"Gunung Tarub (KIRI) dan gunung Lamongan (KANAN)"
TENTANG GUNUNG TARUB-LAMONGAN
Gunung Lamongan (Lamongan berasal dari kata “Lamong” bahasa Jawa Kuno menjadi Lamongan, seperti Surabaya menjadi Surabayan, Madura menjadi Maduran, Sawah menjadi Sawahan, Semarang menjadi Semarangan, Tuban menjadi Tubanan dll. Lamong berarti gila, meraban, meracau, gila asmara, tergesa-gesa, tipis, tembus pandang, cepat, (ekstrem kan artinya?) menurut kamus bahasa Jawa. Lamong terdiri dari dua suku kata, yaitu “la” dan “among” bahasa Sansekerta (Jawa Kuno) yaitu la = panjang, sulit ; among = memelihara, menguasai, melindungi, membina, mengayomi. Tapi arti sesungguhnya adalah "sulit dikuasai")
(http://lamongan-kota.blogspot.com/)
Namun jika diurut berdasarkan asal kata dari bahasa orang Pendalungan (suku campuran dari jawa-madura yang banyak menempati wilayah sekitar gunung Lamongan)kata lamongan juga bisa berasal dari bahasa pandalungan “Klemongan atau Lemongan” yang berarti ”membingungkan” karena jalur pendakian yang seringkali membingungkan para pendaki dan berdasarkan topografinya, kontur gunung lamongan memang tergolong sangat rumit dan kompleks meskipun hanya tergolong sebagai gunung"kurang tinggi".
terletak di perbatasan dua kabupaten. Yakni kabupaten Lumajang (Desa Papringan kecamatan Klakah) dan Kabupaten Probolinggo (Desa Gedangan kecamatan Tiris) dengan pal batas terletak di puncak Candi.
Untuk mencapai puncak gunung Lamongan bisa ditempuh dari terminal kota Probolinggo naik bus jurusan Jember, turun di pasar Klakah kemudian naik ojek atau bisa jalan kaki menuju puri pertapaan “MBAH CITRO” sebagai strarting point-nya.
Sedangkan untuk mencapai puncak gunung Tarub, starting point bisa diawali dari terminal kota Probolinggo naik bus jurusan Jember turun di desa Leces kemudian naik angkutan jurusan Tiris, dilanjutkan dengan naik ojek atau kalau beruntung bisa naik truck pengangkut kayu sampai di desa Gedangan atau juga bisa dari desa Ranu agung kecamatan Tiris.
Untuk mencapai kedua puncaknya sekaligus sangatlah sulit dilakukan karena memang belum ada jalur bagi para pendaki.
Kedua gunung ini merupakan satu gugusan gunung berjenis strato dan masih aktif dengan ketinggian sekitar 1651 mdpl untuk puncak gunung Lamongan dan 1671 untuk puncak gunung Tarub.
Meskipun hanya tergolong gunung “kecil” karena tingginya hanya sekitar 1600 mdpl, tetapi saat mendaki gunung ini bersiaplah untuk menyambut dahsyatnya medan dengan sudut kemiringan mencapai sekitar 45 derajat bahkan bisa lebih dan tanjakan yang curam yang seolah tiada ujungnya sampai akhirnya tiba di puncak, sehingga tak jarang gunung ini berjuluk “gunung 1600-an yang serasa 3000-an”, kalau para pendaki Jawa barat biasa menyebutnya sebagai “Gunung cabe rawit” karena memang medannya yang sangat menantang dan cukup menguras tenaga.
Selain kedua gunung ini membelah dua kabupaten, kedua gunung ini juga masih jarang tersentuh tangan manusia, terutama
Gunung Tarub yang masih memiliki hutan yang sangat lebat dan menurut masyarakat sekitar merupakan kawasan sakral, di kawasan puncaknya, yakni
puncak candi konon terdapat pintu dari batu menuju ruangan khusus bagi petapa yang ingin melakukan tirakat atau mencari ilmu. Sehingga tak jarang sering ditemukan sejenis koin cina yang bertuliskan huruf jawa kuno sebagai bagian dari sesajen para petapa.
Pintu Batu di sekitar puncak candi tersebut sangat sulit ditemukan. Sebuah ekspedisi team pendaki dari Probolinggo yang digagas oleh Pak Remon bersama kepala desa Ranu Agung Pak Nito tahun 2002 sempat menemukannya, namun ekspedisi yang dilakukan kembali pada tahun 2006, pintu batu yang terletak di sekitar puncak candi tidak ditemukan lagi
(Sumber: Keterangan Pak Remon dan pendaki yang pernah ke puncak G. Tarub).
"Gunung Tarub dari Ranu Bethung-Tiris"
Selain itu, gunung Tarub juga terkenal akan satwa liarnya yang masih banyak seperti kera dan harimau sejenis panter yang disebut “
Macan Danu”, uniknya menurut para penduduk sekitar, “macan Danu” adalah sejenis hewan jadi-jadian yang suka memangsa jantung manusia yang sombong atau suka berkelakuan buruk saat di gunung sebagai tumbal untuk kesempurnaan ilmu atau untuk sarat pesugihan bagi para penganutnya. Percaya atau tidak, yang pasti banyak para pendaki yang lebih memilih untuk tidak mendaki gunung yang satu ini. Sehingga para pendaki lebih banyak yang memilih untuk mendaki gunung Lamongan saja.
Oleh karena itu, gunung Tarub kurang begitu populer dikalangan para pendaki terutama para pendaki jawa tengah dan jawa barat.
Untuk mendaki gunung Tarub, sebaiknya dilakukan pada saat bulan purnama. Karena pada saat itu biasanya keadaan puncak Tarub jarang tertutup kabut dan anginnya tidak terlalu kencang. Konon keadaan itu disebabkan karena banyak penduduk sekitar yang pergi ke puncak Tarub untuk berdoa dan memberikan sesajen.
"Lembah Marutha (nampak menjulang puncak candi yang sakral)"
EKSPEDISI TARUB-LAMONGAN
Ekspedisi merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk mencari,menemukan, membuktikan atau memecahkan misteri akan sebuah tempat atau lokasi yang bisa berlangsung hingga berhari-hari, berminggu-mingggu atau bahkan berbulan-bulan. Ekspedisi bisa dilakukan oleh satu tim atau beberapa tim yang bergabung untuk tujuan yang sama, terutama apabila ekspedisi yang dilakukan adalah ekspedisi membuka jalur pendakian baru yang sebelumnya belum pernah dilalui.
Meskipun gunung Tarub-Lamongan merupakan satu gunung yang memiliki dua puncak, namun belum pernah ada ekspedisi menggapai dua puncaknya sekaligus. Sebuah kelompok Pecinta Alam Probolinggo pernah melakukan ekspedisi Tarub-Lamongan melalui jalur desa Ranu Agung Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo, atau tepatnya dari sisi sebelah timur-laut namun ekspedisi tersebut hanya berhasil menggapai puncak Tarub dan puncak Candi saja. Tercatat jauh sebelumnya ada pendaki Asing dan sejumlah porter yang pernah berhasil menggapai puncak Tarub dari sisi sebelah Timur-laut namun belum berhasil menembus puncak Lamongan sekaligus.
Tim kami (Berjumlah tujuh orang) pada tahun
1999 juga pernah melakukan ekspedisi menggapai puncak G. Tarub melalui jalur desa Gedangan-kecamatan Tiris dengan membuka jalur baru selama dua hari. Namun belum berhasil menembus puncak G.Lamongan.
Tim kami hanya sempat menemukan sebuah bangunan sejenis monumen ( Tingginya sekitar 0,5 m) yang kami anggap kemudian sebagai puncak G. Tarub namun belakangan diketahui ternyata bangunan itu adalah titik Triangulasi Puncak gunung Tarub.
Untuk membagi pengalaman dan mengajak para pendaki yang haus akan tantangan mendaki gunung, maka saya akan menuliskan kisah perjalanan ekspedisi Tarub-Lamongan yang pernah saya lakukan. Semoga bermanfaat dan mampu membangkitkan semangat untuk terus berpetualang !
Jayalah dunia petualangan Indonesia..............!!!
Bangsa yang besar adalah bangsa yang gemar bertualang!
PERJALANAN
Hari 1 (9 Oktober 2008)
"Gunung lamongan"
Perjalanan ekspedisi kami diawali dari pos
Pesanggrahan Mbah Citro di desa Papringan- Klakah-Lumajang, setelah sebelumnya kami harus mengambil persediaan air di
SUMBER MANIS yang terletak sekitar 30 menit dari pesanggrahan. Sumber Manis adalah sumber air terakhir, tapi sebenarnya di lereng G. Lamongan masih terdapat sumber TETES yang airnya berasal dari tetesan air di antara batu-batu dan akar, namun hanya ada di musim hujan saja, itupun jumlahnya tidak terlalu banyak.
Setelah istirahat sejenak dan mempersiapkan segala perlengkapan, tepat pada pukul 15.00 setelah hujan deras berganti hujan gerimis, kami mulai bergerak menuju pos “
WATU GEDE”. Tak ada satupun pendaki saat itu. Baik yang akan ke puncak atau akan turun dari puncak.
Di tengah perjalanan kami harus berjalan basah karena hujan deras kembali turun. Perjalanan pertama melalui sedikit hutan homogen yang merupakan hutan hasil reboisasi pihak perhutani, dulu kawasan ini masih berupa hutan jati yang sangat lebat dengan kicau yang ramai dan bunga anggrek yang tak pernah berhenti berkembang, tapi setelah penggundulan hutan secara besar-besaran, kawasan ini berubah menjadi gersang. Sejak saat itu pendakian ke gunung Lamongan menjadi kurang menarik karena panas dan jalur penebang liar yang banyak membuat pendaki tersesat. Beruntung kini reboisasi cukup berhasil menghijaukan kembali lahan ini meski tak seindah dulu.
Setelah melewati kawasan hutan homogen yang tak terlalu luas, medan berubah menjadi terbuka dan sedikit menanjak, jalur dipenuhi padang ilalang, semak dan berbatu-batu. Saat itu puncak gunung Lamongan sama sekali tak terlihat karena kabut tebal yang menyelimuti dari puncak sampai di lerengnya. Karena suasana masih mendung, udara menjadi cukup sejuk dan sinar matahari sama sekali tidak begitu menyengat.
Pada pukul 16.22 kami tiba di pos Watu Gede. Awalnya kami berniat untuk Camp di pos Watu Gede, namun karena hari masih sore dan masih ada cukup waktu untuk berjalan akhirnya kami memutuskan untuk kembali berjalan sampai di batas hutan. Perjalanan merayapi
TANJAKAN PUTUS ASA benar-benar melelahkan, selain beban yang cukup berat juga hari sudah mulai gelap dan keadaan saat itu masih hujan gerimis disertai petir.
Tanjakan putus asa memang sangat sesuai dengan namanya, saat melewati tanjakan yang luar biasa menguras tenaga itu kami sempat merasa putus asa karena medan terjal yang seolah tak kunjung berakhir. Apalagi suara petir yang terdengar begitu dekat dengan kami cukup membuat kami merasa khawatir, takut apabila sampai tersambar petir karena medan yang cukup terbuka.
Setelah berjalan merayap di kegelapan, Pada pukul 18.30 akhirnya kami tiba di batas hutan dan menemukan lahan yang lumayan datar meski berbatu-batu tapi cukup untuk mendirikan tenda, kami segera mendirikan tenda. Karena kelelahan, kami tidak sempat untuk masak, beruntung kami membawa bekal nasi bungkus untuk makan malam. Setelah minum jeruk hangat, kami segera beristirahat setelah perjalanan yang sangat melelahkan.
"Camp di tanjakan putus asa"
Hari 2 (10 Oktober 2008)
Tepat pukul 06.00 kami bangun dan segera keluar dari tenda. Luar biasa indah pemandangan dari sini, meskipun kami tidak bisa menyaksikan matahari terbit karena terhalang punggung gunung Lamongan. Suhu udara masih terasa sejuk tak terlalu dingin. Cuaca cerah tanpa kabut. Kami segera memasak air hangat untuk sekedar menghangatkan badan. Dan untuk menghemat waktu, maka kami hanya sarapan mie instant tanpa dimasak terlebih dahulu.
Setelah packing dan mempersiapkan fisik, pukul 07.33 kami mulai bergerak menuju puncak G. Lamongan. Perjalanan diawali dengan memasuki hutan semak yang cukup lebat. Areal ini disebut
ALAS TELES karena hutannya yang selalu basah. Setelah 1 jam berjalan naik mendaki jalur terjal dan licin dengan sudut kemiringan sekitar 45-60 derajat, kami tiba di
SUMBER TETES atau SUMBER GUCI. Kami istirahat sejenak sambil meminum air segar yang tertampung dalam sebuah wadah keramik. Airnya sangat segar dan jernih. Konon air ini sering dipakai oleh Mbah Citro untuk acara ritual atau selamatan karena dipercaya memiliki khasiat yang luar biasa.
"sumber tetes"
Suhu udara mulai terasa dingin, kami melanjutkan perjalanan kembali mendaki jalur yang terus menanjak, terjal dan licin. Medan masih tertutup hutan lebat. Sekitar 1 jam berjalan, kami mulai memasuki areal ALAS KOBONG, dinamakan alas kobong karena di daerah ini banyak sekali pohon-pohon besar yang hangus karena terbakar atau tersambar petir. Kondisi medan masih tertutup hutan lebat dan sesekali melewati medan terbuka berupa padang ilalang. 30 menit dari areal Alas Kobong, kembali memasuki kawasan hutan basah yang dinamai
HUTAN LARANGAN atau ALAS TELES (bahasa jawa: basah) dan disini banyak terdapat Pacet , hewan kecil sejenis lintah yang gemar menghisap darah. Saya pun harus beberapa kali mencabut Pacet dari tangan dan kaki saya.
Kurang lebih 1 jam mendaki jalur terjal dan licin, akhirnya pada pukul 10.00 kami sampai di puncak Gunung Lamongan. Cuaca saat itu sedikit berawan, dengan suhu udara lumayan dingin Namun sinar matahari saat itu terasa sangat menyengat sekali. Puncak sisi Barat ini dipenuhi batu-batu besar mirip seperti di puncak gunung Arjuna. Dari sini kawah Gunung Lamongan nampak sangat megah menganga dengan asap belerang yang menembus celah-celah bebatuan. Dari sini pemandangannya sangat luar biasa, selain hamparan dataran rendah yang hijau juga nampak beberapa Maar atau Ranu yang bertebaran, membuat kita seoloah sedang menatap permukaan bulan.
"puncak lamongan"
Setelah 15 menit beristirahat sejenak, sesuai dengan rencana kami segera melanjutkan perjalanan menyusuri kawah G. Lamongan ke arah timur menuju puncak Timur atau
puncak sejati G. Lamongan. Jalur sangat terjal dan berbahaya karena harus melewati batu-batu besar dan sesekali melewati kepulan asap belerang yang baunya sangat menusuk hidung. Apabila sedang hujan atau gerimis disarankan untuk tidak melewati jalur ini karena asap belerang yang bercampur dengan air hujan akan membentuk gas beracun yang bisa mematikan seperti di kawah ratu-Jawa Barat. Untuk mencapai puncak timur gunung Lamongan bisa juga dengan menyusuri kawah ke arah barat dengan medan yang sedikit tertutup karena dipenuhi pohon dan semak-semak yang cukup lebat.
"jalur menuju puncak timur G.Lamongan"
Untuk menuju puncak timur gunung Lamongan dibutuhkan waktu sekitar 1 jam. Beruntung cuaca sangat bersahabat, kabut yang biasanya menyelimuti puncak juga tidak terlihat. Kami merasa sangat beruntung sekali saat itu bisa menikmati pemandangan sekitar yang sangat menakjubkan.
"Pemandangan di puncak(sejati) timur G.Lamongan"
Pukul 11.20 kami tiba di puncak Timur G. Lamongan. Dari puncak timur ini, Gunung Tarub dengan hutannya yang sangat lebat tampak sangat jelas sekali terlihat. Di sebelah kiri tampak juga gunung Cupu yang sangat gersang.
"Gunung Cupu"
Karena kabut mulai turun dan suasana mulai mendung, setelah istirahat sekitar 15 menit, kami segera bergerak menuruni puncak sejati Gunung Lamongan menuju lembah yang memisahkan puncak G. Lamongan dan Puncak G. Tarub. Dari sini kami mulai membuat jalur sendiri. Medan sangat curam dan dipenuhi tumbuhan pakis dengan medan yang semakin tertutup hutan lebat.
"membuka jalur menuju lembah Marutha"
Target kami saat itu adalah mencapai dasar lembah, kemudian mendirikan tenda dan bermalam di sana. Besok baru melanjutkan perjalanan kembali menuju ke puncak gunung Tarub.
Karena medan dipenuhi semak-semak yang sangat lebat, sesekali kami harus terperosok ke dalam lubang dan jatuh terpeleset. Setelah 30 menit melewati semak-semak, kami mulai memasuki kawasan hutan yang juga sangat lebat. Dari sini saya mulai menggunakan parang untuk menebas ranting-ranting pohon sekaligus membuat jalur.
Setelah menembus semak-semak dan hutan yang lebat, akhirnya pada pukul 12.30 kami sampai di dasar lembah dan menemukan sebuah tempat yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Kabut mulai turun dan sesekali diiringi hujan gerimis.
Angin di kawasan lembah yang sedikit terbuka ini, bertiup sangat kencang sekali karena di lembah inilah tempat terbentuknya
"angin Gending" yang terkenal sebagai ikon dari Probolinggo itu.
Angin Gending merupakan
Angin Fohn, yakni angin yang bertiup di bagian belakang atau di bagian bawah angin gunung atau pegunungan dengan sifat panas, kering, kencang dan ribut. Hal ini disebabkan oleh udara yang dipaksa secara mekanik menaiki dan melewati puncak dan kemudian menuruni lereng bagian belakang gunung.
Udara yang turun ini mengalami pemanasan adiabatik
Angin Gending adalah angin Fohn yang berasal dari angin muson timur yang berhembus dari gunung dan pegunungan di sebelah tenggara, bertabrakan dengan angin dari laut selatan yang bertemu di lembah gunung Tarub-Lamongan kemudian meluncur menuju Probolinggo hingga Pasuruan, Jawa Timur, sehingga menghasilkan angin Gending.Dinamakan demikian karena suara angin tersebut yang sangat kencang menderu-deru menimbulkan suara khas seperti suara "gendingan" (tetabuhan untuk mengiringi tari-tarian jawa)
Angin Muson Timur adalah angin yang bertiup pada periode Bulan April - Oktober (Indonesia). Angin ini bertiup saat matahari berada di belahan bumi utara, sehingga menyebabkan benua Australia musim dingin, sehingga bertekanan maksimum dan Benua asia lebih panas, sehingga tekananya minimum. Menurut hukum Buys Ballot, angin akan bertiup dari daerah bertekanan maksimum ke daerah bertekenan minimum, sehingga angin bertiup dari benua Australia menuju benua Asia, dan karena menuju utara khatulistiwa/equator, maka angin akan dibelokkan ke arah kanan. Pada periode ini, Indonesia akan mengalami musim kemarau akibat angin tersebut melalui gurun pasir di bagian utara Australia yang kering dan hanya melalui lautan sempit.
Karena itu, angin gending yang dihasilkan dari lembah Marutha ini bersifat kering sehingga menyebabkan lereng gunung Tarub lebih lembab sementara lereng gunung Lamongan tepatnya sisi utara lebih gersang karena pengaruh angin muson timur (kering) yang lebih banyak berhembus ke arah gunung Lamongan karena dibelokkan oleh tebing puncak Candi.(wikipedia.org)
(From: Geosains)Karena di daerah lembah Marutha ini anginnya sangat kencang, maka kami menamakan tempat ini
“LEMBAH MARUTHA” Marutha (maruto) adalah sebutan untuk kereta kerajaan yang sekarang tersimpan di museum Malang-Jawa timur, yakni Kyai Marutha yang berarti Kyai Angin atau dewa angin.
Di sini kami membuat tempat untuk Camp yang cukup luas, kira-kira bisa menampung 2-3 tenda.
"Pos Lembah Marutha "
Areal Pos Marutha terkesan sangat angker (wingit), meski medan sedikit terbuka tetapi masih tertutup hutan lebat dengan dominasi tumbuhan pakis dan pohon-pohon kurang tinggi yang banyak sekali bunganya, entah pohon apa namanya kami kurang tahu. Suhu udara disini lumayan dingin, namun tanah dan batu-batunya cukup hangat, mungkin karena aktifitas vulkanik yang masih belum berhenti, setiap beberapa menit sekali kabut selalu menyelimuti kawasan lembah Marutha ini.
"Puncak candi tepat di belakang kami"
Dari kawasan lembah Marutho ini tampak jelas terlihat batu besar yang menjulang sangat menawan, yakni puncak candi, dinamakan demikian karena jika dilihat dari arah selatan. Puncak tersebut terlihat seperti anak tangga yang menyerupai bangunan candi. Puncak Candi tersebut hampir setiap saat selalu diselimuti kabut. Mungkin karena masih dipenuhi hutan yang sangat lebat.
Puncak gunung Tarub tidak terlihat dari sini karena berada tepat di belakang Puncak Candi tersebut. Sementara puncak timur gunung Lamongan nampak sangat jelas sekali terlihat seperti sebuah kubah raksasa.
"camp di lembah Marutha"
FAKTA LEMBAH MARUTHA
Di pos Lembah Marutha kami mendirikan tenda untuk istirahat dan baru akan melanjutkan perjalanan esok hari. Sebelumnya kami harus berjuang membersihan semak-semak yang berduri untuk tempat camp. Kami juga membuat tempat untuk menampung air hujan karena di sini tidak terdapat sumber air.
Suara kicau beberapa jenis burung masih jelas terdengar di kawasan ini, bahkan ada yang berani bertengger di ranting-ranting pohon yang berada tepat di depan kami. Sesekali kawanan kelelawar dan seekor burung Elang Jawa melintas di atas kami. Di sini kami juga menjumpai tikus gunung yang melompat kesana kemari di atas ranting-ranting pohon.
Berdasarkan catatan
Junghun , yakni seorang naturalis, doktor, botanikus, geolog dan pengarang berkebangsaan Jerman lalu berganti Belanda (Buch "Java seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart" Band 1. Arnoldische Buchhandlung, Leipzig 1852), Lembah Marutha ini adalah
kawah sebenarnya dari gunung Lamongan yang dihasilkan dari letusan gunung Lamongan Purba ketika masih merupakan kerucut raksasa. Karena itu, di lembah Marutha ini aktifitas vulkanik masih terasa sampai saat ini, ditandai dari tanah yang hangat dan terkadang berasap, jenis tanah berupa pasir kasar berwarna hitam keputih-putihan sebagai akibat dari proses pelapukan batuan vulkanik yang terbentuk saat terjadinya letusan gunung Lamongan purba terjadi, dan pohon-pohon yang jarang tumbuh hanya didominasi lumut yang sangat tebal yang tumbuh di tanah dan batu sebagai indikasi masih adanya gas sulfur(belerang) disana. Karena itu, di lembah Marutha sebenarnya sangat rawan terbentuk
gas beracun, yakni gas methan yang dihasilkan dari timbunan gas sulfur di dalam tanah yang sangat lama tersimpan. Dan ketika gas ini keluar dari tanah kemudian bercampur dengan air hujan atau embun, maka akan sangat berbahaya bagi manusia, seperti contohnya yang sering terjadi di
kawah ratu -jawa barat.
Oleh karena itu, disarankan bagi pendaki yang ingin camp di lembah Marutha untuk tidak mendirikan tenda di sekitar kawasan yang banyak ditumbuhi lumut tebalnya karena rawan gas beracun.
Hari 3 (11 Oktober 2008)
Pukul 05.30 kami sudah bangun. Hari sangat cerah, hujan semalam membuat kabut dan angin sedikit berkurang. Kami segera cuci muka dan minum air hujan yang sengaja kami tampung dalam plastik.
Ada yang unik di Lembah Marutho ini, dari sini kita bisa menyaksikan
(Silver Sunrise) dari celah punggung G. Tarub dan G.Lamongan. Hal itu terjadi karena matahari yang terbit agak terlambat sebab sinar matahari terhalang oleh punggung Gunung Tarub.
Jadi sinar matahari yang seharusnya keemasan tampak berubah menjadi keperak-perakan. Karena warna sinarnya yang seperti perak, maka disebut “Silver Sunrise” seperti di kawasan
lembah Dieng.
"silver sunrise"
Pukul 07.30 setelah sarapan pagi, kami mulai bergerak melanjutkan perjalanan membuka hutan semak belukar untuk membuat jalur sendiri. Agar bisa menghemat tenaga, kami memutuskan untuk meninggalkan barang-barang kami di tenda dan hanya membawa perlengkapan secukupnya saja.
Medan Pertama yang harus kami hadapi adalah semak-semak berduri yang sangat lebat dan sangat menyusahkan kami dalam bergerak. Sesekali kaki harus terperosok ke dalam lubang-lubang yang cukup dalam. Kami tidak berjalan di atas tanah, tapi kami berjalan di atas ranting-ranting semak yang sangat lebat. Karena semalam sempat diguyur hujan deras, maka terpaksa kami harus basah kuyup menembus semak-semak yang basah.
"menembus kelebatan lembah Marutha"
Sambil terus mengayunkan parang, kami bergerak sangat lamban karena harus menebas semak-semak berduri yang semakin lebat dan basah. Puncak Candi dengan tebingnya yang terjal semakin dekat dan sangat jelas menjulang di depan kami. Medan terus menanjak dan sangat licin, beberapa saat kemudian kami tiba tepat di dasar tebing.
"Dasar tebing puncak Candi"
Di dasar tebing terdapat jurang yang dalam disertai hutan yang lebat. Di areal ini kami menemukan sejenis tumbuhan Tales berukuran tidak biasa dan beberapa goa-goa kecil yang mengeluarkan asap belerang. Rupanya Batu Puncak Candi merupakan bentukan batuan Vulkanik yang dihasilkan dari aktivitas Gunung Tarub-Lamongan yang masih aktif sampai saat ini.
Dari dasar tebing, kami bergerak ke arah kiri kemudian memanjat tebing sedikit demi sedikit. Medan pendakian sangat curam dengan sudut kemiringan mungkin mencapai 80 derajat. Karena kami tidak membawa tali, maka kami harus bergelantungan di beberapa dahan pohon yang tumbuh di sekitar tebing.
Suhu udara di daerah sini sedikit panas karena batu-batu di sekitar kami mengeluarkan panas dari uap belerang. Sesekali kaki kami tergelincir karena dahan-dahan pohon yang kami pegang sangat licin sebab dipenuhi lumut yang sangat lembab. Hampir setiap batang dan ranting pohon di daerah ini dipenuhi dengan lumut seperti hutan di kawasan gunung Argopuro.
Pergerakan kami semakin lambat karena harus mendaki tebing yang sangat terjal. Mungkin kalau hujan turun sangat lebat, jalur yang kami lalui ini berubah menjadi air terjun, karena sepanjang jalur yang kami lalui dipenuhi dengan lumut hijau.
"Jalur Menuju Puncak candi"
Setelah mendaki tebing batu yang terjal, akhirnya pukul 08.45 kami tiba di atas tebing (puncak candi) dengan medan yang sedikit terbuka namun dipenuhi semak berduri dan padang ilalang yang sangat lebat. Di sini kami beristirahat sejenak dan membuat pos peristirahatan yang kemudian kami beri nama PONDOK LEAK , sebagai penghargaan saya terhadap rekan saya "Leak"alias Hairul, karena mau menemani ekspedisi yang saya lakukan ini.
Dari pondok Leak ini, puncak gunung Tarub sangat jelas terlihat sementara puncak gunung Lamongan terhalang oleh dinding batu yang baru saja kami lalui. Suhu udara masih sejuk dan kami merasa beruntung karena kabut yang biasanya menyelimuti kawasan puncak gunung Tarub, masih belum nampak.
"Kawasan pondok leak"
perjalanan kembali dilanjutkan dengan menembus padang ilalang dan semak berduri yang semakin lebat. Sekitar 1 jam berjalan, kami mulai memasuki kawasan hutan dengan pohon-pohon besar yang dipenuhi lumut seperti di gunung Argopuro tepatnya di daerah Taman Hidup.
Dan di kawasan hutan ini kami menemukan sebuah pohon tumbang yang kemudian tumbuh kembali membentuk sebuah jembatan alam yang luar biasa menakjubkan. Karena areal hutan terkesan sangat menyeramkan dan disana kami sempat menemukan akar pohon aneh yang baunya sangat wangi yang bentuknya menyerupai sebuah jembatan, akhirnya kami menamakan jembatan alam yang kami temukan tersebut sebagai
JEMBATAN GONDO MAYIT.(Bahasa Jawa: Jembatan berbau mayat)
"Jembatan gondo mayit"
Dari alas Gondo Mayit kami terus bergerak menembus hutan lebat yang berlumut. Setelah berjalan sekitar 30 menit kami berdua terkejut sekaligus merasa sangat senang sekali karena akhirnya kami menemukan jalur pendakian dari arah TIRIS (Ranu agung). Meskipun puncak Tarub masih jauh, kami berdua merasa senang sekali karena telah berhasil menemukan jalur.
Karena berhasil menemukan jalur, kami semakin bersemangat berjalan menyusuri jalur menuju puncak Tarub. Kira-kira 20 menit berjalan mengikuti jalur naik yang mulai tertutup semak-semak dan ilalang yang tumbuh sangat lebat, Akhirnya pada pukul 10.40 kami berhasil mencapai
puncak gunung Tarub. Kami berdua berteriak sangat keras, semua rasa letih seakan hilang begitu saja.
"Puncak triangulasi G. Tarub"
Puncak Tarub sangat sepi dan hutannya masih lebat seperti di puncak gunung Salak-Jawa Barat.. Namun sayang tiang Trianggulasi telah tercemari oleh tangan-tangan Vandalisme pendaki yang katanya mengaku sebagai Pecinta Alam.
Keadaan di puncak G. Tarub saat itu sangat cerah, tak ada kabut atau hujan yang biasanya selalu datang setiap saat di puncak sakral ini. Setelah beristirahat sejenak di puncak G. Tarub, kami kembali melanjutkan perjalanan ke arah puncak paling timur. Jalur lumayan terjal dengan medan yang sedikit terbuka dipenuhi padang ilalang. Jalur sedikit tertutup bahkan sesekali hilang, kami semakin berhati-hati melangkah. Sekitar 30 menit berjalan akhirnya tepat pukul 11.00 kami tiba di puncak paling timur dari G. Tarub. Karena di puncak tersebut dipenuhi rumput ilalang yang sangat lebat, kami menamakan puncak tersebut
PUNCAK SUKET.
"puncak suket"
Keadaan di sekitar puncak suket dipenuhi ilalang dan semak berduri serta beberapa pohon besar yang berlumut. Di sini merupakan medan terbuka, dimana kita bisa melihat puncak G. Lamongan dan puncak G.Tarub dari kejauhan. Benar-benar pemandangan yang sangat menakjubkan.
"Pemandangan dari puncak suket"
Setelah puas menikmati pemandangan di puncak suket, kami kembali ke puncak G. Tarub untuk makan siang. Pukul 12.25 kami kembali turun menuju pos Marutha di lembah Marutha dengan berjalan menyusuri jalur yang telah kami buat sendiri.
Perjalanan turun cukup berbahaya karena harus menuruni jalur yang terjal dan sangat licin. Akhirnya Pukul 13.36 kami tiba di pos Lembah Marutha.
Kami merasa sangat senang sekali karena kami telah berhasil menjadi orang pertama yang mendaki gunung Tarub dan gunung Lamongan sekaligus. Sebagai wujud kebahagiaan, kami mendirikan sebuah candi sederhana yang terbuat dari batu yang kami susun sedemikian rupa di Lembah Marutha.
Hari 4 (12 Oktober 2008)
Pukul 07.20 dengan cuaca yang kurang bersahabat. Kabut sangat tebal diselingi hujan gerimis dan persediaan air yang sangat menipis karena saemalam tidak turun hujan, kami mulai bergerak dari lembah Marutha
(Pos Maruto) untuk kembali pulang.
Perjalanan pulang yang juga tidak mudah karena harus kembali menyusuri kawah dan menuruni lereng gunung Lamongan yang terjal disertai kabut yang sangat tebal, benar-benar menguras fisik kami. Apalagi persediaan air kami sangat menipis, beruntung kami sedikit tertolong oleh Sumber Tetes yang saat itu airnya cukup untuk kami berdua..
Setelah berjalan menuruni puncak G. Lamongan dengan tenaga yang sudah nyaris habis, akhirnya pukul 12.48 kami tiba kembali di Pesanggrahan Mbah Citro. Kami benar-benar merasa sangat senang akhirnya bisa pulang dengan selamat setelah 4 hari harus menembus hutan yang belum pernah dilewati, minum air hujan, mendaki tebing, dan harus menghadapi serangan pacet yang bertubi-tubi.
"Pesangrahan Mbah Citro"
“TUHAN BENAR-BENAR BERSAMA ORANG-ORANG BERANI”.
Kegagalan-kegagalan masa lalu ternyata merupakan pembelajaran yang sangat berarti bagi saya hingga akhirnya bisa mencapai keberhasilan seperti ekspedisi kali ini.
Ternyata benar kata orang bijak yang berkata:
“SESUATU SELAMA TIDAK MEMBUNUHMU MAKA JUSTRU AKAN MENGUATKANMU”
“Puncak bukanlah satu - satunya tujuan, tapi perjalanan itu sendiri-lah yang sebenarnya tujuan paling penting"
“Allah menjadikan sebagian ciptaanNya sebagai tempat bernaung untukmu, dan menjadikan gunung-gunung sebagai tempat berlindung....”
Al Quran surat An Nahl: 81
“...Gunung-gunungpun Ia pancangkan, untuk kesenanganmu.........”
Al Quran Surat An Naazi’aat: 32
Terima kasih Tuhan
Engkau telah menciptakan Gunung-gunung yang bisa kami daki, karena dari puncak-puncak gunung itu akhirnya kami bisa mendengar, melihat dan merasakan kebenaran dari ayat-ayat kebesaranmu
CATATAN:
*Membawa 15 liter air (kurang)
*1 kompor gas dan 1 tabung gas (sisa)
* 1 Kompor Trangia dan 1.5 liter spirtus (sisa)
* 10 Bks Mie Instan, 1 kg beras, snack (sisa)
"Tumpeng selamatan
karena sukses mendaki dua puncak sekaligus"