanjakan dinginnya luar biasa. Sinar matahari yang menerpa kulit seakan tak terasa sama sekali hangatnya.
Suasana saat itu lumayan ramai oleh turis-turis asing yang asyik memburu sunrise dengan kamera di tangannya. Ada juga beberapa turis lokal yang hanya ingin menikmati pemandangan dari puncak Penanjakan. Mitha sudah sejak tadi membidikkan kameranya, rupanya Ia sudah puas dan lebih memilih untuk duduk berdua denganku.
Mitha mulai menjelaskan tentang legenda gunung Semeru dengan terbata-bata karena kedinginan. Setiap kali berbicara, mulutnya mengepulkan asap. Sesekali Ia menggenggam erat tanganku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya untuk mengusir dingin.
“Menurut kitab kuna karangan Tantu Pagelaran yang berasal dari abad ke-15, Pulau Jawa pada suatu saat mengambang di lautan luas, dipermainkan ombak kesana-kemari. Para Dewa memutuskan untuk memakukan Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru di India ke atas Pulau Jawa.
Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa menggendong gunung itu dipunggungnya, sementara Dewa Brahma menjelma menjadi ular panjang yang membelitkan tubuhnya pada gunung dan badan kura-kura sehingga gunung itu dapat diangkut dengan aman.
Dewa-Dewa tersebut meletakkan gunung itu di atas bagian pertama pulau yang mereka temui, yaitu di bagian barat Pulau Jawa. Tetapi berat gunung itu mengakibatkan ujung pulau bagian timur terangkat ke atas. Kemudian mereka memindahkannya ke bagian timur pulau tetapi masih tetap miring, sehingga Mereka memutuskan untuk memotong sebagian dari gunung itu dan menempatkannya di bagian barat laut.
Penggalan itu membentuk Gunung Pawitra, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Pananggungan, dan bagian utama dari Gunung Meru, tempat bersemayam Dewa Shiwa, sekarang dikenal dengan nama Gunung Semeru atau lebih terkenal dengan sebutan Mahameru. Pada saat Sang Hyang Siwa datang ke pulau jawa dilihatnya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau tersebut dinamakan pulau Jawa”.
Ia memandangku sejenak memastikan bahwa aku serius mendengarkannya, kemudian Ia melanjutkan penjelasannya
Aku hanya terdiam menyimak penjelasan Mitha
“Dalam agama Hindu ada kepercayaan tentang Gunung Meru, Gunung Meru dianggap sebagai rumah para dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung diantara bumi (manusia) dan Kayangan. Kalau manusia ingin mendengar suara dewa, mereka harus semedi di puncak Gunung Meru. Banyak masyarakat Bali sampai sekarang masih menganggap gunung sebagai tempat kediaman Dewa-Dewa atau mahluk halus. Sehingga gunung banyak dipakai sebagai tempat semedi untuk mendengar suara gaib. Nah begitu ceritanya Dwi”
Aku masih terdiam memandang wajahnya. Tak kusangka ternyata Ia lebih paham dari aku yang notabene sabagai orang Jawa asli.
“Darimana kamu tahu semua cerita itu…Mit?”
“Ya…..membaca dong! Aku kan paling suka membaca sejarah. Apalagi kalau berhubungan dengan mitos atau legenda”
“Tapi, cerita-cerita seperti itu kan masih diragukan kebenarannya. Dan ceritanya lebih banyak yang tidak masuk akal ?”
“Ya……jelas dong Dwi, namanya juga legenda. Sulit untuk dibuktikan secara ilmiah. Tapi itu semua kan berhubungan dengan kepercayaan masyarakat? Jadi kita tidak bisa begitu saja mengatakan cerita-cerita seperti itu hanya omong kosong dong?”
Aku hanya tersenyum mendengar penjelasan Mitha, ternyata tidak hanya pandai bergaul. Ia juga pandai berdebat, bahkan mungkin jauh lebih baik dari aku.
Dua minggu yang benar-benar sangat menyenangkan bagi aku dan mungkin juga bagi Mitha. Setiap hari kami keluar bersama mendatangi tempat-tempat menarik di tempatku. Hampir tiap malam aku ajak Mitha ke rumah Fatih untuk sekedar menceritakan pengalaman kami berdua.
Semua mengalir begitu saja tanpa ada rencana dan seakan berjalan baik-baik saja. Sampai pada malam terakhir sebelum Mitha pulang ke Bali. Aku mengalami hal yang benar-benar tak kuduga sebelumnya.
Malam itu, di rumah pamanku. Aku seperti sedang menjalani proses persidangan. Sementara adik dan ibuku di rumah dengan Mitha.
Benar-benar tak kusangka, aku terlibat perdebatan sengit dengan ayahku. Tiba-tiba saja Ia merasa tidak suka kepada Mitha.
“Kamu tidak boleh berhubungan lagi dengan Mitha” Sentak ayah kepadaku. Wajahnya benar-benar menampakkan kemarahan yang luar biasa.
“Kenapa ayah…?”
“Dia itu kafir…….haram berhubungan dengan orang kafir apalagi jika kau sampai menikahi dia. Dosa besar..! Begitu menurut ustad Amir dan Kyai Ahmad”.
Jawaban ayah benar-benar mengejutkanku. Meskipun aku tahu Ia adalah seorang yang fanatik sekali kepada agama, tapi aku tidak menyangka Ia bisa setega itu menyebut seseorang “Kafir” dan “Haram”. Padahal Mitha kan sama-sama manusia biasa yang hanya memiliki kepercayaan yang berbeda saja. Selebihnya yang kutahu Ia anak yang baik.
“Tapi apa salah dia ayah?”
“Salahnya, Ia tidak memeluk agama Islam”
“Tapi kita kan harus menghargai kepercayaan orang lain? Sama sekali tak penting seseorang memeluk agama apa saja, semua ajaran agama kan mengajarkan kebaikan? Yang terpenting adalah bagaimana seseorang bisa menjadi orang yang baik terhadap orang lain dan lingkungannya?”
“Rupanya kau sudah ikut terpengaruh menjadi orang kafir! Pokoknya kamu harus menjauhi dia, Titik” Ucap ayah dengan sedikit membentak kepadaku.
“Ah…..meskipun Mitha bukan Islam, tapi masih jauh lebih baik daripada ayah yang takabur. Setiap hari shalat tapi tak bisa menghargai orang lain. Sukanya dihormati tapi tak mau menghormati. Kanjeng nabi Muhammad saja masih menghargai orang-orang kafir. Percuma setiap hari, siang-malam ayah shalat jika hanya mengharap pahala. Padahal tujuan kita shalat kan untuk mengingat Allah, sehingga jika kita selalu mengingat Allah maka kita akan selalu berusaha menjadi manusia yang sempurna?”
Mendengarku berbicara seperti itu, ayah langsung naik pitam. Ia segera berdiri dari tempat duduknya kemudian hendak menamparku. Beruntung niatnya masih dihalangi oleh paman yang tiba-tiba saja muncul dari belakangku.
Aku segera keluar rumah paman dan langsung berlari menuju rumahku. Dengan nafas yang terputus-putus aku menghampiri Mitha yang saat itu sedang asyik ngobrol dengan adik dan ibuku.
BRAAK…….!
Pintu rumah kubuka dengan sangat keras.
Adik, ibu dan Mitha terkejut sambil memandangku dengan rasa takut. Mata dan mukaku memerah, sekujur tubuhku penuh keringat.
“Ada apa Dwi….? Kamu baru dikejar hantu ya? Tanya Mitha hendak menghiburku.
“Mit……..kita pulang sekarang” Ucapku dengan nafas yang masih terputus-putus karena emosi yang coba kutahan.
“Dwi……..kamu kenapa?” Tanya ibu pelan dengan muka sedikit takut dan khawatir.
“Kita pulang malam ini juga, ayo segera kemasi barang-barangmu!”
Adik dan ibuku diam tak berani berkata apa-apa lagi kepadaku. Mereka paham kalau aku sedang marah.
Malam itu juga aku langsung mengemasi barang-barangku, demikian juga Mitha. Setelah semua selesai, aku memeluk ibu dan mencium kakinya. Kulihat ibu hanya menatapku, matanya berkaca-kaca meski air mata tak sempat jatuh di pipinya.
“Kak……..kakak mau kemana?” Tanya adikku dengan mata yang mulai digenangi air mata.
“Dik, jaga ibu ya…..”Ucapku tegas sambil mengelus kepalanya.
“Kakak mau kemana…….?”
“Jaga ibu baik-baik, jangan jadi anak nakal dan manja……..”
“Kak…jangan pergi…….”
Kupeluk adikku erat-erat dan kucium keningnya
“Kakak harus pergi…….”
Mitha turut memeluk ibu dan adikku dengan penuh perasaan, seperti tak ingin segera berpisah.
Tanpa berpamitan kepada ayah, aku dan Mitha segera berangkat. Mitha hanya diam sepanjang perjalanan. Mungkn Ia tahu kalau aku sedang emosi dan pikiranku sedang kacau. Jadi percuma mengajak bicara, karena ujung-ujungnya pasti akan berakhir dengan pertengkaran.
Sampai saat kami berdua sudah berada di dalam bus, Mitha masih diam sambil sesekali mengamatiku. Aku hanya menatap kosong jalanan yang sepi dengan pikiran melayang mengingat pertengkaranku dengan ayahku tadi.
Baru setelah bus berjalan cukup lama, Mitha mulai berani menyapaku.
“Hey….kamu kenapa Dwi…?” Tanya Mitha lembut kepadaku. Senyumnya berusaha menenangkanku.
Aku hanya menoleh dan menatapnya
“Coba kamu tarik nafas panjang kemudian lepaskan………”
Aku menuruti apa yang dikatakan oleh Mitha. Kutarik nafas panjang kemudian kulepaskan. “Astagfirullah haladziim” Rasanya benar-bnar lega, emosi yang sejak tadi masih tertahan di dalam hatiku seakan tiba-tiba saja sirna.
“Nah…….sekarang merasa lebih baik kan? Ok sekarang kamu cerita ada apa sebenarnya?”
Aku masih menatapnya dengan penuh rasa penyesalan. Aku merasa bersalah kepadanya. Tiba-tiba saja Ia menggenggam tanganku.
“Maafkan aku ya Mit..?”
“Kenapa?”
“Aku sudah mengecewakanmu, aku telah merusak semuanya. Seharusnya aku menahan emosiku” Nafasku masih pendek-pendek, emosiku masih belum sepenuhnya hilang.
Kami saling berpandangan
Bus mulai melaju dengan kencang melewati jalanan yang basah. Cepat sekali, melalui jalur yang berkelok-kelok dan beberapa saat kemudian memasuki kawasan hutan yang sepi dan gelap. Semua penumpang sudah terlelap. Hanya kami berdua yang masih terjaga. Mitha masih sabar menunggu sampai emosiku benar-benar hilang. Sepanjang perjalanan kami hanya saling berdiam diri. Sesekali Mitha coba memejamkan matanya, tapi tak bisa juga Ia tertidur. Begitu juga denganku. Tak terasa rupanya sudah hampir sampai di Banyuwangi.
Mitha kembali memandangku. Tangannya menggenggam erat tanganku yang masih gemetar.
“Coba kamu jelaskan ada apa sih?”
“Nanti saja Mit, aku jelaskan semuanya setelah di atas kapal”
Mitha hanya menganggukkan kepala, kedua tangannya masih menggenggam tanganku. Entah kenapa ada damai yang selalu kurasakan setiap kali aku bersamanya. Apakah ini yang dinamakan cinta sejati?
Bus malam melaju dengan kencang, sekencang aliran darahku yang kurasakan mengalir begitu deras.
Tengah malam tepat, kami sudah menaiki kapal menuju ke pelabuhan Gilimanuk Bali.
Kami berdua duduk di kursi paling tepi, di dekat jendela yang memang tanpa kaca. Sehingga kami bisa merasakan angin yang bertiup kencang dan memandang lepas lautan yang gelap. Ruang penumpang saat itu begitu sepi, hanya beberapa orang saja yang terlihat masih terjaga. Sesuai janjiku, aku menjelaskan semuanya kepada Mitha, tentang pertengkaranku dengan ayahku. Panjang lebar aku menjelaskan semuanya.
Tak kusangka, Mitha haya tersenyum saja. Tidak nampak sekali kekesalan di wajahnya. Aku benar-benar bingung. Mitha memang perempuan yang bijaksana, tapi aku tahu di dalam hatinya ada rasa sedih yang coba Ia sembunyikan dariku.
Ia lebih sering mengalihkan pembicaraan tentang pertengkaranku dengan ayah. Ia justru banyak menceritakan kepadaku tentang obrolannya dengan ibu dan adikku selama ini. Rupanya mereka lebih sering membicarakan tentang masa kecilku. Mereka juga sempat membicarakan tentang almarhum kakakku. Mitha merasa senang sekali ketika ibu dan adikku menunjukkan foto-foto masa kecilku dulu, foto-foto petualanganku dan foto-foto tentang keluargaku. Mungkin karena Mitha memang suka sekali pada fotografi.
Angin laut yang berhembus kencang, laut yang sedikit tenang, bulan sabit dan bintang-bintang yang bersinar saat itu seakan turut menemani pembicaraan kami.
“Semua masalah tidak akan bisa diselesaikan dengan emosi. Tapi percayalah padaku Dwi,…….semua masalah pasti ada jalan keluarnya, jika kita menghadapi dengan pikiran dan hati yang jernih. Permasalahan dalam hidup itu untuk dipecahkan bukan untuk dipikirkan. Kalau hanya dipikirkan tidak akan bermanfaat, justru akan membebani kita.”
“Tapi ini masalah prinsip pemikiran Mit, antara aku dan ayahku punya pemikiran yang berlawanan. Selalu saja begitu, bahkan bukan kali ini saja. Sudah sering sekali kami bertengkar karena pemikiran yang berbeda” Sautku dengan sedikit emosi yang kemudian kembali coba kuredam.
Mitha hanya bersikap dingin menanggapi ucapanku, kemudian tersenyum dan menatap mataku.
“Bagaimanapun juga dia masih ayahmu, kamu harus tetap menghormatinya meskipun pikirannya mungkin tak sejalan denganmu. Ingat, mereka itu dibesarkan di jaman yang berbeda dengan kita, jadi kita harus bisa memaklumi dan menghargai sikap mereka. Sebagai seorang anak, apalagi yang bisa kita berikan kepada mereka selain penghormatan?”
Aku hanya diam meresapi kata-kata Mitha. Aku sungguh merasa sangat beruntung sekali bisa mengenal perempuan seperti dia. Sementara kapal sudah mulai merapat ke dermaga. Suara riuh kendaraan dan orang-orang yang terbangun seakan mengakhiri pembicaraan diantara kami.



SURVIVAL


Kawan,
Lembar catatanku yang ini sungguh adalah bagian tersulit dalam hidupku, Bukan aku hendak berbagi kesengsaraan dengan kalian, tapi ketahuilah bahwa segala peristiwa yang kita alami dalam hidup ini ternyata pasti mengandung hikmah.
Jangan pernah mengatakan perjuangan, kalau kau belum pernah merasakan perjuangan mempertahankan hidupmu. Jangan pernah bicara soal kesengsaraan atau kemiskinan kalau kau belum pernah merasakan hidup melarat dan tak berdaya. Jangan pernah bicara soal filosofi hidup kalau kau sendiri tak pernah mengalami sendiri apa itu hidup dan apa itu mati.
Saat aku mengisi lembaran ini, aku menjumpai diriku sedang menjajakan gambar-gambar tato kepada para turis yang kujumpai di pantai Kuta. Aku mencoba hidup mandiri dengan menjalani usaha tato temporary yang kulakukan sendiri. Beruntung sudah dua kali ini aku mendapatkan pelanggan, tetapi sial mereka semua hanya membayarku separuh harga saja karena mereka merasa tidak puas dengan hasil karyaku. Menurut mereka tato yang kubuat di kulit mereka tidak sama dengan gambar yang aku tawarkan. Memang sebenarnya aku masih baru belajar menato, aku belajar dari temanku yang juga seorang ahli tato permanen.
Setiap pulang dari kuliah, aku langsung menuju ke pantai Kuta. Dari siang hari sampai sore hari menjelang magrib. Hasilnya memang tak seberapa, tapi aku rasa cukuplah untukku bertahan hidup sementara. Pekerjaan yang satu ini benar-benar menguji mentalku. Pernah aku harus menato seorang turis laki-laki dari Australia, awalnya kami ngobrol biasa-biasa saja, Ia menanyakan namaku, latar belakang hidupku dan apa saja yang aku kerjakan setiap harinya, tapi kemudian ujung-ujungnya Ia menawarkan akan memberiku upah yang fantastis asal aku mau tidur dengannya. Ternyata Ia seorang Gay.
Ah...sungguh menjijikkan sekali, sejak saat itu aku tak berani lagi menerima turis laki-laki. Aku hanya mau menato turis perempuan saja, dan itu justru membawaku pada pengalaman yang lebih unik lagi. Pernah aku harus menato seorang turis perempuan yang sangat cantik asal Canada. Chaterine namanya, aku masih ingat betul. Saat itu hari memang sudah sore dan menjelang magrib. Karena tato yang kubuat di lengan kirinya belum selesai, Ia menawarkan agar diteruskan di kamar hotelnya saja. Tanpa pikiran macam-macam, aku terima saja tawarannya itu. Kami langsung menuju hotel tempatnya menginap yang memang tak jauh dari pantai Kuta.
Setelah kami berada di dalam kamar hotel, aku sangat terkejut saat tiba-tiba saja Ia membuka bajunya dan telanjang bulat di depanku. Ia memintaku untuk menato seluruh tubuhnya. Aku menurut saja dan berusaha seprofesional mungkin melakukan pekerjaanku. Aku menato seluruh tubuhnya, tentu saja dengan perasaan yang bercampur aduk, sungguh tak bisa kujelaskan perasaanku saat itu. Semalaman aku berada di kamarnya, dan menjelang dini hari akupun berhasil memenuhi seluruh tubuhnya dengan tato buatanku. Ia membayarku dengan dollar yang lumayan banyak. Namun saat aku akan berpamitan pulang, Ia berusaha mencegahku dan memintaku untuk menemaninya tidur. Tentu saja aku menolaknya, karena uang sudah ditanganku, aku langsung berlari keluar kamar. Dan sejak peristiwa itu, aku memutuskan untuk tidak lagi menato. Saat aku menceritakan pengalamanku itu kepada teman-teman, mereka justru menertawakanku dan mengatakan bahwa aku terlalu “Bodoh”. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran mereka.
Setelah kapok menjalani usaha tato, aku mencoba untuk melamar pekerjaan saja. Bagaimanapun juga aku harus bekerja agar bisa bertahan hidup. Namun sial, tak ada yang mau menerimaku. Akhirnya hari demi hari kulalui dengan hidup sangat hemat. Sarapan pagi aku ganti menjadi makan siang, untuk makan malam aku hanya makan beberapa gorengan untuk menghemat pengeluaranku. Aku jarang beli kopi di warung dan nongkrong dengan teman-temanku. Rokok berusaha aku kurangi, hanya saat aku melukis atau menulis saja aku menghisap rokok.
Setiap pulang dari kuliah aku langsung tidur di dalam kamar kostku. Malam hari kalau tak ada tugas dari kampus, kuhabiskan untuk menulis atau melukis. Karena tugas-tugas dari kampus cukup menguras kantongku, maka aku berusaha untuk menunda mengerjakan tugas-tugasku, sampai pada akhirnya aku tak bisa mengumpulkan tugas-tugas dari kampus lagi..
Setiap malam aku selalu memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa bertahan hidup. Setiap malam aku selalu mengamati lukisan Mitha yang masih terpajang di dinding kamarku dan mendengarkan lagu “Spirit Caries On” nya Dream Theather. Getaran kebahagiaan yang dulu selalu bisa kurasakan setiap kali memandang lukisan sambil mendengarkan lagu itu, kali ini tak terasa sama sekali getarannya, hanya menyisakan kenangan pedih antara aku dan Mitha.
Hari demi hari, aku menjalani rutinitasku sebagai seorang mahasiswa. Tapi kali ini berbeda, aku merasakan ada yang lain dalam hidupku. Aku seperti kehilangan semangat untuk kuliah. Tapi meskipun begitu, kucoba untuk bertahan.
Sudah satu bulan ini, aku dan Mitha tak lagi saling berhubungan. Memang kami sudah berkomitmen untuk coba berpisah, karena memang sepertinya aku harus terbiasa hidup tanpanya. Sebab, bagi kami memang inilah jalan satu-satunya yang terbaik.
Apalagi aku menyadari bahwa kami tidak akan bisa bersatu. Selain berbeda agama, aku dan dia juga terpisah oleh jurang kasta. Mitha adalah keturunan orang yang terpandang dari golongan kasta yang tinggi, sedangkan aku bukan siapa-siapa. Menurut teman kuliahku yang juga orang Bali, jika seandainya aku dan Mitha sampai menikah, maka Mitha akan terbuang dari keluarganya. Ia akan dianggap keluar dari kasta keluarganya. Sungguh semua itu pasti akan menghancurkan hidupnya. Aku tak ingin jika itu sampai terjadi padanya. Oleh karena itu, bagaimanapun caranya aku harus berpisah dengan Mitha.
Hari demi hari terasa begitu berat bagiku. Selain kehilangan orang yang aku cintai, aku juga kehilangan uang kiriman dari ayah. Rupanya pertengkaranku dengan ayah benar-benar membuat ayah marah. Aku mencoba hidup sendiri. Bertahan dengan keadaan yang sungguh berat untuk kuhadapi.
Berkumpul dengan teman-teman tak membuat aku merasa jauh lebih baik, aku seperti merasa muak dengan mereka semua yang setiap harinya hanya bisa ngopi, mabuk dan membicarakan hal-hal yang tidak penting sama sekali bagiku. Aku mulai merasakan ternyata selama ini kami semua cuma jago mengkritik orang lain. Sok tahu tentang segala sesuatu. Jago berargumen, tapi nol besar kalau disuruh bertindak dan melakukan perubahan sekecil apapun. Dosen, rektor, politikus, tokoh agama sampai presiden sekalipun seolah kami anggap semua sebagai musuh. Sejak itu aku mulai menjaga jarak dengan teman-teman seperjuanganku, begitu juga dengan sahabat dekatku Roy yang selalu asyik dengan narkobanya.
Semakin hari aku semakin sering tidak masuk kuliah. Aku lebih sering mengurung diri dalam kamarku. Yang kulakukan hanya melukis dan menulis.
Sebulan, dua bulan aku masih bisa bertahan dengan sisa uang di tabunganku. Tapi memasuki bulan ketiga, aku mulai merasa kesulitan untuk hidup.
Ku coba untuk mencari pekerjaan apapun, tapi tidak ada yang mau menerimaku. Uang tabunganku semakin menipis. Keadaan seperti itu, tak membuatku berhenti untuk berkarya, aku tetap melukis dan menulis dengan alat dan bahan yang masih tersisa. Karena aku selalu ingat pada kata-kata dari seorang filsuf dan matematikawan dari perancis ‘Rene Decartes’ dalam bahasa latin Ia mengatakan “COGITOERGOSUM” yang artinya “Aku berpikir, maka aku dianggap ada, dan aku diperhitungkan”. Hanya dengan berkaryalah aku bisa menumpahkan segala pemikiranku, dan semoga dengan begini aku kelak akan dianggap ada dan mungkin akan diperhitungkan.
Aku tak pernah berhenti melukis dan menulis. Sampai pada akhirnya aku kehabisan cat dan kanvas. Karena tak mampu lagi membeli cat dan kanvas, aku melukis di kertas yang kupakai untuk menulis dengan menggunakan pastel dan pensil warna.
Komputer, Handphone dan perlengkapan mendaki gunungku akhirnya ku jual juga. Di kamar hanya tersisa karpet untukku tidur, setumpuk lukisan dan buku-buku serta kertas-kertas yang berserakan.
Saat itu aku mulai berpikir, aku tak boleh menyerah dan harus segera mengambil keputusan untuk berani melangkah ke depan. Kemudian aku teringat pada kata-kata Roy, Ia pernah mengatakan kepadaku kalau ingin jadi seniman coba kau pergi ke desa Ubud, disana gudangnya para seniman-seniman yang sakti mandraguna.
Dan dengan uang yang masih tersisa akhirnya kuberanikan diri untuk pergi ke desa itu. Di sana aku bermaksud untuk tinggal beberapa waktu, uang yang kupunya saat itu kira-kira cukup untuk hidup satu bulan di sana. Setelah itu aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepadaku selanjutnya. Aku benar-benar pasrah, hidup tanpa rencana, hanya berbekal keberanian saja. Selanjutnya kuserahkan pada waktu yang akan membawaku kemana. Yang jelas kemanapun aku dibawa waktu, aku siap saja, bukannya sombong tapi karena keterpaksaan harus berprinsip begitu. Segera saja aku mengemasi pakaian dan perlengkapan lukisku. Tanpa sepengetahuan teman-teman kampusku, aku bermaksud pergi sendiri ke desa Ubud.
Hari itu hari Jumat, aku masih ingat betul. Di tengah teriknya sinar matahari, aku nekad jalan kaki sampai ke terminal bus demi menghemat biaya. Jarak antara terminal dengan tempat kost-ku kira-kira hampir 5km lebih. Berjalan di pinggiran jalan sambil membawa tas ransel membuatku seperti seorang wisatawan saja.
Biar cepat sampai, terpaksa aku harus lewat jalan pintas melewati sawah dan hutan bambu yang sepi. Hutan bambu itu lebih mirip tempat pemakaman bagiku. Suasananya sangat sepi dan menyeramkan. Jalan setapak kurang begitu jelas karena tertutup oleh daun-daun bambu yang berjatuhan, apalagi jalan ini memang jarang dilewati orang.
Tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh suara beberapa orang di balik pohon bambu yang menanyaiku sambil membentak.
“Hey.....mau pergi kemana kamu?” Tanya salah satu orang dari mereka yang bertubuh kekar dan betato.
“Mau ke terminal bus ..!”Jawabku ketakutan
Beberapa saat kemudian muncul tiga orang yang lain menyergapku dari belakang. Karena mereka langsung menghunuskan pisau ke leherku, aku tak berani berteriak atau melawan. Saat itu aku hanya bisa pasrah dan tak tahu apa yang akan terjadi denganku.
“Ayo ambil...”Teriak salah satu dari mereka
Aku sempat berontak karena mereka berusaha merebut tas dan dompetku, tapi tiba-tiba saja dari arah samping aku menerima bogem mentah yang langsung membuatku jatuh tersungkur di tanah. Aku tak bisa mengingat lagi apa yang terjadi selanjutnya.
Ketika aku terbangun, hari sudah hampir magrib. Dengan sisa tenaga yang ada aku berusaha bangkit. Rupanya tak ada satu orangpun yang lewat jalan ini, mungkin mereka sudah tahu kalau daerah ini rawan perampok. Sambil menahan rasa sakit di kepala, aku mencari tas dan dompetku, ternyata semua isinya sudah lenyap. Bisa dibayangkan perasaanku saat itu. Sisa uang yang akan kupakai untuk bertahan hidup, kini sudah hilang semuanya. Aku benar-benar tak punya apa-apa lagi. Entah bagaimana lagi aku akan hidup.


*************



Dengan perasaan hampir putus asa, aku hanya bisa terdiam di dalam kamar kost-ku. Aku benar-benar mengalami depresi hebat, semua cita-citaku kini pupus sudah, desa Ubud yang ingin ku tuju hanya tinggal angan-angan saja. Semuanya seakan berakhir sudah, tak ada lagi yang kumiliki selain buku dan perlengkapan lukisku yang masih tersisa. Beruntung aku tidak sampai menjadi gila.
Kejadian yang aku alami di hutan bambu itu tak pernah aku ceritakan kepada siapapun, aku tak ingin berbagi kesusahan dengan orang lain. Biarlah semuanya kupendam sendiri.
Sejak peristiwa itu, hari-hariku terasa sangat berat. Aku semakin jarang keluar kamar karena takut bertemu ibu kost sebab sudah dua bulan aku tidak bisa membayar uang kost. Untuk makanpun aku harus berhutang pada teman-temanku dengan alasan uang kirimanku baru akan datang bulan depan. Aku coba menyembunyikan keadaanku dari teman-temanku, bahkan pada Fatih sekalipun. Aku tak ingin menyusahkan orang lain. Aku juga tak mau menjadi peminta-minta, aku coba ikhlas menerima keadaanku ini sambil tetap melakukan apapun yang masih bisa kulakukan karena aku selalu teringat pada sebuah hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir “Barang siapa yang membuka pintu permintaan, maka Allah akan membuka pintu kefakiran baginya di dunia dan akherat. Barang siapa yang membuka pintu pemberian karena mencari keridhaan Allah swt, maka Allah akan memberikan kepadanya kebaikan di dunia dan akherat”
“Tidaklah ada orang yang membuka satu pintu permintaan buat meminta-minta kepada manusia, untuk dirinya sendiri, melainkan Allah akan membukakan satu pintu kefakiran baginya, karena menahan diri dari meminta-minta itu lebih baik”.
Meskipun harus menghadapi kesulitan hidup seperti itu, tak membuatku berhenti untuk memikirkan Mitha. Setiap malam aku masih selalu memikirkannya, ternyata aku benar-benar tak bisa melupakannya. Semua perasaan rinduku kepada Mitha kutumpahkan kedalam lukisan dan tulisan-tulisanku.
Dalam kondisi sulit seperti itu, aku seperti tiba-tiba saja lenyap di telan bumi. Karena aku tak lagi bergaul dengan teman-teman kuliah dan teman-teman seperjuanganku. Aku sungguh merasakan keterasingan dan kesepian yang begitu mendalam.
Bulan demi bulan coba kulalui dengan tabah, hampir satu semester penuh aku tidak masuk kuliah. Dan karena tak lagi memiliki uang untuk membayar SPP untuk semester depan, akhirnya kuputuskan untuk berhenti kuliah.
Aku mencoba hidup dari lukisan. Kutawarkan lukisan-lukisanku ke galeri-galeri dan toko-toko seni. Tapi tak ada satupun lukisanku yang laku terjual. Semua mengatakan lukisanku masih terlalu sulit untuk dipahami dan tema-temanya memang kurang menjual karena terlalu filosofis.
Aku benar-benar kehabisan alat dan bahan untuk melukis. Karena aku tak ingin berhenti melukis, aku tetap melukis dengan arang dan kertas karena pensil yang tersisa telah habis untuk kupakai menulis.
Aku mulai jarang makan, satu hari, dua hari sampai akhirnya aku tak makan sama sekali selama satu minggu. Aku masih melukis dan menulis dengan alat dan bahan yang semakin terbatas bahkan tak masuk akal. Terakhir kali aku harus melukis dengan darah yang kuambil dari jari-jariku sendiri.
Setelah cukup lama aku mencoba untuk bertahan hidup, akhirnya aku mulai merasa lemas dan akhirnya jatuh sakit. Saat itulah aku benar-benar merasa tak berdaya, aku tak bisa lagi melukis dan menulis karena aku tak punya tenaga lagi.
Tiba-tiba saja aku teringat akan kata-kata laki-laki tua yang kujumpai dalam bus waktu dulu. Ia pernah berpesan padaku “Melukislah nak, sampai kau tak mampu lagi untuk melukis”. Setelah teringat pada wajah laki-laki itu, aku tersenyum karena merasa telah melakukan apa yang telah Ia katakan. Aku benar-benar tak mampu lagi melukis. Aku sudah melukis sampai aku tak bisa lagi melukis. Aku benar-benar sudah merasa puas.
Aku tak berdaya sama sekali di dalam kamarku yang gelap dan pengap. Setumpuk lukisan dan kertas-kertas yang berisi tulisan-tulisan tanganku tampak berserakan.
Badanku terasa semakin lemah, dan sakitku semakin parah karena memang tak ku obati. Aku hanya tidur di atas karpet tanpa selimut dan bantal. Kudekap erat-erat tubuhku untuk mengusir rasa menggigil yang menyerangku.
Di saat-saat seperti itu tiba-tiba saja aku teringat pada Allah dan nabi Muhammad SAW. Aku merasa bersalah karena selama ini telah meninggalkan shalat dan lupa untuk mengingat-Nya. Tak henti-hentinya aku mengatakan istighfar , dua kalimat syahadat, dan salawat kepada nabi.
Aku kembali teringat pada ayah, ibu, kakak dan adikku, pada teman-temanku dan juga Mitha. Seandainya saja mereka semua ada disini, mungkin aku akan memeluk mereka dan meminta maaf atas segala kesalahan yang selama ini pernah kuperbuat kepada mereka.
Tak lama kemudian, aku merasa mengantuk sekali, mataku terasa begitu berat, badanku tak mampu lagi kurasakan. Sampai akhirnya aku tak mampu lagi bertahan dan kupejamkan mataku dengan perlahan.

Allah..................
....................Allah......................
........................Allah..............

Aku masih bertasbih dalam hati.
Saat itu hari menjelang subuh, karena aku masih bisa mendengar suara adzan dari kejauhan.
“Ya Allah...jika kau hendak mencabut nyawaku sekarang, aku belum siap. Dosa-dosaku masih terlalu banyak dan aku masih ingin bertemu dengan Mitha untuk yang terakhir kalinya”.
Rasa kantuk yang luar biasa menyergapku sangat kuat, nafasku terasa sangat berat, semua bagian tubuhku tak bisa lagi kurasakan dan beberapa saat kemudian tiba-tiba saja semuanya memutih dan aku benar-benar tenggelam dalam kegelapan yang sunyi dan hening.

BRAK............

BRAK...........

Masih kudengar meski samar-samar, suara orang sedang mendobrak pintu kamarku.

BRAK................!!!

Tiba-tiba pintu terbuka, terdengar suara ricuh orang-orang yang berebut masuk kedalam kamarku. Aku coba membuka mata, dan pandanganku mengarah pada satu sosok tubuh kurus tinggi yang berdiri tepat di depanku. Ia berdiri memandangku kemudian segera berlari menghampiriku dan memeluk tubuhku erat-erat. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas, tapi mendengar suaranya sepertinya aku masih mengenalnya.
“Dwi..................
Dwi...................
Dwi...........................”
Sambil memeluk erat tubuhku, tak henti-hentinya Ia memanggil namaku.
Aku berusaha membuka mataku, tapi tak bisa. Hanya senyum saja yang bisa kutunjukkan.
Aku benar-benar merasa tak mampu lagi menggerakan seluruh tubuhku, rasa kantuk kembali kurasakan. Tiba-tiba semua kembali memutih dan secara tiba-tiba berubah menjadi gelap. Perlahan kembali kupejamkan mataku dan kemudian aku tak sadarkan diri.

Semua hilang........................

Semua lenyap.........................




*************************













“Dwi..........”
Suara panggilan itu terdengar begitu dekat di telingaku, sampai membangunkan aku yang baru saja tertidur pulas. Perlahan kubuka mata. Semua terlihat mengabur. Kupejamkan mata kembali, beberapa saat kemudian kubuka mataku lagi. Kali ini pandanganku mulai sedikit lebih jelas.
“Dwi.......”
“Dwi..........”
Suara-suara itu terdengar semakin keras. Tanganku mulai bisa kugerakkan, lalu kuraih tangan yang sejak tadi mengelus kepalaku.
Aku benar-benar terkejut. Ternyata kulihat adik dan ibuku duduk di sampingku. Akupun merasa bingung kenapa mereka menangis? Apakah aku sudah mati?
Tubuhku terasa sangat lemas, sehingga aku hanya bisa tersenyum kepada mereka. Kemudian pandanganku kuarahkan pada sosok tubuh tinggi kurus yang berdiri di belakang adik dan ibuku.
Ternyata Fatih. Disebelahnya juga ada Sekar dan Roy dengan rambut gimbal dan baju kumalnya. Mereka berdua tersenyum kepadaku dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku semakin tak mengerti, ada apa sebenarnya? Mengapa mereka semua bisa berkumpul di sini, di tempat yang aku sendiri tidak tahu dimana. Tempat yang tak asing bagiku, tapi terlalu mewah suasananya seperti sedang di hotel saja. Aku memperhatikan sekelilingku, kamar ber AC dengan temboknya yang berwarna putih. Di pojok sebelah kanan pintu ada kamar mandi kecil. Di sebelah jendela ada TV dan buah-buahan yang tertampung dalam mangkuk kristal. Di tembok, terpajang beberapa lukisan “Penari Bali” yang sepertinya aku kenal. Ya.....itu adalah lukisan karya Nyoman Gunarsa, salah satu pelukis Bali idolaku. Goresan kuasnya meliuk-liuk sangat indah di kanvas. Benar-benar ada gerak di dalamnya.
“Bu........aku dimana ini?”
“Kamu sekarang di Rumah sakit, sudah satu bulan kamu mengalami koma. Syukurlah sekarang sudah kembali siuman”
“Di rumah sakit? Ada apa bu? Kenapa aku bisa di rumah sakit?” Tanyaku merasa sangat heran. Aku baru menyadari kalau selang infus masih melekat di tangan kiriku.
“Fatih dan Roy datang ke tempatmu, kemudian menemukan kamu sudah sekarat di dalam kamar. Ia dan teman-temanmu yang membawa kamu ke rumah sakit ini”
“Dimana ini bu?”
“Kamu masih di Bali. Ini di Denpasar. Sudah.......jangan banyak bicara dulu kamu mesti banyak beristirahat dulu ”
Aku kembali memandang Fatih yang sejak tadi hanya berdiri terdiam dan tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumnya dan kembali memejamkan mata sekedar mengucapkan syukur kepada Tuhan.
Tiga hari sejak pertama kali aku siuman, semua teman-temanku tak henti-hentinya datang menjengukku. Semuanya tampak sangat bersimpati kepadaku. Ada yang mengirimkan bunga, buku, buah-buahan bahkan ada yang memberiku sebuah laptop. Dan yang luar biasa, Roy selalu datang setiap hari untuk menghiburku dengan cerita-cerita konyolnya. Ternyata selama ini aku salah menilai teman-temanku.
“Dwi....ni gua bawain lu buku biografinya Bob Marley, biar kamu tahu kalo gua gak asal ikut-ikutan gimbal aja. Jangan lupa tuh, kamu baca sampai selesai...Ok!” Ucap Roy kepadaku dengan gaya bicara yang masih tetap seperti orang mabuk, dan memang dari mulutnya tercium aroma alkohol yang sangat kuat. Roy...ya...tetap Roy, begitulah dia.”Life is freedom, just pursuit of happiness” Itu kata-kata yang selalu diucapkannya kepadaku.
Aku hanya tersenyum kepadanya.
“Terima kasih banyak ya Roy...!”
“Ah.....biasa aja lah, udah........ mending lu istirahat yang banyak biar cepet sembuh. Gua mau cabut dulu ya...”
“Rapat lagi...?”Sautku.
“Ha...ha..ha. Sialan kau.............Kali ini, gua mau ketemu ama cewek...he...he..he”
Setelah berpamitan kepada semua yang ada di dalam kamar, Roy berjalan keluar dengan langkah sedikit sempoyongan. Semua mata tertuju kepadanya, Ibu hanya menggelengkan kepalanya. Sekar dan adikku seperti terbengong. Sementara aku dan Fatih hanya tersenyum.

Dari sinilah aku mulai memahami, ternyata Tuhan memang maha bijaksana. Selalu ada hikmah dibalik setiap peristiwa. Aku benar-benar sudah mengalaminya dan merasakannya secara langsung. Inilah nikmat terbesar yang diberikan Tuhan kepada manusia. Hikmah, yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang mengakui dan menyadari akan kekuasaan-Nya.
Saat itu hari menjelang magrib, aku minta dibukakan jendela agar bisa menerawang langit yang mulai memerah. Suara adzan mulai terdengar lirih, mungkin dari sebuah masjid yang sangat jauh letaknya dari sini.
Meski badanku masih terasa lemah dan belum bisa berdiri, aku ingin kembali sholat meski dengan posisi duduk. Justru dalam keadaan seperti ini aku merasakan nikmatnya beribadah.
Ibu, adik, Sekar dan Fatih selalu setia menemaniku secara bergantian. Mereka terpaksa harus tidur di sofa untuk menjagaku.
“Bu.....ayah mana?” Tiba-tiba aku menanyakan ayah. Ingin rasanya aku meminta maaf kepadanya karena kata-kataku yang mungkin terlalu berlebihan.
Ibu terlihat tampak sedih, kemudian air matanya kembali jatuh.
“Ayah........di rumah, Dwi. Ibu sudah mengajaknya kesini, tapi tetap tidak mau. Tapi ayahmu berpesan kepada Ibu agar menjagamu sampai sembuh. Kamu jangan bersedih ya nak? Ayah sudah memaafkanmu kok!”
Mendengar penjelasan ibu, mataku langsung berkaca-kaca dan air mataku pun turut merembes membasahi bantalku. Sejenak kemudian aku meminta ibu untuk mengambilkanku sebuah kertas kosong, aku ingin menulis surat kepada ayah.


Kepada Ayah yang selalu kuhormati

Assalamualaikum Wr.Wb
Ayah,
Seandainya saja engkau ada di sini, mungkin aku tak akan sanggup untuk memandang wajahmu. Perasaan bersalahku kepadamu tentu akan membuatku tak berdaya dihadapanmu. Kemarahan ayah waktu itu cukup membuat hatiku terasa sangat pedih. Entah kenapa aku bisa berani sekali melontarkan kata-kata yang mungkin sangat menyinggung perasaan ayah saat itu. Padahal sebenarnya, saat itu aku hanya ingin diam saja mendengar penjelasan ayah, namun ternyata hati kecilku berkata lain. Apalagi emosiku tak mampu lagi untuk kubendung.
Sejak peristiwa itu, aku tak pernah berhenti memikirkan kata-kata yang pernah ayah ucapkan kepadaku. Ternyata benar, bagaimanapun kenyataannya aku hanyalah seorang anak muda yang merasa sombong atas ilmu yang kumiliki. Yang ada di otakku hanyalah berdebat dan berdebat untuk menunjukkan keberadaanku. Aku hanya ingin dihargai sebagai seorang anak yang juga punya pendapat dan pandangan hidup sendiri.
Selama ini aku selalu menganggap ayah adalah seorang yang angkuh dan tak pernah mau memahami keinginan anaknya yang ingin berdiri sendiri. Namun kesulitan, penderitaan hidup dan kesunyian malam di kamar pengapku ternyata cukup untuk menyadarkan aku bahwa selama ini akulah orang yang angkuh itu. Aku bukanlah siapa-siapa tanpa keluargaku. Sungguh aku merasa sangat berdosa sekali kepada ayah.
Ayah,
Aku sudah memutuskan untuk berpisah dengan Mitha. Dan asal ayah tahu bahwa yang menyuruh aku untuk memutuskan dia adalah Mitha sendiri. Meski menyakitkan bagiku, terpaksa harus kami lakukan hanya untuk menuruti nasehat ayah. Kini cobalah ayah mengerti aku, biarlah aku membuktikan kepada ayah bahwa aku bisa mewujudkan cita-cita besarku sebagai seorang seniman hebat meski aku terpaksa meninggalkan kuliahku.
Ayah,
Dengan setulus hati, aku ingin minta maaf yang sedalam-dalamnya kepada ayah. Kini biarkanlah aku memilih hidupku sendiri. Aku hanya ingin jadi seorang seniman. Itu saja tak lebih. Mudah-mudahan jika Allah SWT mengijinkan, aku bisa menunjukkan keberhasilanku kelak kepada ayah. Percayalah ayah, engkau masih tetap ayahku yang akan selalu kuhormati sampai kapanpun.
Semoga Allah memanjangkan umur kita berdua agar kita bisa bertemu kembali. Kuharap ayah juga berpikir demikian.
Akhirnya, memang terkadang kita harus mengalah pada waktu. Tak selamanya logika mampu menyelesaikan setiap permasalahan dalam hidup ini.
Demikian surat sederhana dari aku, semoga bisa sedikit melegakan hati ayah.



Anak “nakal” Ayah
Dwipa








Hari demi hari ku lalui dengan perasaan sangat bahagia, aku semakin pulih dan merasa lebih baik. Aku sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri.
Ibu dan adikku kembali pulang karena harus mengurus ayah. Demikian juga Sekar yang harus bekerja. Sudah seminggu Ia cuti kerja hanya demi aku. Kini hanya tinggal Fatih saja yang masih setia menungguku karena beberapa hari lagi aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.

“Siapa yang memberiku Laptop ini?”Tanyaku tiba-tiba kepada Fatih sambil kubuka dan kunyalakan laptop di pangkuanku.

“Oh..........itu. Agni yang memberikan khusus untukmu. Ia juga menitipkan pesan kepadaku agar kamu cepat sembuh dan segera kembali berkarya. Ia juga meminta maaf karena tidak bisa datang menjengukmu karena harus berangkat ke Nepal. Ia akan mendaki puncak Everest bersama tim Mapalanya”
“Everest...??” Sontak aku terkejut mendengarnya.
“Iya...Everest”
“Wah, hebat dia ya Fat?. Benar-benar perempuan yang tangguh. Aku jadi iri nih....”
Aku merasakan semangat hidupku kembali tumbuh. Tak kusangka ternyata Agni masih mengingatku meski selama ini aku mencoba untuk tak memperdulikannya. Dia memang seorang sahabat sejati, mungkinkah persahabatan antara aku dan Agni ini semurni persahabatanku dengan Fatih? Atau mungkin seperti persahabatanku dengan Mitha?
Aku semakin bingung, di satu sisi aku mencintai Mitha tapi di sisi yang lain aku juga tak bisa menghapus kenanganku saat masih pacaran dengan Agni dulu. Apa mungkin aku mengalami jatuh cinta pada dua wanita?
“Hey...kok ngelamun?”
Tiba-tiba saja Fatih membangunkanku dari lamunan sesaatku.
“Fat.....ngomong-ngomong kamu nggak masuk kerja?” Aku langsung mengalihkan pembicaraan.
“Ha...ha....ha..aku sudah lama di PHK”
“Di PHK..?.......... bagus lah!” Jawabku menyindirnya.
“Sialan kau Dwi...”
“Loh khan itu bagus untuk perkembangan sebuah revolusi? Kalau kau masih ngomong tentang revolusi tapi kenyataannya kau masih bekerja untuk kaum kapitalis,apa nggak lucu tuh?”
“Mmmmm...benar juga sih, ternyata......masih encer juga otakmu kawan”
“Memangnya kenapa kau bisa di PHK?”
“Yaaa......Mungkin pihak perusahaan sudah tidak betah jika harus terus-terusan ku demo. Teman-teman yang mau kuajak berdemo, semuanya di PHK”
“Sialan...............Licik sekali mereka!!”
“Ya........mau bagaimana lagi Dwi? Mereka kan yang punya uang?”
“ Lalu sekarang bagaimana?”
“Sekarang aku sudah jadi wartawan surat kabar...... Dwi, ada orang yang tiba-tiba tertarik pada tulisan-tulisan yang selama ini kusimpan dalam blogku. Kemudian Ia merekrutku sebagai karyawannya. Jadilah aku sebagai wartawan. Ha...ha.....ternyata selalu ada yang lebih baik jika kita selalu memegang idealisme kita ya!”
“Ah......., sudah mulai sombong sekarang kau ya?”
“ha...ha...ha........”
Kami berdua kembali bisa bercanda dan tertawa. Sudah lama aku tak mengalami hal seperti ini.
“Terus........bagaimana ceritanya kamu bisa datang menolongku?”
“Oh...itu. Adikmu datang kerumahku dan menjelaskan semuanya kepadaku. Tentang pertengkaranmu dengan ayahmu. Ia dan ibumu merasa khawatir karena sudah lama kamu tidak menghubungi dan tidak bisa dihubungi. Jadi, setelah mendengar penjelasan dari adikmu, aku memutuskan segera menyusulmu ke Bali. Aku langsung menghubungi teman-temanmu. Eh.....Ternyata......aku sudah menemukan kamu sekarat hampir mati di dalam kamar yang lebih mirip seperi gudang itu”
“Ha....ha......ha........” Kembali kami saling tertawa. Fatih benar-benar seorang sahabat sejati.
Sejenak kemudiam kami saling terdiam dan aku menatap Fatih dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
“Fat........terima kasih banyak ya!”
“Ah....biasa aja lah. Itu sudah jadi tanggung jawabku sebagai seorang teman”.
“Fat, ngomong-ngomong kamar ini apa tidak terlalu mahal? Aku kan cukup lama menginap di sini? Siapa yang membayarnya? Ayahku jelas tidak akan mampu membayar biaya semua ini?”
Mendengar penjelasanku, Fatih hanya tersenyum kepadaku.
“Tenang saja, semuanya sudah dibayar.”
“Sudah dibayar...?”
“Iya.....semuanya sudah dibayar kok!
“Siapa yang membayarnya Fat...?”
”Kamu bener ingin tahu siapa yang akan membayar semua biaya pengobatanmu?”
“Iya Fat, siapa ......?”
Fatih kembali tersenyum

“Mitha.....”

“Mitha..?”
“Iya.......keluarga Mitha yang menanggung semua biaya pengobatanmu. Ibu Mitha kan kepala rumah sakit ini? Mitha juga telah mengirimkan tulisan-tulisanmu kepada penerbit, dan dalam waktu dekat bukumu akan segera terbit. Ia juga telah mengirimkan lukisan-lukisanmu ke sebuah pameran dan rupanya banyak kolektor-kolektor yang tertarik kepada lukisanmu. Kamu akan jadi jutawan.... kawan, kamu akan jadi penulis dan pelukis terkenal ”
Aku benar-benar terkejut mendengar penjelasan Fatih, kemudian kembali aku teringat kepada sosok Mitha yang selama ini coba kulupakan.
“Fat.......sekarang Mitha dimana?” Sautku dengan sangat bersemangat.
Fatih hanya terdiam dan menundukkan kepala.
“Fat,......ayo katakan sekarang Mitha ada dimana?”
Fatih masih terdiam, kemudian memegang pundakku.
“Sebenarnya Mitha yang telah menyuruhku untuk datang ke tempatmu. Ia menghubungi adikmu untuk menanyakan keadaanmu, kemudian adikmu menjelaskan kalau kau sudah lama tak bisa dihubungi. Dan sudah lama ayahmu tak lagi memberikan uang kiriman untukmu. Karena itu Ia langsung menghubungi aku dan menyuruhku agar datang ke tempatmu”
“Jadi........” Aku sangat terkejut dan merasa semakin penasaran.
“Sejak pertama kali kamu masuk rumah sakit, Mitha selalu mendampingimu. Setiap hari Ia selalu bercerita tentang pengalaman kalian selama ini. Meski kau masih belum sadar, tapi Ia yakin kalau kau bisa mendengarnya. Namun, semenjak ibu dan adikmu datang, Ia tak pernah lagi datang ke sini. Ia hanya menitipkan surat kepadaku dan berpesan agar memberikan surat ini kepadamu setelah engkau sembuh.”
Fatih mengeluarkan sebuah surat dari dalam sakunya.
Aku segera mengambil dan membacanya. Saat pertama kali kubuka surat itu, bau wangi seketika menyeruak kedalam hidungku. Parfum yang biasa dipakai Mitha. Aku seakan kembali merasakan kehadirannya.


Untuk laki-laki yang telah banyak merubah hidupku.
Dwipa............
Meskipun awan hendak menutup kisah perjalanan kita, meskipun debu telah menimbun semua kenangan diantara kita. Atau rumpur-rumput kering telah melenyapkan mimpi-mimpi dan harapan kita. Tapi yakinlah aku akan selalu datang sebagai angin yang bertiup dari timur bersama terangnya sinar matahari atau terangnya purnama. Untuk melenyapkan semua kerinduan yang selama ini terpendam.
Perpisahan ternyata bukan jalan yang terbaik untukku. Baru kusadari, ternyata aku mencintaimu. Tunggu aku petualang, karena aku pasti akan datang di hari ulang tahunku, aku ingin merayakan hari ulang tahunku bersamamu untuk merasakan keindahan Ranu Kumbolo, dinginya udara Kali mati, kesunyian Arcopodo dan keheningan puncak Mahameru . Bukankah kau berjanji untuk mengantarkan aku kesana? Tunggu aku Dwipa..........aku pasti akan datang bersamamu di puncak Mahameru untuk mengabadikan kisah kita, seabadi mekarnya bunga-bunga edelweis di atas bukit-bukit tanjakan cinta. Saat itu kau mungkin sudah menjadi “pohon cemara” yang kokoh berdiri di atas pasir puncak keabadian.

Yang selalu mencintaimu,
Sasmitha




Kutatap Fatih dengan mataku yang berkaca-kaca, Ia hanya tersenyum.
“Fat.....Mitha mencintaiku.....!” Teriakku dengan bangga.
Fatih tetap hanya tersenyum kepadaku, kemudian Ia langsung memelukku.
“Berhasil........berhasil Fat, perjuanganku tidak sia-sia”

Di dalam kamar yang penuh dengan bau obat itu, kami berdua tenggelam dalam keharuan dan kebahagiaan. Tiba-tiba tubuhku seperti melayang. Pikiranku terbang tanpa arah, bebas merdeka tanpa beban. Aku ingin segera bangkit dan pergi dari sini, aku ingin cepat-cepat pulang.
Perjuanganku selama ini seperti sudah selesai , meski sebenarnya jalan di depan masih panjang dan penuh dengan tantangan. Aku kembali merasa bersemangat untuk hidup, aku tak ingin mati muda, aku ingin lebih lama hidup karena ternyata dunia ini memang indah dan menyenangkan. Dunia tak seperti yang kupikirkan selama ini, dunia tak seperti yang orang-orang katakan kepadaku, dunia hanyalah sejuta misteri yang menunggu untuk terpecahkan. Bukan dia atau mereka yang memecahkannya, tapi aku, kau dan kalianlah yang harus memecahkannya sendiri. Hari itu adalah hari paling indah dalam hidupku.




PENANTIAN



Kawan,
Lembaran ini adalah lompatan dari catatanku, karena cukup lama aku melupakan buku yang selalu setia menemaniku. Aku benar-benar melupakannya, sampai keadaan kembali menyeretku untuk kembali membuka dan mengisi lembaran-lembaran kosong dalam buku lamaku ini.
Saat kutiup debu yang memenuhi covernya, kubuka lembaran yang kosong dan kembali ku mulai menulisnya. Aku sudah memasuki babak baru dalam kehidupanku. Kau mungkin tak akan percaya, ternyata mimpi itu bisa menjadi nyata. Aku sendiri sulit untuk menjelaskan bagaimana mimpi itu bisa menjadi nyata. Itu adalah salah satu misteri kehidupan. Salah satu kuncinya hanyalah waktu.
Adzan subuh berkumandang. Suaranya membangunkan aku yang baru beberapa saat tertidur lelap. Tanganku masih menggenggam kuas. Rupanya aku tertidur setelah semalaman penuh melukis.
Aku segera bangkit dan mengambil air wudlu untuk segera shalat subuh. Udara terasa sangat dingin. Kulihat kabut di luar begitu tebal. Sementara langit di ufuk timur masih gelap meski sorot sinar yang memerah mulai tampak terlihat samar-samar. Pemandangan seperti ini seakan sudah biasa kusaksikan setiap hari. Tapi aku merasa tak bosan untuk mengalaminya.
Aku segera menuruni tangga, menuju kamar mandi. Setelah mengambil air wudlu aku segera pergi ke masjid yang berada tepat di samping rumah.
Ke luar rumah. Udara dingin benar-benar sangat terasa, kabut tebal cukup menghalangi pandanganku.
Usai shalat subuh aku berjalan-jalan sebentar sekedar menghirup udara segar, kemudian segera kembali ke rumah untuk duduk-duduk santai di teras rumah sambil mengamati orang-orang yang mulai sibuk bekerja.
“Ini Den kopinya....”Sapa Bu Romlah yang setiap hari selalu melayani segala kebutuhanku.
Aku duduk santai di teras rumah sambil menikmati sebatang rokok kretek. Entah kenapa aku mulai lagi merokok, mungkin karena aku tak tahan dengan udara di sini yang sangat dingin. Beberapa saat kemudian pak Somat menghampiriku sambil membawakan sebuah koran yang baru saja datang.
Matahari sudah sedikit meninggi, tapi udara masih terasa dingin. Setelah selesai membaca koran, aku kembali naik ke atas studioku untuk mengamati hasil lukisanku semalam, setelah kurasa sudah tak ada lagi kekurangan, aku segera menyalakan laptop pemberian Agni. Kali ini aku hendak melanjutkan tulisan-tulisanku dan biasanya baru selesai hingga nanti menjelang siang.
“Den....Den..........!!” Suara bu Romlah mengejutkanku. Aku membuka pintu studio dan melongok kebawah.
“Ada apa Bu....?”
“Maaf Den...Hpnya Den Dwipa bunyi terus....”
“Oh.......Sebentar Bu...” Sautku sambil bergegas menuruni tangga.
Kulihat Hpku masih bergetar,ternyata telpon dari Mr. Smith di Paris.
“Hello...........”
“Mr. Dwipa...”
“Yes Mr. Smith. How are you?”
“Fine..thank you. I just tell you that your painting was sold 15.000 dollar last night ......Mr. Dwipa”
“Oh ya......? great. I know that you can do it”
“Oh..thank you. About the payment you can check to your saving account. I have transfered to your account.”
.................................................................
“Thanks Mr.Smith..” I am glad to have bussines with you.”
“Your welcome. See you”
“See you too”
Kuletakkan Hp di atas meja dan kutatap langit dengan penuh rasa syukur.
“Alhamdulillah.....Ya Allah “Bisikku dalam hati.
Ternyata kalau Allah sudah membukakan pintu rezeki untuk hambanya, sungguh rezeki datang dengan mudah dari arah yang tak disangka-sangka. Ternyata kerja kerasku selama ini tidak sia-sia, aku mulai merasakan hasilnya.
Mr. Smith yang membantuku memamerkan lukisanku di kota Paris, tiba-tiba saja memberikan kabar gembira bahwa lukisanku terjual dengan harga yang sangat fantastis untuk ukuran seorang pelukis muda sepertiku. Aku memang tidak sempat ikut ke Paris karena masih harus menyelesaikan lukisan terbaruku. Sebulan yang lalu Mr. Smith berkunjung ke rumahku, Ia nampak sangat tertarik pada lukisan-lukisanku dan ia menawarkanku berpameran di Paris, Ia seorang kurator Perancis yang gemar sekali mengunjungi Indonesia. Agni yang mengenalkannya kepadaku, katanya Agni kenal Mr. Smith saat Ia mendaki ke Everest. Mereka bertemu di sana dan melakukan pendakian bersama-sama. Rupanya Mr. Smith yang botak dan berjanggut putih lebat itu, selain sebagai seorang kurator seni juga seorang pendaki gunung sejati.
Aku merasa bahagia sekali dengan hidupku saat ini. Menjadi pelukis sekaligus penulis muda yang mungkin bisa dikatakan sukses terlalu cepat. Sungguh tak pernah kubayangkan sebelumnya. Sudah hampir satu tahun aku menjalani hidup sebagai pelukis dan penulis, tak pernah ku merasa bosan ataupun jenuh. Mungkin karena aku melakukan sesuatu yang memang aku sukai. Hampir setiap hari aku melukis dan menulis. Di kota kecil yang sangat nyaman ini, aku menjalani kehidupan baru yang sangat menyenangkan. Tenang, sejuk dan suasananya benar-benar membuatku nyaman untuk berkarya. Masyarakatnyapun begitu ramah dan cukup menghargai orang-orang sepertiku.
Sudah hampir satu tahun aku hidup di kota Batu-Malang. Kota kecil yang banyak dihuni pelukis-pelukis hebat. Aku senang sekali menjadi bagian di dalamnya. Dari hasil melukis dan menulis buku, akhirnya aku bisa membeli tanah dan membangun sebuah rumah sederhana di tempat yang sejuk ini. Aku tinggal dengan pak Somat dan Bu Romlah, pembantuku yang sudah kuanggap sebagai ayah dan ibuku sendiri. Sebulan sekali ibu, adik dan ayahku datang ke sini sekedar untuk menjengukku. Begitu juga dengan Fatih. Sementara Agni baru tiga kali datang ke rumahku. Begitulah aku lebih memilih untuk menyendiri, agar aku bisa dengan leluasa berkarya setiap hari.
Hampir setiap hari rumahku selalu kedatangan tamu yang membuatku menjadi sedikit sibuk. Baik rekan-rekan sesama seniman atau penulis, kurator, kolektor, sampai wartawan. Mereka semua datang ada yang sekedar ingin ngobrol, bertukar pikiran, wawancara atau membeli lukisan-lukisanku.
Aku memborong tanah di desaku. Juragan Karmin bangkrut karena tidak bisa mengelola kekayaannya dengan bijak, Ia menjual semua tanahnya kepadaku. Sebagian tanah yang kumiliki kuhibahkan kepada beberapa orang di desaku yang benar-benar miskin dan membutuhkan tanah untuk bertani. Sebagiannya lagi kupakai untuk lahan peternakan sapi, kambing dan unggas. Semuanya dikelola secara gotong royong dan hasilnya dibagi sama rata. Aku juga memberi mereka secara cuma-cuma bibit , pakan ternak, pupuk serta obat-obatan pertanian yang selama ini tak mampu mereka beli. Sama sekali aku tidak meminta keuntungan, tapi mereka selalu memberikan sebagian hasil pertanian dan peternakan kepada keluargaku. Aku baru menyadari ternyata inti dari kebahagiaan hidup itu adalah memberi. Melihat senyum kebahagiaan dari orang yang kita beri itu rasanya sungguh tak mampu untuk kujelaskan dengan apapun. Senang sekali akhirnya aku bisa berbuat sesuatu untuk orang-orang yang tertindas seperti petani-petani miskin di desaku. Kini di desaku sudah tidak ada lagi yang bekerja sebagai buruh tani, mereka semua sudah memiliki tanah sendiri untuk bertani. Aku juga mendirikan sekolah alam bagi mereka yang kurang mampu. Desaku pun menjadi semakin maju dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai desa percontohan.
Aku benar-benar merasa hidupku jauh lebih berarti karena berguna bagi orang lain.
Di sela-sela kesibukanku, aku tak pernah berhenti mendaki gunung, karena mendaki gunung sudah kuanggap sebagai kebutuhan hidupku. Meskipun aku harus mendaki sendirian.
Karena aku sudah memiliki cukup uang, maka aku semakin giat juga berpetualang. Gunung-gunung yang selama ini ingin ku daki akhirnya mampu kudaki juga. Dalam beberapa bulan terakhir, aku sudah mendaki beberapa gunung yang belum pernah kudaki diantaranya Gunung Arjuna-Welirang, Penanggungan, Raung, Kawi, Lawu, Merapi, Merbabu, Selamet, Sundoro, Sumbing. Bahkan ketika aku sedang Pameran di Bandung, aku sempatkan pula untuk mendaki beberapa gunung di Jawa barat seperti Gunung Gede-Pangrango, Ceremai, Salak, Cikurai, Guntur,dan Papandayan. Beberapa bulan yang lalu aku baru saja mendaki Gunung Talang dan Kerinci bersama dengan Fatih. Ya.........ternyata semangat bertualangku masih terlalu kuat untuk dibendung.
Aku benar-benar merasa sangat beruntung sekali bisa menjalani hidup seperti ini. Hidup yang aneh mungkin bagi kebanyakan orang. Aku menjalani hidup yang tak biasa. Aku gagal menyelesaikan kuliah, aku juga tidak bekerja di kantoran atau sebagai PNS yang di idam-idamkan orang, hanya melukis dan menulis buku setiap hari. Tak pernah berhenti berpetualang, dan aku merasa tidak bekerja keras seperti kebanyakan orang. Aku hanya bekerja santai setiap hari. Bahkan seringkali aku hanya duduk-duduk di terminal atau di pasar untuk sekedar mencari inspirasi.
Aku berteman dengan semua orang, selain rekan sesama seniman atau penulis, aku juga senang berteman dengan para pedagang kecil di pasar dan terminal, tukang parkir, pengamen, polisi, satpam, satpol PP, sampai para preman sekalipun. Aku merasa dari merekalah sebenarnya segala inspirasi dalam berkarya itu muncul.
Semua yang kuraih ini, kusadari bukanlah hasil dari kerja kerasku, tapi ini semua adalah karunia Tuhan yang harus aku syukuri. Aku merasa tak pernah bekerja keras, yang aku lakukan selama ini hanya menumpahkan segala pikiran dan pengalamanku ke dalam karya, baik lukisan maupun tulisan. Namun aku juga merasa sangat berhutang budi pada Mitha yang benar-benar berjasa bagiku. Sampai detik ini, aku tak pernah melupakannya.
Sudah hampir satu tahun aku menunggunya di kota kecil ini. Rasa rinduku benar-benar semakin memuncak. Tak ada lagi yang bisa kulakukan, selain hanya menunggunya dengan sabar. Karena aku sudah berjanji tidak akan menemuinya lagi kecuali Ia yang menemuiku.
Itulah janji yang pernah kuucapkan kepada Mitha di atas kapal, sesaat sebelum kapal bersandar di pelabuhan Gilimanuk. Aku merasa sangat yakin bahwa Ia pasti akan datang sesuai dengan janjinya, karena aku sangat mengenal Mitha, Ia tidak akan mengingkari janjinya.

******************************



Kembali ku berada di dalam studio tempatku bekerja, melukis dan menulis. Siang hari kupakai untuk menulis, sedang malam hari ku pakai untuk melukis. Studioku adalah tempat yang paling menyenangkan bagiku.
Dari dalam sini aku bisa memandang lepas, melihat pemandangan yang sangat indah. Karena studioku berada di atas rumah, atapnya sengaja kubuat dari daun lontar, dindingnya kubuat dari bambu dan dipenuhi dengan jendela kaca yang membuatku bisa memandang lepas. Sungguh tempat yang menyenangkan untuk berkarya. Dari sini aku bisa melihat gunung Arjuna, gunung Kawi, dan Gunung Panderman yang terlihat begitu dekat. Begitu juga gunung Semeru yang mengepulkan asap setiap pagi, bisa kulihat dari dalam studioku yang nyaman ini. Tapi tak semua orang kuijinkan masuk ke dalam studioku, kecuali orang-orang terdekatku saja.
Hari-hariku lebih banyak kuhabiskan di dalam studioku. Inilah hidupku, dan aku sangat senang sekali menjalaninya.
Namun, dibalik ini semua. Sebenarnya aku merasa sangat kesepian. Aku seperti terasing dalam menjalani hidupku. Meski hampir setiap hari aku selalu kedatangan tamu, tapi aku tetap merasakan kesepian yang menyakitkan. Mungkinkah memang begini jalan hidup seorang seniman? Selalu merasa kesepian dan terasing dalam hidupnya, merasa asing terhadap hidup, orang lain, bahkan pada dirinya sendiri.
Hari demi hari kujalanai hidup seperti ini. Tanpa kusadari aku sudah menghasilkan beberapa karya-karya besar yang membuatku semakin menjadi bahan perbincangan para kurator dan kritikus-kritikus seni. Lukisan-lukisanku semakin banyak diburu para kolektor, begitu juga dengan buku-buku tulisanku semakin laris terjual.
Semua itu biasa saja bagiku, karena aku melakukannya bukan dengan bekerja mati-matian sampai lupa waktu, tapi aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan, bersantai dan merenung di dalam studioku setiap hari. Kalau menurut buku yang pernah kubaca, mungkin aku termasuk orang yang bekerja secara efektif dan tidak suka bekerja keras. Memang terbukti jauh lebih baik bagiku jika bekerja secara efektif dengan waktu yang lebih sedikit dan pikiran yang segar, daripada harus bekerja terlalu keras dengan waktu yang terlalu banyak tapi pikiran kacau dan stres.
Bekerja secara efektif, yakni bekerja secukupnya saja ketika pikiran masih sehat dan segar justru akan jauh lebih bermanfaat. Semangat, konsentrasi dan daya kreatifitas akan selalu terjaga. Dan itu semua sudah kubuktikan sendiri dalam hidupku.
Pagi, siang, sore dan malam, kulewati hari-hariku yang sepi. Aku semakin merasa kekosongan dalam hidup ini. Hanya setiap kali shalat saja aku merasakan kedamaian dalam hidupku. Sempat kutanyakan apa yang kurasakan ini kepada Fatih, tapi Ia justru tertawa kepadaku dan hanya mengatakan “Ha...ha...ha.........kamu butuh Cinta......kawan!”
Mungkin ada benarnya juga kata-kata Fatih itu, aku memang butuh cinta dari seorang wanita. Dan tiba-tiba saja pikiranku kembali teringat pada sosok Mitha yang telah lama kunantikan. Kerinduan yang kupendam selama ini seakan tumbuh dan kini hendak berkembang dan berbuah.
Sudah hampir satu tahun berlalu, penantianku tak berujung juga. Sudah memasuki bulan Juni, sebentar lagi adalah musim pendakian gunung Semeru. Dan sebentar lagi adalah hari ulang tahun Mitha. Mungkinkah Mitha akan datang? Ah.......perasaaku menjadi semakin kacau, Hari-hariku semakin terasa panjang. Hidupku seakan kembali terisi, meski beban kerinduan masih membayangi setiap saat.
Setelah kuselesaikan lukisan dan buku terakhirku tentang kisah penantianku selama ini, Aku mulai menyiapkan perlengkapan mendaki gunungku. Semua perlengkapan kusiapkan dengan penuh semangat. Pendakian ke puncak Mahameru kali ini akan terasa sangat istimewa bagiku. Aku akan mendaki puncak Mahameru bersama orang yang aku cintai dan ini akan menjadi Pendakian terakhirku juga. Inilah saat yang tepat untuk memenuhi janjiku, janji yang pernah kuucapkan kepada Fatih dan Agni. Pendakianku ke puncak Mahameru akan menjadi pendakian terakhirku, karena setelah aku mendaki puncak Mahameru, aku akan berhenti untuk mendaki gunung. Itulah janji yang kuucapkan untuk menghormati kakakku yang tewas di puncak Mahameru. Dan aku tidak akan melihat batu peringatan “In Memoriam” milik kakakku untuk yang ketiga kalinya.
Akhirnya, tepat di hari ulang tahun Mitha. Pagi-pagi benar aku sudah menyiapkan semua perlengkapan dan perbekalan. Aku tak sabar ingin segera bertemu dengan Mitha. Dengan perasaan sangat bahagia juga penasaran, aku pacu mobilku cepat-cepat menuju desa Ranu pane. Sesungguhnya aku ingin mengajak Fatih dan Agni untuk menemaniku, tapi entahlah kali ini aku hanya ingin mendaki berdua saja dengan Mitha. Sungguh hari ini adalah hari yang sangat istimewa sekali, pendakian ini juga pendakian yang sangat istimewa sekali bagiku. Aku merasa hidupku jauh lebih berarti dan berisi, karena tak kurasakan lagi kesepian yang selalu membebaniku setiap hari. Dengan penuh semangat, aku lalui jalan-jalan berliku dan tanjakan-tanjakan terjal. Aku semakin tak sabar ingin segera bertemu dengan Mitha.
Hanya beberapa jam kemudian, aku sudah sampai di desa Gubuk Klakah, hawa dingin sudah sangat terasa. Aku berhenti sejenak di ‘Bantengan’. Di sini adalah tempat favoritku, karena dari sini terhampar pemandangan ‘Ider-ider’ yang sangat khas dengan tebing-tebing dan padang pasir yang sangat luas. Hanya sebentar aku berhenti, kemudian kulanjutkan lagi perjalanan, dan hanya beberapa saat kemudian akhirnya aku sampai juga di desa Ranu Pane. Desa kecil yang sejuk, hijau dengan sawah dan hutan yang masih alami.
Di pos pendakian, rupanya sudah ada banyak para pendaki yang bersiap berangkat mendaki. Aku amati satu persatu dari mereka, tapi tak kutemui sosok Mitha. Sambil duduk santai dan menikmati sebatang rokok kretek di depan warung, aku menunggu dengan perasaan cemas. Tiba-tiba saja aku merasa takut jika ternyata Mitha tidak datang.
Tiga batang sudah aku menghabiskan rokok kretekku, empat dengan yang kuhisap.
Banyak pendaki yang datang dan pergi, tapi tak juga kujumpai Mitha. Kabut mulai turun, menyelimuti bukit-bukit dan menghalangi sinar matahari yang kian meninggi. Udara semakin terasa dingin. Aku masuk ke dalam warung untuk minum kopi. Aku hanya duduk sendiri sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok.

“Kamu merokok lagi...?”

Tiba-tiba suara wanita mengejutkanku, aku langsung menoleh.
“Mitha...?”
Aku benar-benar seperti terpasung ketika melihat sosok yang tiba-tiba berdiri di depanku, ternyata benar sosok itu adalah Mitha.
Mitha hanya tersenyum kepadaku. Senyuman yang sudah lama sekali tak kulihat.
Aku segera berdiri dan kupeluk tubuhnya. Bebanku selama ini tiba-tiba saja seakan pergi dan menghilang. Aku tak mempedulikan orang-orang di sekitarku yang saat itu hanya diam dan terheran-heran melihatku.
Dia masih Mitha yang kukenal dulu, tak ada yang berubah dari dirinya. Semuanya masih tetap sama, hanya saja kulitnya yang terlihat semakin putih. Segera saja kami berdua melepaskan segala kerinduan yang selama ini tertahan, kami segera bercerita panjang lebar tentang pengalaman-pengalaman kami selama ini. Aku menceritakan pengalamanku mendaki beberapa gunung dan seputar kegiatan melukis dan menulisku, demikian juga Mitha yang kini sudah menjadi seorang sarjana.
“Kau sudah menjadi penulis dan pelukis terkenal ya.......sekarang?”
“Ah.......semua itu kan karena kamu Mit, terima kasih banyak ya! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa membalas kebaikanmu”
Kami berdua tiba-tiba saja kembali menjadi sangat akrab seperti waktu dulu lagi.
Setelah puas melepas kerinduan, aku segera melapor Ke pos perijinan dan segera melanjutkan perjalanan mendaki gunung Semeru.
Kami mendaki bersama rombongan pendaki dari Jakarta, hanya untuk mengelabuhi petugas karena ijin minimal pendakian harus tiga orang.
Pendakian terakhirku ini, benar-benar pendakian yang sangat berkesan dan akan selalu kuingat sepanjang umurku. Sayang Fatih dan Agni tidak ada di sini, aku merasa menyesal tidak mengajak mereka. Tapi meski begitu, aku merasa sangat bahagia sekali akhirnya bisa bertemu lagi dengan Mitha.
Aku seakan tidak peduli lagi meski mungkin ayah belum merestui hubunganku dengan Mitha. Bagiku semua itu pasti akan sanggup kuatasi seiring berjalannya waktu. Karena cinta itu memang butuh waktu dan pengorbanan.
Bisa kembali bertemu dengan Mitha, bagiku sudah lebih dari cukup.
Ingin rasanya segera kuceritakan semua ini kepada Fatih dan Agni, karena pasti Ia akan sangat senang sekali melihat aku bisa bersama lagi dengan Mitha.
Sepanjang perjalanan melewati akar-akar pohon yang menaungi jalan setapak, aku tak pernah melepaskan pegangan tanganku dari Mitha. Aku seperti tak ingin lagi berpisah dengannya. Sudah terlalu lama aku menantikannya, dan tak mungkin kulepaskan lagi Ia begitu saja.
Aku sangat bersyukur sekali karena masih diberi kesempatan untuk merasakan indahnya matahari terbit dari celah bukit Ranu Kumbolo, keramatnya pos Kali Mati, Bekunya Arco Podo dan kemegahan puncak Mahameru bersama orang yang aku cintai.
Di kedamaian Ranu Kumbolo, di bawah bintang-bintang yang tersebar merata dan angin malam yang membekukan tubuh. Akhirnya aku mengungkapkan perasaanku kepada Mitha.
Ternyata Tuhan benar-benar akan melimpahkan rahmatnya kepada setiap orang yang bersabar. Aku sudah membuktikannya. Sungguh rahmat yang diberikan Tuhan melebihi dari apa yang diminta.


************************************


SURAT-SURAT



Untuk sahabatku Fatih

Malam ini aku ingin menulis sesuatu, tapi tak tahu kepada siapa harus kutujukan. Tiba-tiba saja aku teringat kepadamu dan kuputuskan untuk menulis sebuah surat untukmu.
Adakalanya kita harus tertawa, ada kalanya kita harus menangis. Adakalanya kita bahagia dan adakalanya kita harus bersedih Tak satupun manusia yang bisa memilih kapan saat menangis dan kapan saat tertawa, karena itu...................baik menangis ataupun tertawa adalah satu kesempatan mahal yang tidak boleh kita lewatkan. Sebab, itulah yang membuat kita terlahir sebagai manusia. Biarkan saja mata berkaca-kaca dan luapkan saja rasa bahagia, tak perlu menahannya karena pasti akan tersiksa.
Rasa bahagia dan sedih adalah bahan untuk renungan, betapa singkatnya segala sesuatu di dunia ini. Baru saja semua tertawa bahagia, tiba-tiba kesedihan datang saat mereka pergi dan kita kembali sendiri. Seolah terbuang dan dicampakkan. Beberapa detik yang lalu, ada orang bahagia mendengar kabar anaknya baru lahir. Beberapa detik kemudian, orang itu menangis mendengar kabar, istrinya telah meninggal.
Terkadang hidup ini harus jujur apa adanya, ada saat ketika kita harus kuat dan tegar, tetapi ada saat ketika kita harus pasrah dan mengalah, ada saat kita harus berani, ada pula saat ketika kita harus takut. Jika kita tak pernah merasa takut, maka celakalah diri ini. Rasa takut itu penting, karena rasa takut terkadang menjadi penyelamat kita. Rasa berani juga penting, tetapi berani yang berlebihan justru akan mencelakakan kita.
Bayangkan jika kita tak pernah merasakan sedih, maka kita tidak akan bisa merasakan nikmatnya rasa bahagia.
Sedih dan bahagia, hanyalah warna kehidupan. Bisa saja sebagai anugerah, bisa juga sebagai ujian, atau sebagai balasan atas apa yang telah kita lakukan..........................................................

Salam Revolusi,
Dwipa




Untuk sahabatku Fatih

Hari ini aku mengalami hari yang sangat buruk, aku dikeluarkan oleh dosenku dari kelas dan langsung dianggap tidak lulus hanya karena memprotesnya. Aku mengatakan kepadanya begini, “Anda selalu datang terlambat, kuliah yang anda berikan sangat tak bermutu, penjelasan anda itu sudah ada dalam buku yang saya pegang, pendapat anda hampir semuanya adalah pendapat orang lain, anda itu hanya ilmuwan imitasi, bangga dengan teori-teori orang lain. Padahal semua orang kan bisa berteori sendiri?Kalau gaya mengajar anda seperti ini, saya juga bisa menjadi dosen. Tinggal datang ke kampus, mengabsen, memberi sedikit teori, kemudian memberi tugas lalu pulang”
Karena dianggap telah melecehkannya, aku langsung dikeluarkan dari kelas dan Ia mengancam tidak akan meluluskanku dari mata kuliah yang Ia bimbing. Tentu saja aku lebih memilih keluar kelas daripada mengikuti kuliah yang tidak bermutu itu. Mungkin sikapku itu sudah keterlaluan kepadanya, tapi itu semua adalah buntut dari kejengkelanku selama ini kepadanya yang selalu datang terlambat, mengajar hanya sebentar dan memberi tugas yang sangat banyak dengan waktu yang sangat sedikit. Apa dia tak pernah berpikir kalau mahasiswa itu sudah sangat terbebani oleh tugas-tugas yangjuga tak kalah banyaknya dari dosen-dosen lainnya. Aku merasa, harus ada satu orang yang berani memprotesnya.
Setelah kejadian itu perasaanku sangat lega, tapi kejengkelanku kepadanya masih belum pudar. Apalagi masih banyak dosen-dosen yang seperti dia bahkan lebih buruk lagi. Ada yang sudah pikun karena sudah terlalu tua untuk mengajar tapi tak mau pensiun hanya karena ingin diberi gelar sebagai guru besar. Ada yang sikapnya sangat sombong karena lulusan dari universitas luar negeri, ada juga yang gaya mengajarnya sangat diktator seperti sedang mengajar murid-murid SD saja ditambah pelit kalau memberi nilai. Yang paling brengsek, ada salah satu dosenku yang sukanya memberi nilai A asal ada imbal baliknya, terkadang meminta sejumlah uang kepada mahasiswanya dan meminta untuk “dilayani” kepada mahasiswinya. Sialan bener kan..?
Tapi juga ada dosen yang sangat ku idolakan karena dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaannya, beliau selalu datang tepat waktu, ramah, tidak sombong, mau menghargai mahasiswanya dan mengakui kalau beliau berbuat kesalahan. Beliau adalah orang yang angat cerdas, dalam waktu singkat beliau bisa menghapal nama masing-masing mahasiswanya. Dan itu sangat berkesan sekali bagiku karena beliau tidak ingin mengajar apabila belum mengenal siapa yang diajarnya.
Fat, hari ini adalah hari terburukku. Aku masih ingin bercerita banyak kepadamu tapi tidak mungkin bisa kutuliskan semunya dalam surat ini. Aku ingin cepat-cepat bekerja dan menghasilkan uang sepertimu tapi aku tidak bisa, aku masih terjebak dalam belenggu kampus busuk ini.
Terus berjuang kawan, lawan semua kebusukan!

Salam Revolusi, Dwipa









Kepada Fatih

Kawan hari ini aku kembali merasakan kebusukan di dalam kampusku.. Kali ini adalah perpustakaan kampus.
Perpustakaan lengkap katanya. Aturan untuk masuk macam-macam, dari harus pakai sepatu, pakai pakaian berkerah, menunjukkan kartu mahasiswa, melepas topi, melepas tas dan jaket. Seperti mau masuk toko swalayan saja. Memangnya mahasiswa yang pergi ke perpustakaan itu kaum-kaum pencuri? Sepertinya aku bukan masuk perpustakaan yang ramah menyambut setiap pembacanya, tapi masuk laboratorium steril yang dipenuhi penjagaan ketat. Setelah masuk, harus mencari buku yang akan dibaca melalui komputer, tapi setelah ketemu ternyata saat dicari tidak ada. Akhirnya kuputuskan membaca buku-buku yang ada, setelah kubaca ternyata aku tidak mengerti, bahasanya serba ilmiah dan berbelit-belit, tidak jelas sama sekali maksud penulisnya, mungkin penulisnya hanya mengejar halaman saja, semakin banyak halaman semakin banyak pula uang yang akan diterima. Sialnya lagi............ketika mau meminjam buku, petugasnya galak sekali, seperti anjing yang tak pernah diberi makan. Selalu memandang seolah-olah mahasiswa orang-orang bodoh yang harus dikerjai atau dipermainkan. Apalagi kalau tahu bahwa korbannya adalah mahasiswa semester pertama. Habislah dia.................!!
.....................................Lucunya lagi, ketika aku masuk ruangan yang khusus menyimpan skripsi dan thesis. Petugasnya langsung menanyaiku dengan sadis, mau cari apa mas? Langsung saja kujawab dengan polos, nggak nyari apa-apa, cuma mau membaca-baca skripsi. Loh anda harus tahu dulu judul atau penulisnya sebelum masuk sini. Aku hanya diam, kemudian keluar.
Lucu..........mau menambah pengetahuan kok harus tahu judul atau pengarangnya. Bukankah hasil penelitian itu gunanya untuk diketahui orang lain?harusnya mudah dibaca agar bisa diketahui banyak orang. Eh...ternyata justru dengan rapi tersimpan dan seolah-olah buku-buku itu sangat sakral, tak boleh sembarangan orang membacanya. Kenyataannya, mereka yang membaca skripsi bukan ingin tahu tentang hasil penelitiannya, tapi mencari skripsi sebagai bahan untuk menyusun skripsinya sendiri. Ada yang ingin mengutipnya, mencontoh penelitiannya tapi mengganti judul atau lokasi penelitiannya saja, padahal yang dibahas dan teori-teori yang dipakai ya itu-itu saja. Ada juga yang menjiplak keseluruhannya.
Lebih baik buku-buku berbahasa aneh itu di museumkan saja atau dibakar jauh lebih baik lagi. Semoga kaum-kaum intelek tidak lagi memberhalakannya...! Dasar peradaban kambing.............sialan.

Salam Revolusi,


Dwipa


















Untuk sahabatku Fatih

Entah kenapa tiba-tiba saja aku kembali teringat kepada Agni, di malam yang sangat menyayat hatiku ini, aku merasakan rasa bersalah karena selama ini coba menepis perasaan cintaku kepadanya. Ternyata benar, tak ada persahabatan sejati antara laki-laki dan perempuan karena salah satunya atau keduanya pasti memendam rasa cinta. Hanya saja tak berani mengungkapkan dan bersembunyi dalam tameng persahabatan.Mungkin kau juga pernah merasakannya.
Sejak Agni memutuskan aku dulu, sungguh aku sudah mencoba untuk membencinya, tapi ternyata sampai saat inipun aku tidak pernah bisa. Aku masih mencintainya. Apalagi tempo hari Ia tiba-tiba saja datang kerumahku, tentu saja itu semakin menyiksa perasaanku. Mungkinkah Agni masih mencintaiku? Kau mungkin tertawa setelah membaca ini semua. Terserahlah...aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri. Aku tak ingin terjebak dalam kemunafikan, bukankah kita membenci kemunafikan? Ternyata menjadi munafik itu benar-benar menyiksa diri sendiri.
Dwipa
Untuk sahabatku Fatih

Kawan, hari ini aku merasa sangat bahagia sekali. Aku berkenalan dengan seorang gadis yang sangat cantik. Kurasa Ia adalah gadis impianku. Namanya Sasmitha. Kami berkenalan di pantai Sanur, saat itu aku hendak melukis sendiri disana. Tanpa kusadari Ia mengamatiku dan memotret semua gerak-gerikku. Asal kau tahu kami berdua langsung merasa akrab dan cocok. Ia suka sekali fotografi dan saat itu aku memberanikan diri untuk melukisnya. Kau harus melihat lukisanku yang satu ini.
Kawan, aku ingin segera pulang dan menceritakan semua pengalaman baruku ini kepadamu. Aku kembali terjebak dalam persahabatan ,dan persahabatan kami cukup menyenangkan. Aku mengajaknya bertualang naik gunung Agung dan menjelajah pulau Bali. Dalam waktu dekat kami berdua berencana akan ke pulau Lombok dan mendaki ke gunung Rinjani. Ia benar-benar telah merubah hidupku.
Kawan, kau tahu kenapa aku tulis surat ini kepadamu? Aku sedang mengalami sebuah dilema besar. Aku masih mencintai Agni tapi kurasa aku juga mulai mencintai Sasmitha. Mungkinkah kita bisa jatuh cinta pada dua orang sekaligus? Yang jelas aku dan Sasmitha masih belum pacaran, aku tidak berani mengungkapkan perasaanku kepadanya. Ternyata aku hanyalah seorang penakut. Bagiku, Sasmitha adalah sosok perempuan hebat. Ia sangat pandai dalam berpikir maupun dalam bergaul. Ia terlalu sempurna untukku, dan aku takut kalau cintaku ini kemudian bertepuk sebelah tangan.
Kawan, kau bagaimana di sana?apakah juga sedang memgalami dilema sepertiku? Hidup ini memang penuh misteri, salah satunya adalah cinta.
Kalau memang hidup ini hanyalah sebuah permainan yang menipu, kenapa tidak kita mainkan saja permainan itu. Daripada kita harus terus-terusan dipermainkan hidup?


Sahabatmu,
Dwipa








Untuk sahabatku Fatih
Kawan,
Aku sedang menghadapi masalah besar. Kau mungkin tak akan percaya. Aku bertengkar dengan ayahku, Ia benar-benar sangat marah kepadaku. Baru kali ini aku melihat ayahku bisa semarah itu kepadaku. Masalahnya memang sangat penting sekali menurutku, soal akidah agama.
Bisakah kau bayangkan ketika tiba-tiba saja kau harus berpisah dengan orang yang kau cintai hanya karena perbedaan agama. Karena pandangan Ayah aku rasa keliru, maka aku beranikan diri untuk melawannya. Saat itu aku tak bisa menahan emosi hingga tanpa kusadari kata-kataku telah melukai perasaan ayahku.
Aku benar-benar bimbang, antara memilih orang tua atau memilih orang yang sangat kucintai. Tapi ternyata aku terpaksa memilih orang tua dan mengorbankan cintaku. Rasanya sangat pahit kawan, ternyata lagu-lagu cinta yang selama ini kubenci ada benarnya juga. Mungkin si pembuat lagu itu juga pernah mengalami jatuh cinta atau putus cinta.
Kawan, seandainya saja kau ada di sini, mungkin kita akan ngobrol sampai pagi. Membahas masalah ini. Kau benar kawan, cinta adalah racun untuk sebuah gerakan revolusi. Cinta bisa merubah seseorang menjadi lebih baik atau bisa juga menjadi lebih buruk.
Aku tak bisa lagi bersama Sasmitha, kami berdua sepakat untuk berpisah. Ia yang memintaku untuk melupakan dirinya demi kepentinganku. Apa aku bilang, Ia adalah perempuan yang sangat luar biasa. Aku benar-benar merasa sangat kehilangan dirinya. Sangat-sangat kehilangan, sampai aku tak lagi bersemangat menjalani hidup ini.
Kemarin Agni menghubungiku, kami sempat berbicara banyak. Aku juga sempat bercerita tentang Sasmitha kepadanya, Ia menanggapi dengan biasa-biasa saja. Setelah pembicaraan itu aku semakin merasa bimbang. Aku merasa asing dengan diriku sendiri. Siapakah aku sebenarnya, apa yang harus aku lakukan, siapa yang kucintai dan siapa yang harus kupilih. Siapa yang harus kulupakan dan siapa yang harus kumiliki. Mungkinkah aku sudah gila?


Sahabatmu,
Dwipa





Kepada para petualang


BERDIRI DI PUNCAK GUNUNG

Oh langit!
Kau serasa begitu dekat di atas kepala
Bertabur bintang yang semakin tak terhitung
Warnamu tak lagi biru karena bias mataku saling berebut ingin menyaksikan kemegahanmu
Mataku sejenak buta, tergantikan oleh perasaan takjub yang tidak biasa
Oh....awan!
Kau seperti bulu-bulu domba yang terhampar
Putih, hitam dan abu-abu
Kuning, merah dan jingga
Oh...bukit-bukit hijau!
Kau sekumpulan karpet yang terhampar
Selimut bumi yang paling indah
Peradaban...!
Kau hanya seperti noktah-noktah yang tersebar, merayap perlahan mendekati puncak tempatku berdiri
Peradaban!
Ternyata tak ada yang pantas kau sombongkan
Ternyata kau begitu kecil, lemah dan tak berdaya di tengah hamparan kekuasaan tak terbatas ini
Oh...Laut..!
Terlihat begitu tenang dan terasing
Membiru seperti hendak menelan kaki sang cakrawala
Ternyata kau tak terlihat ganas dari sini, kau seperti cermin cembung raksasa
Kakiku......
serasa tersayat pisau, kulitku serasa tertusuk jarum
tulang-tulang ini seperti mau retak dan darah ini seakan hendak membeku
Kakiku........seolah tak ingin segera beranjak
Kakiku menginjak pasir dan batu-batu yang terlalu bisu untuk kuajak berdendang
Batu-batu dan pasir yang tak pernah mengeluh tersengat panas dan dingin
Mereka sepertinya ingin mengajakku bertasbih dalam keheningan
Di sini...di puncak gunung
Siapapun aku
tak akan mampu berkata aku
Siapapun aku
tak pantas berkata
“Aku sudah menaklukkanmu”
Siapapun aku
Pasti hanya bisa pasrah
Karena tanda-tanda yang begitu jelas terhampar,begitu nyata terasa
Di sini......di puncak gunung
Aku ingin abadi




CATATAN TERAKHIR

Pagi hari di puncak Mahameru yang beku, aku mendekap erat tubuh Mitha yang mulai menggigil hebat. Kali ini tak ingin kulepaskan dekapanku. Di sini aku pernah mendekap tubuh kakakku, dan aku menyesal telah melepaskan dekapanku, kini aku tak ingin kehilangan orang yang kucintai untuk kedua kalinya.
Aku mendekap erat tubuh Mitha, semua pendaki sudah turun karena hari semakin siang.
Aku baru tahu ternyata selama ini Mitha seorang pecandu narkoba, kini Ia harus melawan rasa sakit yang hebat “sakau”. Tak ada yang bisa kulakukan selain hanya memeluk tubuhnya erat-erat agar Ia tidak semakin menggigil kedinginan.
Suara dentuman mengejutkanku, tak lama kemudian kepulan asap kembali membumbung tinggi ke atas langit dan perlahan bergerak mendekati kami. Baunya luar biasa menusuk paru-paruku. Rupanya bau seperti ini yang dulu sempat dihirup oleh Soe Hok Gie. Seandainya saja kalian ada di sini kawan-kawanku....!sungguh alam dunia ini hanyalah maya. Aku mulai bisa merasakan alam lain di sana, alam yang penuh dengan kedamaian tanpa perselisihan dan kemunafikan, terhampar begitu megah dan indah.
Aku masih sempat menulis, karena aku rasa ini akan menjadi tulisan terakhirku. Jari-jari tanganku sedikit demi sedikit mulai tak bisa kurasakan lagi.
Kami saling berpelukan, Mitha masih sadar dan menatapku berkali-kali dengan senyuman yang menghangatkan jiwaku meski rasa sakit kian menyiksanya.
Matanya mulai berderai air mata, begitu juga denganku.
Aku membalas senyumnya, kupandangi In memoriam milik kakakku yang berada tepat di sebelah kananku, kemudian kupejamkan mata. Dalam hati ku berbisik.
“Yaa Allah...kali ini aku benar-benar sudah siap......”
Jika memang ini tulisan terakhirku, biarlah ini menjadi pesan terakhir dariku.
Berkaryalah sampai kau tak mampu lagi berkarya......karena hanya karya satu-satunya jejak yang bisa kau tinggalkan setelah kau mati.
Hiduplah untuk orang lain, kau akan hidup lebih dekat dengan Tuhanmu!

DWIPA
Di keheningan Puncak Mahameru



Pukul 06.15, akhirnya aku kembali lagi berdiri di tempat ini. Tempat tertinggi di pulau Jawa.
Angin yang dingin bertiup sangat kencang, suaranya begitu menyayat hati. Matahari perlahan merambat naik dengan sinarnya yang menerpa batu dan pasir serta kulitku. Hanya sinarnya saja, sementara hangatnya sama sekali tak terasa.
Aku sudah selesai membaca buku catatan darinya. Seorang sahabat, atau mungkin lebih tepat jika kusebut saja dia “Semut merah” karena semangatnya yang tak mungkin bisa kukalahkan. Dalam hidup, berjuang dan berkarya. Meski hanya seekor semut yang gemar merayap menjelajahi alam, tapi sebenarnya dia memiliki sengatan yang sangat dahsyat kekuatannya.
Sungguh sangat beruntung sekali engkau sahabat, akhirnya kau bisa hidup abadi bersama cinta sejatimu. Jiwamu akan selalu dekat di dalam jiwaku. Ternyata engkau benar, bahwa tak ada lagi yang bisa dilakukan dalam hidup ini selain berbuat kebaikan dan melakukan sesuatu yang bermanfaat, kapanpun dan di manapun kita berada. Satu-satunya jejak yang bisa kita tinggalkan hanyalah karya yang bernilai.
Pengembaraanmu kini sudah selesai. Petualang yang seniman.........., akhirnya kau temukan juga arti hidup yang sebenarnya.
Di sini, Aku, Sekar dan Fatih berdiri untuk menyapamu. Kami merindukan kehadiranmu dalam hidup ini.
Dalam desiran angin yang beku, kabut yang meluncur menuruni lembah-lembah kesunyian, dan kepulan asap hitam yang membumbung tinggi ke atas singgasana keabadian. Bisa kurasakan hadirmu di sini.
Aku tak akan pernah bisa melupakan sosokmu yang penuh dengan misteri. Hidupmu adalah hidup kami, kau sudah berhasil hidup tidak sia-sia. Jejakmu sudah jauh lebih berarti dari hidupmu sendiri.
Semoga kau bahagia dan abadi bersamanya. Dalam keheningan, dalam kedamaian dan dalam kemegahan. Hingga kau tak lagi merasakan kesepian dan keterasingan. Abadilah kau bersama cinta sejatimu. Dari kami, doa akan selalu mengalir untukmu dan untuknya. Berbahagialah kalian yang mengisi hidup dengan berkarya.
Aku di sini hanya bisa menghadirkan sosokmu dalam angan-anganku saja


Yang masih mencintaimu,



Agni




Tamat


(Terselesaikan tepat menjelang pagi dalam kebekuan “Ranu Kumbolo” akhir 2007 dalam secarik kertas tulisan tangan)





“....Gunung-gunungpun Ia pancangkan, untuk kesenanganmu..........”
(Al Quran Surat An Naazi’aat: 32)



“Allah menjadikan sebagian ciptaanNya sebagai tempat bernaung untukmu, dan menjadikan gunung-gunung sebagai tempat berlindung....”
(Al Quran surat An Nahl: 81)




“Dialah yang membentangkan bumi dan menciptakan gunung-gunung dan sungai-sungai disana. Dia menjadikan semua jenis buah-buahan, masing-masing berpasangan. Dia pulalah yang menutupkan malam pada siang. Sungguh, dalam semua itu terdapat ayat-ayat kebesaranNya bagi kaum yang mau berpikir”
(Al Quran Surat ar Ra’ad: 3)







"Jangan pernah mati tanpa meninggalkan karya"


HIDUP TIDAK AKAN SIA-SIA JIKA KITA HABISKAN UNTUK MENJELAJAHI ALAM CIPTAAN TUHAN INI.
HIDUP HANYA SEKALI, MANFAATKAN UNTUK KEBAHAGIAANMU DAN KEBAHAGIAAN ORANG LAIN. DENGAN SENDIRINYA KAU AKAN MENGENALI SIAPA DIRIMU YANG SEBENARNYA. DAN TUHAN AKAN TERASA BEGITU DEKAT.
JANGAN PERNAH BERHENTI BERTUALANG...!

(KOTETZ)







IWAN "KOTETZ" ERFANTO
Alamat : PERUM ASABRI BLOK A 34 PROBOLINGGO-JATIM
Kode pos: 67213
082337779666
E-mail : iwanerfanto@gmail.com